Imbas Global dari Divergensi Ekspektasi
Kecenderungan global mengarah kepada penurunan suku bunga acuan. Sementara The Fed masih menahan suku bunga acuan.
Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menggunakan suku bunga untuk manajemen makro karena dua variabel penting dalam permintaan agregat, yaitu konsumsi dan investasi. Ini misalnya merujuk pada pengeluaran untuk kendaraan, rumah, dan mesin, yang umumnya dibiayai kredit.
The Fed menahan suku bunga acuan pada tingkatnya yang sekarang karena persistensi inflasi di AS. Inflasi tidak kunjung turun di bawah 3 persen sehingga target tradisional 2 persen belum kunjung tercapai.
Bahkan di luar dugaan, inflasi Februari 2024 naik tipis ke 3,2 persen dari 3,1 persen pada bulan sebelumnya. Sektor perumahan (beli dan sewa) serta transportasi menyumbang 60 persen atas kenaikan inflasi Februari.
The Fed menggunakan suku bunga untuk manajemen makro karena dua variabel penting dalam permintaan agregat, yaitu konsumsi dan investasi.
Kepemilikan rumah merupakan bagian dari American Dream yang merupakan aktualisasi gaya hidup kaum kelas menengah AS. Kontribusi sektor perumahan adalah 15-18 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sementara dampak tidak langsung terjadi melalui backward linkage dengan sektor manufaktur yang menghasilkan material yang digunakan untuk membangun rumah. Di antaranya adalah kayu, paku, semen, dan besi.
Kepemilikan rumah umumnya dibiayai oleh kredit (KPR). Masyarakat mencicilnya dalam tenor 20-30 tahun. Bagian dari pendapatan bulanan yang harus disisihkan sangat tergantung pada suku bunga kreditnya yang pada gilirannya dipengaruhi suku bunga acuan the Fed, kecuali untuk yang memilih suku bunga tetap dari awal.
Sejak Maret 2022
Kebijakan suku bunga tinggi The Fed untuk meredam inflasi AS dilakukan sejak pertengahan Maret 2022. Secara bertahap, suku bunga naik dari 0,25 persen ke 5,5 persen.
Penjualan rumah baru yang baru saja mulai pulih dari dampak pandemi Covid-19 pun turun drastis, dari 830 ribu unit di Desember 2021 ke 530 ribu unit di Juli 2022.
Walaupun kemudian dengan pemulihan ekonomi pascapandemi sempat naik ke 728 ribu unit di Juli 2023, tingginya suku bunga menyebabkan penjualan turun kembali ke 607 ribu unit di November 2023. Untuk rumah lama, perkembangannya tidak jauh berbeda, turun dari 643 ribu unit di Januari 2022 ke 388 ribu unit di Desember 2023.
Kebijakan suku bunga tinggi The Fed untuk meredam inflasi AS dilakukan sejak pertengahan Maret 2022.
Turunnya permintaan ini tidak menurunkan harga rumah. Sebaliknya, indeks harga rumah bahkan naik dari 392,42 di Juni 2022 ke 417,8 di Desember 2023. Penyebabnya adalah sisi penyedia atau pengembang meresponsnya dengan menurunkan pasokan dengan alasan prospek bisnis yang lesu dan naiknya biaya modal kerja.
Hasilnya pasokan rumah baru turun drastis. Sementara, mereka yang sudah memiliki rumah juga enggan menjualnya karena untuk membeli rumah baru harganya tidak terjangkau. Lagi pula bunga KPR-nya terlalu mahal.
Kontraksi
Pertumbuhan ekonomi AS seharusnya melambat atau bahkan terkontraksi dengan terganggunya sektor perumahan. Sempat diprediksi akan mengalami resesi pada 2023, ekonomi AS justru tumbuh positif.
Setelah tumbuh minus 2 dan minus 0,6 persen di triwulan I dan II pada 2022, ekonomi AS selalu mencatatkan pertumbuhan positif di atas 2 persen sejak triwulan III-2022. Bahkan di triwulan III dan IV 2023, pertumbuhannya tercatat 4,9 persen dan 3,4 persen.
Dampak positifnya bagi Indonesia adalah ekspor nonmigas ke AS tetap tumbuh 6 persen secara tahunan di tengah penurunan pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar minus 9,24 persen di Februari 2024 akibat perlambatan sektor manufaktur dunia.
Pengganti sektor perumahan sebagai mesin pertumbuhan di AS adalah sektor jasa.
