Pemerintah-Bank Bahas Kredit Rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Maksimal Rp 15 Juta
Terobosan diperlukan untuk mengatasi kekurangan rumah di Indonesia yang mencapai 12,7 juta unit.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan mengusulkan agar masyarakat berpenghasilan maksimal Rp 15 juta per bulan dapat ikut mengakses subsidi rumah. Untuk itu, mereka mendorong lagi skema subsidi selisih bunga untuk pembiayaan perumahan.
Program subsidi perumahan yang berlaku saat ini menyasar masyarakat berpenghasilan rendah dengan kategori penghasilan bulanan berkisar Rp 8 juta-Rp 10 juta menurut zonasi. Adapun harga rumah tapak bersubsidi dipatok berkisar Rp 166 juta hingga Rp 240 juta, menurut zonasi.
Direktur Consumer PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN, Hirwandi Gafar, mengemukakan, subsidi rumah bagi masyarakat berpenghasilan maksimal Rp 15 juta per bulan dan skema subsidi selisih bunga kini dalam tahap pembahasan dengan pemerintah. BTN mengusulkan cakupan subsidi rumah diperluas hingga menyasar masyarakat berpenghasilan tanggung, dengan batasan harga rumah maksimal Rp 300 juta per unit.
Baca Juga: Program Sejuta Rumah Tak Cukup Atasi ”Backlog”
Batasan harga yang diusulkan maksimal Rp 300 juta per unit bertujuan mendorong pasokan rumah bersubsidi tidak terlalu jauh dari kota, serta memiliki ukuran bangunan lebih luas. Ia mencontohkan, harga unit rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah di Jabodetabek saat ini dipatok maksimum Rp 180 juta.
Namun, pasokan hunian bersubsidi itu berlokasi jauh dari pusat kota. Luas bangunan rata-rata hanya 27 meter persegi.
”Rumah bersubsidi diharapkan bisa dibangun di dekat-dekat kota, tidak terlalu jauh,” kata Hirwandi, akhir pekan lalu, di sela-sela rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun yang ke-52 di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Hingga saat ini, pemerintah menerapkan skema pembiayaan bersubsidi berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Skemanya, suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dipatok 5 persen per tahun untuk pinjaman berjangka hingga 20 tahun.
Guna mendukung perluasan jangkauan subsidi perumahan, Hirwandi menambahkan, KPR bersubsidi berupa FLPP perlu diubah menjadi subsidi selisih bunga (SSB). Subsidi selisih bunga bagi masyarakat berpenghasilan rendah diusulkan 5 persen per tahun. Sementara, suku bunga untuk masyarakat berpenghasilan tanggung sebesar 7 persen per tahun.
Dalam skema subsidi selisih bunga, pemerintah menanggung selisih suku bunga KPR yang dikenakan oleh perbankan. Sebagai ilustrasi, apabila tingkat suku bunga KPR sebesar 11 persen, maka suku bunga KPR bersubsidi yang bakal dikenakan kepada masyarakat berpenghasilan tanggung sebesar 7 persen per tahun. Sisanya, 4 persen, ditanggung oleh pemerintah.
Tenor KPR bersubsidi, menurut Hirwandi, perlu dibatasi menjadi 10 tahun. Selebihnya, mengikuti suku bunga pasar. Ini karena penghasilan masyarakat bakal terus meningkat. Masyarakat cenderung melunasi cicilannya rata-rata setelah memasuki tahun ke-10 sekalipun tenor yang diambil berjangka waktu lebih lama.
”Perspektifnya, pertumbuhan ekonomi ke depan akan bagus,” ujar Hirwandi.
Dana abadi
Hirwandi mengemukakan, pembiayaan rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat berpenghasilan tanggung melalui subsidi selisih bunga dilakukan dengan mengalokasikan anggaran pemerintah untuk FLPP menjadi dana abadi.
Dana ini akan dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Pengelolaannya akan diinvestasikan pada instrumen surat utang negara berjangka panjang.
Imbal hasil dari penempatan investasi dana abadi itu akan digunakan untuk menutup kebutuhan subsidi KPR dengan pola subsidi selisih bunga. Dengan demikian, penempatan anggaran subsidi pembiayaan perumahan oleh pemerintah tidak langsung disalurkan ke masyarakat.
