Investor Tetap Waspadai Arus Dana Keluar
Investor tarik dana dari dalam negeri melebihi tren. Perkembangan ekonomi Indonesia dan AS jadi perhatian.
JAKARTA, KOMPAS — Investor telah menarik dana dari dalam negeri dalam jumlah banyak sebulan terakhir, bahkan melebihi tren sepanjang setahun. Aksi itu perlu diwaspadai dengan menimbang melemahnya ekonomi dalam negeri dan tren suku bunga tinggi dalam waktu lama.
Data Bloomberg per 24 April 2024 menunjukkan arus dana keluar atau capital outflow sepanjang bulan April telah mencapai Rp 32,4 triliun. Ini menggambarkan total dana yang keluar dari dalam negeri ke luar negeri, baik dari investasi langsung maupun secara tidak langsung. Nilai ini hampir dua kali lipat dibandingkan arus kas keluar pada Maret 2024 sebesar Rp 18,6 triliun.
BRI Danareksa Sekuritas, dalam laporan analisisnya pada Senin (29/4/2024), memaparkan, arus keluar itu, antara lain, terjadi di pasar saham. Hampir sebulan terakhir, arus kas asing yang keluar tercatat sekitar Rp 16 triliun dengan arus kas asing sepanjang minggu keempat April sebesar Rp 4,8 triliun. ”Ini mengakibatkan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 0,7 persen dalam sepekan sampai perdagangan akhir pekan lalu,” kata mereka.
IHSG pada pekan lalu sempat turun ke titik terendah dalam setahun terakhir hingga 7.036 pada penutupan perdagangan, Jumat (26/4/2024). Anjloknya IHSG hari itu, antara lain, dipicu aksi penjualan saham oleh investor asing hingga mencapai Rp 2 triliun.
Dari instrumen investasi pendapatan tetap, data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per 25 April 2024 mengungkapkan, arus keluar investor asing pada obligasi pemerintah atau surat berharga negara (SBN) berjumlah Rp16,8 triliun dalam hampir sebulan terakhir.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto, dalam konferensi pers APBN Kita edisi April, di Jakarta, Jumat (26/4/2024), menjelaskan, arus kas keluar ini terjadi karena faktor global, antara lain, geopolitik dan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang menahan suku bunga tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Baca juga: Data Ekonomi AS Buat IHSG Mendadak Ambrol
Penguatan dollar karena kondisi ekonomi dan proyeksi kebijakan suku bunga di AS membuat imbal hasil obligasi Treasury AS bertenor 10 tahun naik menjadi 4,67 persen per 26 April dari sebelumnya di 4,62 persen. Adapun imbal hasil obligasi dua tahun mengalami sedikit penurunan sebesar 1 basis poin (bps), menjadi 4,96 persen.
Meski demikian, arus kas masuk (inflow) mulai terlihat dalam pekan lalu. Ini terjadi setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga menjadi 6,25 persen dari 6 persen pada pertengahan pekan lalu. Imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia tenor 10 tahun meningkat sebesar 15 bps menjadi 7,18 persen, selain karena faktor volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
”Tentu inflow yang sudah mulai masuk kita harapkan juga akan menstabilkan pasar SBN kita dan pada gilirannya pasar yang lebih suportif menurunkan yield (suku bunga) kita. Ini kiranya juga masih didukung likuiditas pasar domestik yang masih memadai,” ujarnya.
BRI Danareksa Sekuritas, dalam laporannya, juga melihat pasar domestik yang mulai mengambil posisi dengan meningkatkan arus masuk di pasar keuangan. Hal ini tergambar dari tren di pasar reksa dana hingga perbankan.
Laporan itu menyatakan, reksa dana mencatat aliran masuk mingguan Rp 490 miliar, sementara dana asuransi dan dana pensiun mencatat aliran masuk Rp 7,55 triliun. Sektor perbankan mencatat arus masuk Rp 35,93 triliun mengimbangi arus keluar bulan ini sebesar Rp 39,34 triliun karena tingkat imbal hasil lebih dari 7 persen menarik peluang baru untuk masuk.
Guncangan pasar domestik
Bagaimanapun kondisi pasar keuangan domestik masih dapat goyah karena faktor dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri, BRI Danareksa Sekuritas menilai, pertumbuhan ekonomi dan ruang fiskal Indonesia saat ini terbatas. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,17 persen secara bulanan pada triwulan I-2024 atau lebih besar dibanding periode yang sama di tahun lalu yang tercatat hanya 5,03 persen.
