Kontestasi Pilgub Sultra Bakal Sengit Tanpa Petahana
Pilgub Sultra diprediksi berlangsung sengit seiring tidak adanya petahana. Calon bergerilya memastikan tiket.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
Riuh suasana penjaringan calon gubernur Sulawesi Tenggara mulai berlangsung. Sejumlah nama besar berseliweran dalam penjaringan partai. Nama mantan Wakil Gubernur Sultra, istri mantan Gubernur Sultra, politisi senior, mantan bupati, dan beberapa nama lain menghiasi ranah pendaftaran. Persaingan ketat akan berlangsung seiring tidak adanya gubernur petahana.
Hingga akhir April 2024, sejumlah partai telah membuka dan menerima penjaringan nama calon yang akan mengikuti pilkada November mendatang. Sejumlah nama besar yang selama ini aktif melakukan sosialisasi bermunculan. Mulai dari Wakil Gubernur Sultra 2018-2023 Lukman Abunawas yang juga Ketua DPW PDI-P Sultra; anggota DPR, Tina Nur Alam; dan Bupati Konawe Utara dua periode, Ruksamin. Selain itu, juga ada nama mantan Bupati Konawe dua periode, Kerry Saiful Konggoasa; Ketua DPW PPP Sultra Andi Sumangerukka, anggota DPR, Hugua; dan Bahtiar.
Partai Demokrat menjadi yang pertama membuka penjaringan calon gubernur dan wakil gubernur Sultra. Sejak akhir Maret lalu, telah ada sejumlah nama yang mengambil hingga mengembalikan formulir. Ketua DPD Partai Demokrat Sultra Muhammad Endang SA menyatakan telah menerima sembilan nama yang mengambil formulir pendaftaran. Empat di antaranya telah mengembalikan formulir.
”Tentu (nama-nama ini) nanti akan ditelaah, dan dilakukan pendalaman terkait visi-misi, elektabilitas, dan lainnya. Hasilnya akan diserahkan ke DPP. Seperti sebelumnya, biasanya rekomendasi tidak akan keluar dari mereka yang mendaftar,” kata Endang, Senin (29/4/2024).
Pilgub Sultra akan berlangsung sengit seiring tidak adanya calon petahana. Nama-nama yang beredar memiliki peluang yang sama. Namun, Endang berharap semua calon mengedepankan kontestasi berdasarkan program. Dengan demikian, terjadi dialektika berdasarkan pemikiran, bukan hanya perasaan atau uang semata.
”Kalau saya istilahkan, calon itu harus mempunyai poin, joint, dan koin. Poin itu terkait visi-misi, joint termasuk jejaring dan rekam jejak, serta koin itu sumber daya untuk membiayai pencalonan, di mana kita tahu biaya politik sangat mahal. Dan, saya berharap kualitas kontestan kita mengedepankan program dan platform untuk melahirkan dialektika yang positif di masyarakat nantinya,” tambahnya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Eka Syuaib menjabarkan, saat ini semua calon fokus mendapatkan pintu untuk menjadi kontestan di Pilgub Sultra mendatang. Mereka bergerilya di sejumlah partai agar bisa memperoleh rekomendasi minimal. Berdasarkan syarat pilkada lalu, pasangan calon minimal memiliki dukungan sembilan kursi di DPRD Sultra.
”Dan, sejauh ini tidak ada partai yang bisa mengusung calon sendiri. Harus berkoalisi. Koalisinya bisa dua model. Pertama dengan model pilpres, kedua berdasar dinamika di wilayah. Ini masih sangat cair,” tuturnya.
Berdasarkan rekapitulasi KPU Sultra, Partai Nasdem adalah pemenang pemilu legislatif di Sultra dengan enam kursi, bersama PDI-P dan Partai Golkar. Selanjutnya, Partai Gerindra memperoleh lima kursi, disusul Partai Demokrat, PKS, dan PBB yang sama-sama meraih empat kursi. Kemudian, PKB, PAN, dan PPP sama-sama meraih tiga kursi. Posisi terakhir adalah Partai Hanura yang memperoleh satu kursi.
Menurut Eka, semua koalisi dan nama yang beredar masih sangat mungkin terjadi. Terlebih lagi, tidak adanya petahana membuat semua calon memiliki peluang yang sama.
”Untuk pintu rekomendasi, sahamnya itu ada di DPP masing-masing. Dan partai akan menghitung secara cermat, terlebih Sultra adalah daerah potensial dengan sumber daya alamnya yang tinggi. Oleh karena itu, kita harus terus mendorong agar kontestasi berdasarkan program nantinya. Agar kita tahu seperti apa rencana kontestan terhadap wilayah kita ini,” katanya.
Dihubungi terpisah, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kendari, Andi Awaluddin Ma’ruf, mengungkapkan, sejauh ini beberapa nama telah menunjukkan keseriusan untuk bertarung pada pilgub mendatang. Sebagian besar adalah nama-nama besar yang selama ini karib terdengar di kancah politik Sultra.
Pertarungan gagasan itu harus terus kita dorong ke depannya agar tercipta diskursus di kalangan pemilih.
Berdasarkan sejumlah survei, lanjutnya, semua bakal calon memiliki peluang yang hampir merata. Belum ada nama yang begitu dominan dan menguasai elektabilitas dalam survei yang berlangsung.
Selain figur, katanya, dibutuhkan pula sosok yang telah dikenal masyarakat umum. Faktor sosiologis kultural menjadi penting karena keterikatan masyarakat dengan calon masih sangat kuat.
”Mapping sosiologis masih akan berperan. Misalnya, wilayah daratan dan kepulauan, pendatang atau tidak. Itu realitas politik yang terjadi saat ini,” katanya.
Secara umum, pemilih akan terpilah menjadi dua bagian besar, yaitu pemilih tradisional dan rasional. Pemilih tradisional akan memilih berdasarkan kedekatan kultural dan emosional. Sementara pemilih rasional akan memilih berdasarkan program dan rencana kerja yang ditawarkan.
Namun, di luar semua itu, salah satu faktor penentu adalah program yang ditawarkan nanti. Dalam sejumlah survei, pemilih cenderung sangat tertarik dengan program yang menyentuh langsung pemilih di level bawah. Hal itu akan berkorelasi signifikan terhadap elektabilitas.
”Dan pertarungan gagasan itu harus terus kita dorong ke depannya agar tercipta diskursus di kalangan pemilih,” ujarnya.