Dokternya Siapa, Saya atau Anda?
Hampir semua apoteker ketika itu pernah menangis gara-gara tak kuat mendengar omelan dokter.
Siang itu, Kamis (15/2/2024), di sebuah ruangan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, suasana tampak lebih meriah dibanding hari-hari biasanya. Di dinding tergantung hiasan ucapan selamat ulang tahun. Terhidang pula suguhan aneka kudapan, kopi, dan nasi kebuli.
Rupanya, apoteker RSUD Dr Soetomo, Mariyatul Qibtiyah, sedang berulang tahun. Pesta kecil-kecilan Qibti yang memasuki usia 53 tahun itu digelar di ruang Komite Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) RSUD Dr Soetomo.
Sejumlah dokter spesialis di rumah sakit itu tampak hadir, mulai dari dokter spesialis obstetri dan ginekologi Hari Paraton, dokter spesialis penyakit dalam Musofa Rusli, dokter spesialis penyakit dalam sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Usman Hadi, dokter spesialis anestesi Bambang Pujo Semedi, dan dokter spesialis anak Dwiyanti Puspitasari.
Baca juga: Banyak Dokter Masih Serampangan Meresepkan Antibiotik
Sembari menyantap nasi kebuli, para dokter membahas strategi rumah sakit dalam mengontrol dan mengawasi penggunaan antibiotik. Qibti sebagai satu-satunya apoteker dalam forum ikut nimbrung dalam diskusi. Pengetahuannya tak kalah mumpuni saat bertukar pikiran dengan para dokter. Dari suasana diskusi itu terlihat posisi seorang apoteker setara dengan para dokter spesialis. Apoteker tidak terkesan lebih inferior.
”Kemarin ada pasien mau pulang, Dok, dikasih (antibiotik) linezolid oral. Saya tanya ke dokternya apakah ada hasil tes kulturnya (tes untuk mengetahui jenis bakteri penyebab infeksi). Ternyata tidak ada. Setelah itu, dokternya bilang tidak jadi (memberikan linezolid),” ujarnya.
Sebagai apoteker klinis, Qibti wajib menilai serta mengkaji pengobatan yang diberikan dokter ke pasien. Namun, hal itu tak mudah dilakukan karena relasi antarprofesi di rumah sakit secara aktual kerap tidak setara. Seperti lazimnya pembicaraan di antara pelaku tenaga kesehatan, konon dokter sebagai tenaga medis merasa ”lebih tinggi” dibanding tenaga kesehatan lainnya, seperti apoteker dan perawat. Oleh karena itu, agak sulit bagi apoteker menanyakan, apalagi mengoreksi resep dokter meskipun itu bagian dari tugasnya.
PPRA sebagai upaya pengendalian penggunaan antibiotik untuk mencegah kemunculan bakteri resistan sudah ada di RSUD Dr Soetomo sejak 2007. Qibti merasakan beratnya perjuangan mengawasi penggunaan antibiotik di fase awal. Hampir semua apoteker ketika itu pernah menangis gara-gara tak kuat mendengar omelan dokter.
Jadi gitu ya, tugas farmasi itu menilai dokter, mencari kesalahan dokter, ya?” demikian komentar pedas dari dokter yang masih diingatnya.
Belasan tahun terlibat dalam pengendalian antibiotik, apoteker yang sudah 28 tahun bekerja di RSUD Dr Soetomo ini mulai merasakan perubahan perilaku dokter. Para dokter yang meresepkan antibiotik secara serampangan, tanpa prinsip rational use of medicine, mulai bisa ditertibkan.
Baca juga: Resep Antibiotik di Rumah Sakit Tanpa Pengawasan
Menurut Hari Paraton, ada beberapa hal yang membuat hubungan dokter dan apoteker tidak mulus. Pertama, ada masalah komunikasi di antara mereka. Keberadaan apoteker hanya dimaknai sebagai pelayan obat di apotek (instalasi farmasi). Situasi ini diperparah karena belum banyak apoteker yang memperkuat kompetensinya sehingga tercipta ketimpangan pengetahuan antara dokter dan apoteker.
Baca juga: Sakit Sedikit, Jangan Lari ke Antibiotik
Oleh karena itu, melalui PPRA, lanjut Paraton, tenaga farmasi didorong memperbarui pengetahuan. Mereka dipaksa terus belajar, terutama terkait materi tentang tata laksana penggunaan antibiotik di rumah sakit. Dengan demikian, kapasitasnya kian mumpuni dan makin percaya diri saat berdiskusi dengan dokter.
