Revitalisasi “Benteng Perdamaian” dalam Koridor Pelestarian
Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta sedang “bersolek”. Revitalisasi diperlukan, tapi tetap dalam koridor pelestarian.
Siraman sinar matahari masih terasa hangat saat para pekerja bangunan ”mengepung” Museum Benteng Vredeburg, Sabtu (27/4/2024). Pagi itu, mereka sibuk merenovasi bangunan di sisi timur, selatan, barat, dan utara.
Lima pekerja tampak mendempul dan mengecat bangunan dua lantai di sisi timur. Belasan pekerja lainnya memasang paving block di halaman sisi selatan yang akan difungsikan sebagai tempat parkir.
Aktivitas pekerja di sisi barat lebih ramai lagi. Ada yang memasang rangka besi, menginstalasi air mancur, memadatkan tanah, membangun pagar, hingga memasang lampu taman. Sementara di sisi utara, pekerja membenahi bangunan yang dipakai sebagai gedung diorama.
Di tengah kesibukan pekerja, Ari Setyastuti mondar-mandir mengamati pengerjaan renovasi itu. Ia merupakan konsultan pelestarian cagar budaya yang terlibat dalam proyek revitalisasi senilai Rp 50 miliar tersebut.
”Dalam pengembangan dan pemanfaatan bangunan museum pasti ada penyesuaian atau adaptasi dengan kebutuhan saat ini. Saya mengamati prosesnya agar tetap sejalan dengan koridor pelestarian,” ujarnya.
Berdiri sejak abad ke-18, Museum Vredeburg merekam sejarah penting perjalanan bangsa Indonesia. Sebelum dijadikan museum sejak 1985, benteng itu pernah difungsikan sebagai benteng pertahanan, markas militer, serta pusat informasi dan pengembangan budaya Nusantara.
Beberapa material bangunan rusak dimakan usia. Kayu yang dipakai sebagai balok penyangga, pintu, dan kosen jendela keropos digerogoti rayap. Namun, kayu-kayu itu tidak serta-merta dicopot dan diganti dengan yang baru.
Baca juga: Revitalisasi Museum Tidak Sebatas Merenovasi Bangunan
Mempertahankan keaslian bangunan sangat penting dalam konservasi. Material bangunan yang rusak diperkuat dengan berbagai metode. Kayu, misalnya, diperkuat dengan mengisinya menggunakan cairan serbuk kayu dan lem.
”Akan tetapi, aspek keamanan juga tidak boleh diabaikan. Misalnya kerusakannya sudah parah dan berpotensi membahayakan pengunjung, maka diganti dengan yang baru demi keselamatan,” ujarnya.
Di sebuah gedung yang akan digunakan sebagai tempat penjualan suvenir, Ari menunjukkan deretan balok penyangga langit-langit. Dua dari 17 balok penyangga tersebut telah diganti.
Jika dilihat dari permukaan luarnya, kondisi kedua balok itu terkesan sama dengan balok-balok lainnya. Namun, setelah diamati dengan teliti, bagian dalamnya berlubang dan berisiko ambrol jika tetap dipertahankan.
”Karena bahan aslinya kayu jati, penggantinya juga kayu jati. Jadi, dalam mengganti pun tidak boleh sembarangan,” katanya.
Renovasi bangunan juga tetap mempertahankan seluruh fasadnya. Penataan beberapa fasilitas tambahan pun mempertimbangkan pelestarian cagar budaya.
”Bagaimanapun juga, koleksi utama museum ini adalah bangunan gedungnya. Dalam renovasi ada arsitek, ahli teknik sipil, dan arkeolog yang bekerja sama. Arsitek menata pemanfaatan yang baru, teknik sipil memastikan kekuatan struktur bangunan, dan arkeolog memberi rambu-rambu mana yang boleh dan tidak,” jelasnya.
