Harmoni Sate dan Keroncong
Merdunya alunan musik keroncong yang melangutkan kalbu menganyam harmoni dengan cita rasa sate, gulai, atau tongseng.
Sate Keroncong lebih dari sekadar rumah makan dengan santapan menggiurkan belaka, yang kelezatannya telah diracik sejak berdekade silam. Keunikan warung ini muncul berbarengan dengan alunan irama keroncong yang menemani pengunjung saat menyantap hidangan. Nada dan rasa berpadu selaras dengan perapian kuliner tersebut yang tergolong antik.
Hampir semua kursi di Sate Keroncong terisi, Selasa (27/2/2024) sekitar pukul 12.00 WIB. Beberapa kipas angin mencoba mengusir gerah pelanggan yang tiba silih berganti. Asap pembakaran yang mengumbar ke mana-mana terjejak di baju necis, tetapi mereka tak peduli.
Bambang Margono (63) mengibas-ngibaskan kipas kayu untuk mengobarkan bara dan sesekali menyerok arang dengan sendok besar. Selama hampir 20 menit, ia membakar sate hingga setengah matang, mencelupkannya dalam saus, dan menunggu hingga bumbu-bumbu meresap sempurna.
Rumah makan di Gang Lele, Jalan Matraman Raya, Jatinegara, Jakarta, itu sederhana saja. Cat kuning yang kurang cerah tampak tak rata dengan eternit mengelupas dan noda kehitaman akibat asap. Di dapur, jelaganya jauh lebih pekat dan menghitamkan sepenuh tembok.
Sepasang tungku semen berdesakan dengan kayu bakar yang teronggok. Rak disesaki panci-panci besar di sisi tampah dan saringan daging yang digantung di dinding. Tak jauh dari tamu-tamu yang tengah melahap pesanan, kompor arang untuk menggodok tongseng terus dikipasi hingga kuahnya tak henti bergolak.
”Memang, khasnya semua dimasak dengan arang atau kayu bakar sampai ranting-rantingnya,” ujar Sri Mulyono (59), pemilik Sate Keroncong, seraya tersenyum. Asap pun sayup-sayup melingkupi masakan, tetapi malah sedikit meruyakkan sensasi yang spesial.
Ia juga ogah memakai gas untuk mematangkan gulai kambing lantaran terlalu panas yang bakal meluruhkan dagingnya. Mulyono tak mempersoalkan waktu yang lebih lama untuk memasak asalkan empuknya daging dirasa paling pas. Gulai sudah diolah di panci besar sejak pukul 05.30 yang siap empat jam kemudian.
Belum lagi, bumbu-bumbu dasar gulai dan tongseng yang disiapkan setiap tiga bulan dengan dihaluskan sampai enam jam. Lumatan yang begitu pekat tersebut sudah serupa pasta hingga awet disimpan selama setahun meski tak dimasukkan ke dalam kulkas.
Baca juga: Menjaga Tradisi Kuliner Palestina
Saat dikunyah, sate yang kaya akan rempah berselang-seling rasa dengan sekelumit manis. Daging empuk menor berlumur bumbu, yang menambah sedapnya hidangan, ditemani bawang merah, tomat, cabai rawit, dan merica. Potongan-potongan itu lebih besar dibandingkan dengan sate biasa.
Kadang, sedikit masam jeruk nipis ikut melintas di sela kelezatan sate. Genangan kecap juga sungguh klop menyatu dengan daging yang tercecap gurih hingga tak lagi dibubuhi garam ketika dihidangkan. Jika berselera, bisa ditambahkan emping atau kerupuk kulit yang tersaji di wadah plastik.
Sementara itu, gulai dengan kuah panas merambati tubuh diiringi kehangatan di sela mendung tebal yang menggayut siang itu. Daging yang menyelubungi iga pun sekejap lumat tanpa perlu bersusah payah menggigit untuk melepaskannya. Paru dan kulit menambah nikmatnya suguhan yang terendam santan tersebut.
Demikian pula tongseng yang lebih meriah dengan taburan bawang merah, kubis, dan cabai di antara potongan daging kambing. Harga seporsi gulai dan tongseng masing-masing Rp 50.000, sedangkan sate Rp 75.000. Sebagai penawar dahaga, bisa dipilih teh manis panas atau dingin, es jeruk, teh kemasan, dan air mineral.