Baca juga: Dorong 3 Juta Rumah, Skema Subsidi Diusulkan Berubah
Namun, itu ditempatkan dan dikelola melalui dana abadi. Ini berbeda dengan dana FLPP yang berupa dana bergulir untuk langsung disalurkan kepada masyarakat.
”Pola pembiayaan subsidi dengan memanfaatkan imbal hasil dana abadi juga akan menarik investor untuk sekuritisasi aset (portofolio KPR) sehingga sekuritisasi aset pembiayaan perumahan di Indonesia hidup lagi,” katanya.
Pernah dihapus
Sebelumnya, pemerintah pernah menggulirkan skema subsidi selisih bunga untuk KPR bersubsidi. Namun, subsidi selisih bunga itu dihapuskan pada 2020. Pada 2019, penyaluran subsidi melalui skema subsidi selisih bunga tercatat Rp 3,1 triliun untuk membiayai 99.907 unit rumah.
Salah satu penyebab penghapusan, subsidi selisih bunga dinilai memberikan beban fiskal yang cukup berat kepada negara karena tenor KPR yang diambil oleh para nasabah cukup panjang. Selain itu, anggaran subsidi dinilai sulit diprediksi setiap tahun karena disesuaikan dengan suku bunga yang berlaku.
Hingga 2022, kekurangan rumah (backlog) di Indonesia mencakup 12,7 juta keluarga atau 18 persen dari total keluarga di Indonesia. Sementara itu, laju kebutuhan rumah baru terus meningkat 600.000-800.000 unit per tahun. Penyediaan rumah nyaris tak mampu mengejar pengentasan kekurangan rumah.
Pasangan presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menjanjikan program pembangunan 3 juta rumah per tahun. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan program sejuta rumah yang digulirkan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, saat dihubungi terpisah, mengemukakan, pembiayaan untuk masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat berpenghasilan tanggung perlu digulirkan karena kebutuhan rumah pertama di segmen itu masih sangat besar.
Meski demikian, skema pembiayaan berupa subsidi selisih bunga di tengah keterbatasan anggaran pemerintah bukan satu-satunya solusi dalam mengurai kekurangan rumah.
Ia berpendapat, alokasi subsidi selisih bunga bukan merupakan dana bergulir sehingga anggaran pemerintah bakal hilang. Ini berbeda dengan skema FLPP yang merupakan dana bergulir sehingga dapat diputar untuk pembiayaan subsidi berkelanjutan.
”Saya pikir masih lebih baik anggaran FLPP diperbanyak, dibandingkan subsidi selisih bunga, karena untuk jangka panjang, dana FLPP bukan biaya yang hilang. Alokasi subsidi selisih bunga merupakan sunk cost (biaya hangus) dan tidak dapat diperoleh kembali,” ujar Ali.
Di sisi lain, pola subsidi selisih bunga dengan tenor KPR bersubsidi sepuluh tahun dan dilanjutkan dengan bunga pasar dinilai masih akan memberatkan masyarakat dalam membayar angsuran. Sebab, sebagian konsumen menengah bawah umumnya baru mampu melunasi KPR dalam kurun waktu 15 tahun.
Hirwandi berpendapat, penganggaran APBN untuk subsidi selisih bunga tidak perlu ditempatkan pada pos belanja, tetapi pada pos dana bergulir seperti hanya FLPP. Ini karena subsidi selisih bunga untuk pembiayaan perumahan akan bersumber dari hasil investasi dana abadi.
Baca juga: Perkuat Dukungan Rumah Bersubsidi
Menurut Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto, upaya mengatasi kekurangan rumah bukan hanya dari sisi pembiayaan, melainkan juga suplai. Pasokan rumah dipengaruhi banyak variabel. Suplai di sisi lahan perlu diikuti pembangunan sesuai permintaan.
Ia mendorong pemerintah melakukan pendataan ataupun sensus agar memiliki basis data kebutuhan rumah masyarakat secara detail, mencakup nama dan alamat. Hal ini untuk menyelaraskan pasokan rumah pada lokasi-lokasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
”Ini yang kita minta bahwa pemerintah memiliki big data by name by address, soal backlog perumahan. Tanpa verifikasi data, kami memprediksi kekurangan rumah sampai tahun 2035 pun masih di atas 5 juta unit,” katanya.