”Sekarang di RSUD Dr Soetomo levelnya sudah di tahap dokter yang berkonsultasi ke farmasi saat ingin memberikan antibiotik. Bahkan, Bu Qibti sudah bisa memimpin rapat Forkkit (Forum Kajian Kasus Infeksi Terintegrasi) untuk penanganan pasien yang penyakitnya berat,” katanya.
Qibti menjadi contoh ideal dalam upaya mengendalikan penggunaan antibiotik di rumah sakit. Sebagai tenaga farmasi, ia bisa menjadi mitra yang setara sekaligus pengawas dokter dalam meresepkan obat, khususnya antibiotik.
Baca juga: Ihwal Upaya Mengubah Paradigma Antibiotik di Indonesia
Sayangnya, sejumlah sejawat Qibti di rumah-rumah sakit lain belum sampai ke tahap seperti itu. Banyak apoteker yang masih sungkan terhadap dokter. Mereka membentur tembok saat mengevaluasi resep karena dokter sewaktu-waktu bisa mengeluarkan kalimat pamungkas: dokternya siapa, saya atau Anda?
Di Rumah Sakit Umi Barokah, Boyolali, Jawa Tengah, misalnya. Apoteker sekaligus Sekretaris PPRA RS Umi Barokah Nadia Rahmawati kesulitan memberitahu dokter tentang penggunaan antibiotik yang benar. Dia dan apoteker lain di rumah sakit rerata masih berstatus karyawan baru.
Sementara yang dihadapi adalah dokter spesialis. Beberapa di antaranya bahkan sudah senior dan punya pertimbangan sendiri dalam memberikan antibiotik. ”Saya yang paham pasien saya. Saya bertanggung jawab atas pasien itu,” demikian Nadia menirukan komentar tajam dokter di rumah sakit itu.
Baca juga: Mempertanyakan Kebiasaan Dokter Meresepkan Antibiotik
Situasi serupa juga terjadi di RSUD Bung Karno, Solo, Jawa Tengah. Menurut apoteker di rumah sakit itu, Hadi Cahyo, hingga kini belum ada apoteker yang bicara langsung ke dokter untuk saran pemberian antibiotik. Ini karena sistem PPRA di rumah sakit belum maksimal. Dokter pun memberikan antibiotik sesuai kebiasaan masing-masing.
”Jadi belum ada komunikasi begini, ‘Dok, ini ada yang lebih tepatdari (antibiotik) cefixime. Kami sarankan ini.' Belum (bisa) ada komunikasi seperti itu dengan dokter di sini,” ungkapnya.
Macetnya komunikasi antara dokter dan apoteker juga tergambar dari pengalaman Sudarsono, apoteker RSUD Depati Hamzah, Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung. Di sebuah kedai kopi di Pangkalpinang, Senin (26/2/2024) malam, Sudarsono membuka aplikasi Whatsapp dan menunjukkan percakapannya dengan dua orang, salah satunya apoteker.
Baca juga: Rumah Sakit Menghemat Biaya dari Pengendalian Antibiotik
Apoteker itu bekerja di sebuah klinik. Dari obrolan mereka, si apoteker terkesan agak khawatir dengan resep yang ia terima. Diagnosis pasien adalah demam disertai kejang. Dokter meresepkan antibiotik (cefixime), tetapi tidak diberi obat untuk mengobati kejang.
Si apoteker merasa ada yang keliru dengan peresepan itu. Namun, alih-alih bertanya langsung ke dokter yang menulis resep, si apoteker malah berkonsultasi dengan Sudarsono. ”Selesaikan (diobati) kejangnya dulu sambil dianalisis apa penyebab demamnya,” demikian saran dari Sudarsono, alumnus Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada ini.
Sudah tak terbilang banyaknya Sudarsono menerima konsultasi semacam ini, baik dari teman sejawat maupun dari masyarakat awam yang tak kunjung sembuh meski telah mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Menurut dia, ini terjadi karena apoteker di rumah sakit belum leluasa menjalankan fungsi untuk mengkaji resep.
”Kalau di rumah sakit, terutama di daerah, tenaga farmasi itu terlibatnya hanya saat ditanya stok (obat) ada apa tidak. Cara pandangnya masih begitu,” ujarnya.
Padahal, seharusnya tidak boleh ada ”kasta” dalam dunia profesi terkait kesehatan. Baik dokter, apoteker, maupun perawat sepatutnya di posisi setara dalam menjalankan tugasnya. Tujuannya tak lain adalah kepentingan kesembuhan pasien secara bertanggung jawab.
Baca juga: ”Industrio-Medical Complex” Makin Kompleks