Bagaimana kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045 jika sarana dan prasarana pendidikan tidak terpenuhi dengan baik.
Oleh
SAMESTO NITISASTRO
·3 menit baca
Barack Obama pernah mengatakan, ”Sebagai orangtua, kita perlu waktu dan tenaga untuk menemukan berbagai cara membantu anak-anak kita agar cinta membaca, bicara dengan mereka apa yang kita baca, dan menyediakan waktu untuk itu dengan mematikan televisi.... Kita perlu berpikir out of the box”.
Obama, yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, mengimbau warganya untuk cinta membaca. Hal yang jarang terdengar di Indonesia, ada pejabat negara atau tokoh masyarakat yang mempunyai perhatian terhadap masalah baca-membaca. Oleh karena itu, tidak salah kalau kemampuan dan minat baca bangsa kita memang sangat menyedihkan. Kalaupun ada pejabat negara yang mengeluarkan pernyataan, tidak lebih hanya sekadar retorika dan tidak ada tindak lanjut.
Salah satu masalah serius dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah sangat terbatasnya fasilitas perpustakaan di sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, dan sekolah lanjutan tingkat atas milik pemerintah. Bagaimana kita akan mampu mencetak bangsa yang cerdas jika buku sebagai sumber ilmu serba terbatas? Sebagian besar sekolah swasta biasanya mempunyai fasilitas perpustakaan yang cukup memadai.
Sejumlah negara mewajibkan siswa sekolah lanjutan tingkat atas membaca sejumlah buku dalam satu tahun. Bagaimana dengan Indonesia, sepertinya belum pernah terdengar ada kewajiban semacam itu?
Mencerdaskan anak bangsa tentunya tidak hanya sekadar menyediakan makan siang gratis, yang hanya bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan jasmani. Namun, jiwa dan pikiran juga harus diisi oleh ilmu pengetahuan agar siswa-siswa sekolah sehat secara jasmani, jiwa, dan pikiran. Bagaimana kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045 jika sarana dan prasarana pendidikan sebagai kebutuhan dasar tidak terpenuhi dengan baik?
Pemerintahan mendatang selain secara berkelanjutan melakukan perbaikan dan pembangunan gedung-gedung sekolah, seharusnya juga menyiapkan perpustakaan yang lengkap, termasuk menyediakan perangkat lunak untuk bisa mengakses buku-buku digital atau e-book. Apabila anggaran tidak mencukupi untuk adanya perpustakaan di setiap sekolah, bisa dimulai dengan satu kecamatan satu perpustakaan. Selanjutnya, secara bertahap, setiap tahun satu kelurahan/desa satu perpustakaan. Penyediaan fasilitas perpustakaan hanya akan menggunakan sebagian kecil dari anggaran pendidikan yang besarnya 20 persen dari anggaran belanja negara.
Beberapa waktu lalu, saya menginap di Surabaya. Secara kebetulan, saya memperhatikan transportasi publik di kota itu. Untuk transportasi publik massal ada dua macam, yaitu bus (BRT) dan angkot. Transportasi publik massal bisa muat penumpang lebih banyak, beroperasi pada rute tertentu, tarif murah.
Sementara transportasi publik nonmassal berbasis aplikasi (Gojek, Gocar, dan lainnya) yang datang ke konsumen, rute sesuai permintaan, tarif lebih mahal daripada transportasi publik massal.
Di Surabaya dan kota-kota lainnya, transportasi berbasis aplikasi tampak terus berkembang dan cenderung mendisrupsi transportasi publik massal, seperti bus kota dan angkot yang pelan-pelan tersingkir. Padahal, masyarakat kelas bawah selama ini menggantungkan pada transportasi publik massal yang tarifnya terjangkau dan kesulitan beralih ke transportasi berbasis aplikasi. Ini merupakan masalah ketidakadilan yang tidak bisa dianggap enteng,
Tak mengherankan, banyak warga masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi guna memenuhi kebutuhan mobilitasnya. Setiap tahun, jumlah kendaraan pribadi roda empat dan roda dua bertambah berlipat ganda yang akan menyebabkan kemacetan, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) meningkat, serta polusi udara terjadi di perkotaan.
Oleh sebab itu, pemerintah yang baru diharapkan dapat mengambil langkah serius dengan membuat kebijakan yang komprehensif di bidang transportasi publik.