Melestarikan kebudayaan
Sewaktu mencicipi sajian, lamat-lamat tersimak merdunya keroncong yang dilantunkan Joni (62) dan Waluyo (70). Pasangan pengamen itu beraksi di depan Sate Keroncong tanpa hilir mudik sambil menadahkan tangan sehingga tak mengganggu konsumen. Stoples berisi sumbangan pengunjung ditaruh di atas bangku.
Mereka, misalnya, mendendangkan ”Bandar Jakarta”, ”Bengawan Solo”, ”Jembatan Merah”, ”Sampul Surat”, dan ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama”. Alunan yang melangutkan kalbu lantas menganyam harmoni dengan cita rasa sate, gulai, atau tongseng.
Joni bersama Waluyo yang sudah menghibur pelanggan Sate Keroncong sejak tahun 2000 berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Mereka mengais rezeki sambil melestarikan kebudayaan Indonesia. Sesekali, lagu pop, dangdut, atau campursari didendangkan agar tamu-tamu tak bosan.
”Dapatnya enggak tentu. Biasanya, sehari Rp 50.000-Rp 75.000 per orang. Kalau lagi ramai, sampai Rp 100.000,” ucap Joni yang bermain gitar. Ia mencari peruntungan ke Jakarta pada 1972. Waluyo yang memetik kontrabas lebih dulu mengadu nasib, tiga tahun sebelumnya.
”Orangtua enggak mampu. Ketimbang merepotkan, saya merantau saja. Dulu, saya main dangdut, tetapi sekarang ikut teman-teman mendalami keroncong,” tutur Joni. Awalnya, ia berkeliling pasar dan perumahan hingga diizinkan mengikuti Waluyo untuk mangkal di depan Sate Keroncong.
Baca juga: Nasi Uduk yang Diburu hingga Blusukan
Mulyono mengenang para pemain keroncong yang berdatangan selepas kerusuhan, tahun 1998. Mereka semula berkeliling Pasar Induk Beras Cipinang. ”Suka ke Pasar Mede juga. Coba-coba datang, dulu namanya masih Sate Sederhana, hasilnya lumayan. Kalau akhir pekan, yang main tiga atau empat orang,” katanya.
Ayah Mulyono, Kirmadi, berbaik hati mengizinkan enam pemusik dengan instrumen lengkap, seperti cak, cuk, biola, bas, dan ukulele. ”Penyanyi perempuan juga ikut. Pemainnya gonta-ganti. Mungkin sudah generasi keenam, tetapi sebagian sering main di Stasiun Gambir,” ujarnya.
Pinggir jalan
Kirmadi mulai menjajal penghidupan di Jakarta dengan membantu temannya berjualan sate dan tongseng, tahun 1954. Warga Klaten, Jawa Tengah, tersebut lalu beralih dari warung di Kemayoran untuk berjualan menu yang sama di Jatinegara pada 1959.
Ia berdagang dengan gerobak di pinggir jalan hingga tahun 1975 setelah bibinya menyediakan rumah. Saat akhir pekan, konsumen bisa antre 15 sampai 30 menit. Tak sedikit di antara mereka yang duduk di bangku panjang menghabiskan makanan tanpa menunggu kursi kosong di dalam rumah makan itu.
Sate Keroncong dengan kapasitas 44 pengunjung yang buka pada pukul 10.00-17.00 dikunjungi sekitar 300 konsumen setiap hari kerja. Jumlah tersebut menjadi 500 orang pada Sabtu atau Minggu. Mulyono membuka cabang di Pondok Bambu, Jakarta, dengan 16 tempat duduk.
Ivano Zandra (47) yang menggandrungi gulai Sate Keroncong terlihat sangat semangat, bahkan cenderung kalap menuntaskan makan siangnya. ”Salah satu gulai paling enak yang pernah saya coba. Satenya juga empuk,” ucap wiraswasta teknologi informasi yang tinggal di Tangerang Selatan, Banten, itu.
Adapun Rafika (47) mengajak koleganya, Muhammad Dhany (23), mencoba sate favorit yang pertama kali dicoba pada 2018 itu. ”Enggak pernah nemu lagi makan sate dihibur keroncong. Saya sering bela-belain dari rumah di Bintaro (Jakarta),” tutur karyawan perusahaan logistik tersebut sambil tertawa.