Kami juga mengupayakan untuk memperkuat peran museum sebagai pusat kebudayaan yang dinamis, inklusif, dan menarik.
Museum Benteng Vredeburg menempati lahan seluas sekitar 46.000 meter persegi. Lokasinya strategis karena terletak di dekat titik nol kilometer Yogyakarta dan Jalan Malioboro yang menjadi tujuan wisata utama.
Bangunannya merupakan cagar budaya yang pertama kali dibangun pada 1760. Benteng ini semula diberi nama Rustenburg atau benteng peristirahatan. Pada 1867, gempa bumi mengguncang Yogyakarta. Banyak bangunan rusak, termasuk Rustenburg. Setelah diperbaiki, namanya diganti menjadi Vredeburg yang artinya benteng perdamaian.
Menurut Ari, menyelaraskan pemanfaatan Museum Benteng Vredeburg dengan pelestariannya sangat penting. Apalagi, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Persatuan Bangsa-Bangsa atau UNESCO telah menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia.
”Meskipun benteng ini bukan bagian dari atribut sumbu filosofi, tapi lokasinya yang berada di titik nol (Yogyakarta) mendukung suasana di sekitarnya sehingga kelestariannya harus dijaga,” jelasnya.
Transformasi
Museum Benteng Vredeburg menyimpan lebih dari 7.000 benda bersejarah. Museum ini juga memiliki 55 diorama yang memvisualisasi sejumlah peristiwa bersejarah, seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908), Pertempuran Kotabaru (1945), Serangan Umum 1 Maret 1949, Konferensi Inter Indonesia (1949), dan Pelantikan Presiden Republik Indonesia Serikat (1949).
Sejak awal Maret 2024, museum ditutup karena sedang direvitalisasi. Revitalisasi ditargetkan rampung pada Juni mendatang. Selain merenovasi bangunan, berbagai layanan pengunjung juga ditingkatkan. Hal ini merupakan bagian dari transformasi museum yang dikelola oleh Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency (BLU MCB/IHA).
”Proses transformasi museum ini bukan hanya untuk perbaikan fisik, tapi kami juga mengupayakan untuk memperkuat peran museum sebagai pusat kebudayaan yang dinamis, inklusif, dan menarik, yang mempromosikan apresiasi terhadap keberagaman budaya Indonesia serta kesadaran akan pentingnya pelestarian sejarah,” ujar Penanggung Jawab Unit Museum Benteng Vredeburg, M Rosyid Ridlo.
Untuk mengoptimalkan fungsi edukasi, misalnya, museum akan dilengkapi fasilitas pemetaan video (video mapping). Video berdurasi 8-10 menit ini menggambarkan sejarah Benteng Vredeburg dari masa ke masa. Video ini ditampilkan di tembok sisi barat dengan panjang sekitar 90 meter.
Baca juga: Menyegarkan Wajah Museum dan Cagar Budaya
Penambahan fasilitas air mancur diharapkan menambah daya tarik bagi pengunjung. Pengelolaan Museum Benteng Vredeburg juga mengoptimalkan fungsinya sebagai ruang publik komunal. Untuk mengakomodasi kebutuhan publik, museum akan menyediakan ruang anak, toko merchandise, tempat kerja bersama atau coworking space, dan kafe.
Rosyid menuturkan, pengunjung Museum Benteng Vredeburg pada 2023 mencapai 512.000 orang. Revitalisasi museum dengan penambahan berbagai layanan diharapkan dapat mendongkrak jumlah pengunjung.
”Pada tahun ini, karena Maret-Mei museum ditutup, pengunjung ditargetkan 450.000 orang. Untuk tahun depan, kami optimistis bisa mencapai 700.000 pengunjung,” katanya.
Wajah baru Museum Benteng Vredeburg dinantikan banyak pihak. Bukan sebatas tampilan fisik yang semakin menarik, tapi juga fungsi pelestarian, edukasi, dan rekreasi yang lebih baik.