Pengganti sektor perumahan sebagai mesin pertumbuhan di AS adalah sektor jasa. Masyarakat yang mempunyai tabungan karena turunnya mobilitas selama pandemi membelanjakannya pada kegiatan yang sifatnya relaksasi mulai dari perjalanan wisata, kuliner sampai hiburan seperti konser dan bioskop.
Hal yang dikhawatirkan adalah tabungan sebagai sumber konsumsi tambahan akan menipis seiring berjalannya waktu sehingga pertumbuhan ekonomi akan melemah. Dari segi inflasi, setelah turun dari puncaknya 9,1 persen di pertengahan 2022, angkanya terus menurun. Namun kemudian tertahan di 3 persen karena inflasi di sektor perumahan.
Dilematis
Bagi The Fed, pilihannya tidak mudah. Sebab, menurunkan suku bunga acuan berpotensi memicu meledaknya permintaan tertahan (pent-up demand).
Sementara, efek positifnya pada pasokan rumah baru akan bekerja lebih lambat, melalui turunnya bunga kredit modal kerja konstruksi dan pengembang. Konsekuensinya, sektor perumahan akan menambah tekanan inflasi ke perekonomian sebelum kembali ke keseimbangan.
Dilemanya adalah jika suku bunga acuan tetap dipertahankan pada tingkat sekarang, ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan rumah akan tetap ada.
Dilemanya adalah jika suku bunga acuan tetap dipertahankan pada tingkat sekarang, ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan rumah akan tetap ada. Inflasi akan tetap bertahan di kisaran 3 persen dan sukar ditekan ke 2 persen.
Konsekuensi lain, daya ungkit sektor perumahan tidak dapat menopang pertumbuhan ekonomi. Sementara, tabungan yang selama ini mendorong konsumsi dan pertumbuhan akan semakin menipis. Pilihan dilematis ini menimbulkan peningkatan ketidakpastian dunia karena divergensi ekspektasi.
Menunggu
Ekspektasi pertama adalah the Fed akan mencari aman dengan meneruskan langkah wait and see. Pilihan mempertahankan suku bunga tetap menarik. Sebab, tanpa menurunkan angkanya, perekonomian AS tetap menunjukkan daya tahan.
Bukannya tanpa alasan, pasar tenaga kerja menunjukkan pemulihan kesempatan kerja yang memungkinkan konsumsi jasa-jasa untuk dipertahankan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi AS tetap di atas 2 persen, paling tidak untuk sementara.
Tingkat pengangguran sepanjang 2022, 2023, dan awal 2024 tetap di bawah 4 persen. Sementara tingkat kesempatan kerja berada di kisaran 60 persen sejak Maret 2022 sampai sekarang.
Ekspektasi berikutnya adalah kecenderungan global yang mengarah kepada penurunan suku bunga acuan.
Ekspektasi berikutnya adalah kecenderungan global yang mengarah kepada penurunan suku bunga acuan. Jika tidak segera, eksekusinya paling lambat di pertengahan 2024 guna mencegah perlambatan pertumbuhan akibat melambatnya pertumbuhan sektor jasa.
Sementara The Fed masih menahan suku bunga, modal portepel global mengalir ke AS mengantisipasi potensi capital gain baik dari obligasi maupun pasar saham. Akibatnya, indeks dollar AS meningkat signifikan dari 102.73 di pekan pertama Maret ke 104.59 di pekan terakhir Maret.
Depresiasi rupiah
Dampaknya adalah depresiasi mata uang negara-negara lain termasuk rupiah yang membawa inflasi yang diimpor. Antara pertengahan sampai pekan terakhir Maret, rupiah bergerak dari kisaran Rp 15.600-an ke Rp 15.800-an per dollar AS.
Inflasi tahunan Indonesia masih di bawah 3 persen. Namun untuk Februari 2024, inflasi naik ke 2,75 persen dari 2,57 persen di Januari.
Dampaknya adalah depresiasi mata uang negara-negara lain termasuk rupiah yang membawa inflasi yang diimpor.
Kelompok makanan tetap dominan dengan kontribusi 65 persen. Implikasi kebijakannya, untuk meminimalkan inflasi yang diimpor, termasuk kelompok makanan seperti beras, minyak goreng dan lain-lain, diperlukan peningkatan pasokan produksi dalam negeri serta memperbaiki jalur distribusi.
Satu titik cerah, walaupun indeks dollar AS menguat, harga beras di pasar internasional sudah turun. Mengutip Tradingeconomics per 31 Maret 2024, harganya turun dari 19 dollar AS per cwt di awal Februari ke 16,4 dollar AS per cwt di akhir Maret. (1 cwt = 50,8023 kg). Dengan demikian ruang kebijakan untuk stabilisasi harga menjadi semakin besar.