Sementara itu, pemerintah mengumumkan bahwa surplus fiskal hanya mencapai Rp 8 triliun pada triwulan I-2024, jauh lebih rendah dibandingkan surplus fiskal pada triwulan I-2023 sebesar Rp 128 triliun, terutama karena beban fiskal di awal sehubungan dengan pemilu. Pendapatan pemerintah secara keseluruhan juga turun 4 persen secara tahunan dengan pendapatan pajak turun 8 persen dan belanja tumbuh 18 persen.
Baca juga: Keuangan Negara di Awal Tahun: Setoran Pajak Turun, Belanja Bengkak
Tim BRI Dana Sekuritas menyampaikan, mengingat hal itu, pihaknya mengantisipasi belanja fiskal yang hati-hati pada triwulan II-2024 dan triwulan III-2024 sebelum meningkat pada triwulan akhir 2024 yang menandai 100 hari pertama masa jabatan presiden yang baru terpilih. Perlambatan belanja pemerintah berpotensi memperketat likuiditas sistem dan membahayakan lintasan pertumbuhan karena konsumsi rumah tangga sudah kekurangan katalis pasca-Lebaran.
Senada, Pilarmas Investindo dalam laporan analisisnya, Senin (29/4/2024), juga mengkhawatirkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih rendah di triwulan kedua dan seterusnya.
Pada triwulan pertama, sesuai optimisme Menteri Keuangan, pertumbuhan ekonomi diyakni masih dapat tumbuh positif karena kinerja manufaktur Indonesia yang berada di zona ekspansi, di mana purchasing managers index (PMI) manufaktur Indonesia berada pada level 54,2 poin pada Maret 2024 lalu. Selain itu, indeks kepercayaan konsumen (IKK) per Maret 2024 juga masih di atas 100 poin atau tercatat 123,8.
”Untuk triwulan II sampai III 2024, analisis Pilarmas menyatakan mereka masih cukup khawatir adanya kontraksi penurunan pertumbuhan perekonomian mengingat beberapa kebutuhan bahan pokok, seperti beras dan jagung mengalami kenaikan harga akibat pelemahan rupiah terhadap dollar AS karena Indonesia masih mengimpor beras dan jagung untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Baca juga: Hati-hati, RI Berpotensi Defisit Beras Lagi pada Juni 2024
Community Lead Indo Premier Sekuritas (IPOT) Angga Septianus, dalam keterangan tertulis hari ini, mengingatkan investor saham untuk memperhatikan data ekonomi dalam negeri di awal triwulan kedua atau April lalu yang akan diumumkan Mei mendatang. Rilis tersebut dapat menjadi sentimen yang memengaruhi pergerakan IHSG dan arus dana ke pasar saham.
Rasio inflasi secara tahunan diprediksi naik dari 3,05 persen ke 3,4 persen.
Data ekonomi yang dimaksud, antara lain, PMI manufaktur Indonesia pada April 2024, yang diprediksi akan turun menjadi 54,1, turut dibandingkan angka Maret 2024 sebesar 54,2. Ia juga memperkirakan data inflasi April 2024 yang akan diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya.
”Rasio inflasi secara tahunan diprediksi naik dari 3,05 persen ke 3,4 persen, rasio inflasi bulanan diperkirakan naik dari 0,52 persen ke 0,8 persen, rasio inflasi inti tahunan diprediksi naik dari 1,77 persen ke 1,9 persen, dan rasio inflasi inti bulanan dengan forecast naik dari 0,52 persen ke 0,8 persen,” tuturnya.
Selain faktor dalam negeri, sentimen pasar akibat perkembangan ekonomi global, khususnya dari AS, juga perlu diperhatikan. Pekan ini, kata Angga, investor perlu memperhatikan sentimen suku bunga yang berdasarkan proyeksi konsensus tetap di level 5,5 persen. Kemudian, disusul data ekonomi yang menentukan kebijakan suku bunga, seperti rasio pengangguran yang bertahan di 3,8 persen dan non-farm payrolls atau data tingkat ketenagakerjaan yang diproyeksikan turun dari 303.000 ke 243.000.