Empat Bulan Banjir Tak Surut di Bulak Barat Depok, Pemerintah Kota Dihujat Warga
”Jalan ini sudah mati”, spanduk tanda geram warga Cipayung, Kota Depok, dengan lambannya penanggulangan banjir di sana.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Warga yang tinggal di Bulak Barat, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Jawa Barat, geram karena sudah empat bulan jalan akses strategis yang menghubungkan daerahnya dengan wilayah Pasir Putih, Sawangan, Depok, tidak bisa dilewati. Kawasan itu terendam banjir. Keluhan kepada Pemerintah Kota Depok sudah dilontarkan berkali-kali, tetapi tidak pernah ada respons.
Air di Kali Sanggrahan yang memisahkan kedua wilayah itu meluap hingga ketinggian 1,5 meter. Jembatan penghubung yang baru dibangun tiga tahun lalu ikut tenggelam.
Sarmili (69), warga Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Depok berjalan perlahan di tengah banjir. Dia baru saja memilah barang bekas di kawasan Pasir Putih dan akan mengolahnya di tempat pengumpulan sampah yang ada di Bulak Barat.
”Jika harus memutar, saya harus berjalan hingga 3 kilometer. Karena itu, lebih baik saya menerobos banjir yang jaraknya hanya sekitar 150 meter,” kata Sarmili.
Dengan mengenakan sepatu bot, ia berjalan perlahan menembus tingginya air yang mencapai dagunya itu. Pakaian yang ia kenakan basah kuyup.
Sarmili yang sehari-harinya bekerja sebagai pemulung di sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipayung menilai banjir kali ini sudah sangat meresahkan. Selain merendam rumah warga, sampah yang bisa ia pungut sangat sedikit.
”Karena kebanyakan sampah longsor ke dasar kali,” ujarnya.
Sarmili mengatakan, banjir yang memutus jalan akses antara Cipayung dan Sawangan ini mengubah dua daerah ini menjadi kota mati. ”Tidak ada lagi kendaraan yang lewat karena banjir menggenang begitu dalam,” katanya.
Padahal sebelum banjir melanda, daerah ini menjadi jalur alternatif bagi pengendara yang ingin bepergian dari wilayah Cipayung ke Sawangan atau sebaliknya. Menurut dia, banjir ini terjadi akibat longsoran sampah dari TPA Cipayung yang membuat Kali Sanggrahan kian menyempit.
”Dulu lebar kali bisa mencapai 7 meter, tapi sekarang menyempit menjadi hanya 2 meter,” kata Sarmili.
Anis (45), warga Bulak Barat, Kecamatan Cipayung, mengatakan, akibat banjir yang sudah menggenang, beberapa warga pun harus mengungsi bahkan pindah permanen.
”Setidaknya sudah ada tiga kepala keluarga yang pindah karena rumahnya tenggelam selama berbulan-bulan,” katanya.
Selain rumah pribadi, beberapa ruko, indekos, dan sebuah pabrik tahu pun tidak lagi berpenghuni. ”Sekarang situasi sudah sepi, tidak seramai dulu lagi,” kata Anis.
Ia teringat pada awal Maret 2024 lalu, banjir besar pernah terjadi akibat jebolnya tanggul di Kawasan Bogor. Ketinggian air saat ini mencapai 4 meter. Waktu itu, bantuan memang berdatangan dari Pemerintah Kota Depok hingga kementerian.
Namun, ujar Anis, saat ini bukan bantuan saja yang dibutuhkan warga, melainkan komitmen pemerintah untuk segera memperbaiki infrastruktur juga diperlukan sehingga banjir tidak berlarut-larut.
Sampai sekarang walaupun surut, air tetap saja menggenang. Satu unit ekskavator yang disiapkan pun belum beroperasi.
Ketua RT 004 RW 008 Naseri mengungkapkan, akibat jalan penghubung yang terendam air, kawasan Bulak Barat seakan menjadi kota mati. Sebelum banjir menghadang seperti sekarang, kota ini selalu hidup bahkan sampai 24 jam. Sekarang sudah jarang sekali ada kendaraan yang lewat di jalur ini.
Atas kegeraman ini, warga memasang spanduk bertuliskan ”Jalan ini sudah Mati”. Ya, karena memang jalan ini sudah tidak bisa dilewati. Situasi ini pun sudah disampaikan ke Pemerintah Kota Depok mulai dari dinas hingga Wali Kota. ”Namun, tidak ada respons sama sekali,” ucap Naseri.
Karena itu, kami meminta warga untuk bersabar.
Lurah Cipayung Muhammad menyanggah adanya pernyataan itu. Selama ini, pihaknya terus memantau kondisi di lapangan. Namun untuk menyelesaikan masalah ini memang membutuhkan waktu.
Masalah yang terjadi di Bulak Barat sudah disampaikan kepada Pemerintah Kota Depok. Hasilnya, normalisasi sungai menjadi program prioritas di pertengahan tahun ini.
Sejumlah langkah pun sudah disiapkan, seperti melakukan normalisasi sungai. Pertama dengan mengangkat sampah yang menyebabkan pendangkalan. Sampah itu, ujar Muhammad, berasal dari hulu sungai di Bogor. ”Depok menjadi hilirnya sehingga sampah pun terus menumpuk,” katanya.
Tumpukan sampah itu pun akhirnya menyumbat aliran Kali Sanggrahan dan terjadilah banjir. Namun, upaya jangka pendek pun sudah dilakukan. Beberapa ekskavator pun sudah disiapkan untuk mengangkut sampah agar banjir secara bertahap bisa surut.
Di sisi lain, dalam waktu dekat akan ada pembangunan turap sejauh 1,2 kilometer untuk mencegah longsoran sampah yang bisa mempersempit daya tampung debit air di Kali Sanggrahan.
”Karena itu, kami meminta warga untuk bersabar,” ujar Muhammad.
Sebenarnya warga tidak boleh tinggal di sempadan sungai, apalagi membangun rumah. Tapi pada kenyataannya, walau tidak ada izin, masih ada saja yang nekat membangun di kawasan tersebut.
”Musibah (banjir) ini tentu sudah menjadi konsekuensi,” katanya.