Penelitian tentang durian masih amat terbatas dilakukan, khususnya oleh peneliti lokal.
Oleh
BAHARUDDIN ARITONANG
·3 menit baca
Penulis terkejut membaca wawancara Kompas dengan Edward Hutabarat (Kompas, 23 April 2024). Di situ ditulis bahwa durian mengandung kolesterol. Edward Hutabarat lebih memilih durian ketimbang kepiting dan udang yang sama-sama mengandung kolesterol tinggi.
Penulis telah membaca beberapa buku dan artikel tentang durian, baik Durio zibethinus maupun durio lainnya. Rasanya belum menemukan tulisan durian yang mengandung kolesterol. Di dalam daging buah durian malah terkandung banyak zat yang bermanfaat untuk tubuh, baik karbohidrat, mineral, maupun vitamin.
M Reza Tirtawinata dkk yang ahli durian dari Bogor juga menulis kandungan kolesterol durian 0,0 mg. Artinya, durian sama sekali tidak mengandung kolesterol. Uraian itu dilengkapi dengan kalimat, bagi yang akrab dengan biologi gizi dasar, hal itu tidak mengejutkan. Uraian itu sejalan dengan yang ditulis di Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) bahwa kolesterol ditemukan pada tubuh manusia dan hewan.
Tentang tiadanya kandungan kolesterol di dalam durian dikutip Reza Tirtawinata dkk dari basis data daftar gizi nasional dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Analisis tentang kandungan bahan ini dilakukan pada durian jenis montong, yang banyak diperdagangkan. Karena tiadanya referensi lain, itu pula yang penulis kutip di buku Durian Siraja Buah (Rajagrafindo, Jakarta, 2022).
Buku itu ditulis mengingat ”terbatas”-nya publikasi tentang durian. Padahal, tanaman ini berasal dari Asia Tenggara, khususnya Pulau Kalimantan, Semenanjung Malaysia, dan Pulau Sumatera.
Penelitian tentang durian masih amat terbatas dilakukan, khususnya oleh peneliti lokal, termasuk penelitian tentang kandungan zat daging buahnya.
Yang menarik lagi, dalam tulisan di Kompas itu dijelaskan bahwa Edward Hutabarat lahir di Tarutung, kota yang menjadi ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Di surat pembaca saya di Kompas, 23 Januari 2024, saya jelaskan bahwa sejarah kota Tarutung berasal dari sebatang pohon durian tua yang tumbuh di tengah kota. Tarutung merupakan bahasa Batak untuk durian. Sayang, Tarutung dan pemerintah daerah Tapanuli Utara belum terlalu memuliakan durian.
Hal bagus yang dilakukan Kompas dalam menyajikan berbagai sajian kontennya kerap mengangkat tradisi lokal yang hidup di masyarakat dari banyak daerah di Indonesia. Setidaknya ini menggambarkan kekayaan tradisi dan budaya Nusantara.
Salah satu sajian Kompas yang menarik adalah tradisi garebek di Desa Sidomulyo, Kediri, Jawa Timur, yang menyediakan lima gunungan berisi seribu ketupat untuk dimakan bersama (Kompas, 16 April 2024). Sementara liputan tradisi kupatan di Dusun Legon Cikmas, Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, digelar sepekan setelah hari raya Idul Fitri (Kompas, 18 April 2024).
Tradisi lokal selalu menunjukkan kearifan lokal yang ada sejak lama pada masyarakat setempat, bagaimana harus menjalani nilai-nilai hidup yang berkembang dalam masyarakat tersebut dan bagaimana masyarakat setempat menyeimbangkan diri dengan sesama dan alam lingkungannya.
Setiap tradisi biasanya juga merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas segala karunia dan nikmat yang diterima masyarakat, seperti syukur atas hasil panen, syukur atas kerukunan, syukur atas kebersamaan dan persaudaraan, memohon keselamatan, dan sebagainya. Dengan demikian, disadari ada peran Sang Pemberi Hidup yang menggerakkan berbagai syukur dan permohonan tersebut.
Berbagai tradisi, seperti merti desa, merti dusun, sedekah laut, sedekah bumi, ngruwat bumi, gerebek, kupatan, nyadran, dan berbagai peristiwa budaya tradisional yang diangkat oleh Kompas menjadi cara untuk nguri-nguri budaya dan melestarikan nilai-nilai hidup yang berkembang di masyarakat. Inisiatif pemerintah daerah atau pemerhati budaya dibutuhkan untuk bisa mengangkat tradisi tersebut sebagai acara wisata budaya lokal.