Pria Idaman
Restu Presiden Jokowi atau pencalonan Gibran diduga berpengaruh besar terhadap kemenangan Prabowo-Gibran.
Apa pun keputusan Mahkamah Konstitusi atas perselisihan hasil pemilihan umum 2024, besarnya perolehan suara Prabowo-Gibran sulit disangkal.
Sudah banyak analisis atas keunggulan Prabowo-Gibran. Penyebabnya tidak terpusat pada satu faktor. Saya paling tergelitik oleh laporan sejumlah survei tentang alasan para pemilih mendukung pasangan calon tertentu.
Watak ”berani/tegas” pasangan calon menempati urutan tertinggi. Hal ini mencolok di kalangan pemilih muda, berusia tak lebih dari 40 tahun. Pasangan Prabowo-Gibran dianggap paling ”berani/tegas”. Malahan restu Jokowi bagi pasangan calon itu berada di tingkat lumayan rendah.
Baca juga: Menandingi Singapura?
Jika berbagai analisis itu tepat, layak dikaji bagaimana terbentuknya faktor-faktor pendukung tersebut. Misalnya soal dukungan terstruktur, sistematis, masif dari para pejabat negara. Jika benar ada dukungan itu, layak dikaji mengapa ia bisa berjalan mulus di depan publik berbulan-bulan tanpa ada yang menghalangi atau menghentikan sebelum hari pemilu, terlepas apakah dukungan itu sah atau tidak secara hukum menurut MK.
Restu Presiden Jokowi atau pencalonan Gibran diduga berpengaruh besar terhadap kemenangan Prabowo-Gibran. Kalau itu benar, perlu ditanya mengapa pengaruh mereka bisa sebesar itu? Dari mana datangnya popularitas Jokowi yang meluber sampai ke anak dan kerabat lainnya? Sampai kapan pengaruh itu bertahan dan apa yang kelak bisa meredupkan atau mengakhiri karisma itu?
Karena tertarik pada tingginya nilai ”berani/tegas” pasangan calon di mata publik, perhatian saya terfokus pada soal mengapa sosok demikian bisa diidolakan. Perlu ditegaskan sejak awal, kita tidak mempersoalkan apakah Prabowo-Gibran memang memiliki watak berani/tegas. Apakah persepsi umum terhadap mereka tepat atau sesat, itu soal lain. Di sini kita juga tidak akan mempersoalkan apa saja yang dapat dianggap sebagai watak berani/tegas dalam persepsi umum.
Yang lebih menarik dan penting adalah pertanyaan makro berlingkup luas atau universal. Kondisi seperti apa dalam sebuah masyarakat yang memungkinkan sosok berani/tegas diidamkan. Kapan sosok berani/tegas lebih memikat ketimbang sosok santun, jujur, cerdas, religius, atau artistik? Mengapa dan dalam situasi apa sikap ”maju tak gentar” lebih didambakan ketimbang ”membela yang benar”? Tunda penilaian mana yang baik/benar atau salah/buruk. Kita pahami dulu mengapa sosok tertentu diidamkan pada suatu masa di satu masyarakat.
Saya teringat pada laporan sebuah studi yang disiarkan televisi di Australia beberapa tahun lalu. Sayang, tahun atau peneliti judul studi itu tidak saya catat. Yang saya ingat, studi itu mengajukan pertanyaan pada banyak responden perempuan di berbagai benua. Para responden diberi sejumlah gambar pria dan diminta memilih gambar mana yang dianggap sosok pria idaman.
Bisa dimaklumi, sosok maskulin diidamkan masyarakat, di mana kekerasan menjadi andalan utama penyelesaian konflik sehari-hari.
Hasilnya, sosok pria kekar dan maskulin diidamkan masyarakat yang tidak stabil dengan tingkat kriminalitas tinggi dan kualitas demokrasi rendah. Sebaliknya, pria dengan tampilan anggun, santun, rapi, atau intelektual lebih diidamkan masyarakat yang relatif stabil dan lebih demokratis.
Bisa dimaklumi, sosok maskulin diidamkan masyarakat, di mana kekerasan menjadi andalan utama penyelesaian konflik sehari-hari. Warga yang mengidamkan sosok seperti itu tidak bisa dibilang bodoh atau kurang terdidik. Mereka korban yang tak berdaya atas gagalnya negara dalam penegakan hukum. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pelaku kejahatan besar menikmati impunitas.
Dalam kondisi demikian, mengidamkan sosok kekar, bersenjata, dan beringas merupakan pilihan rasional. Kepatuhan pada hukum tak menjamin keselamatan. Tidak juga kecerdasan, kerja keras, kebenaran. Apalagi pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Kondisi demikian semakin parah ketika masyarakat terbelah polarisasi dan pejabat negara tidak bertindak netral. Apalagi bila kita dibanjiri hiruk-pikuk berita tentang kekerasan dari wilayah lain, seperti yang kini sedang marak di Papua, Timur Tengah, dan Eropa Timur.
Pada Februari 2024 Pew Research Center menerbitkan survei persepsi ”pemimpin yang kuat” di berbagai benua. Yang dimaksud ”kuat” dalam survei ini: penguasa militer atau tokoh otoriter yang mengambil keputusan tanpa campur tangan lembaga perwakilan rakyat atau hukum. Hasilnya, rata-rata 31 persen dari 30.861 responden di 24 negara suka tokoh semacam itu. Jumlah responden Indonesia yang suka pemimpin demikian berada di posisi kedua tertinggi (77 persen).
Sebagian besar masyarakat tidak diatur oleh satu norma tunggal, misalnya kekerasan. Juga Indonesia. Kekerasan tidak lagi menjadi alat paling jitu untuk memecahkan berbagai masalah seperti pada masa Orde Baru. Namun, disadari atau tidak, sejak merdeka, kekerasan menjadi bagian terpenting dalam sejarah bangsa.
Bukan hanya penjarahan, penculikan, pemerkosaan massal, dan penembakan semasa Reformasi 1998 masih meninggalkan luka sejarah bangsa. Perang revolusi 1945-1949, pembantaian 1965-1966, dan eksekusi ribuan warga bertato 1983-1984 mewariskan aroma anyir dalam napas kehidupan Indonesia masa kini. Juga dalam berbagai aspek Pemilu 2024.
Baca juga: Universitas
Sifat maskulin, agresif, atau berani/tegas bukan monopoli pria. Baik pria maupun wanita punya kombinasi sifat maskulin dan feminin, dengan kadar berbeda-beda. Seperti halnya sikap dan watak militeristis tidak melulu hadir di kalangan militer. Ada perwira militer yang sangat beradab dalam pergaulan di tengah masyarakat sipil tanpa mengurangi kualitas kerja profesionalnya sebagai prajurit. Sebaliknya, ada presiden sipil, manajer, rektor, atau aktivis pejuang keadilan yang sikap dan tingkahnya sangat militeristis.
Mustahil memahami Indonesia tanpa mengkaji militerisme yang tidak semata-mata identik dengan lembaga atau personel militer. Mustahil memahami militerisme tanpa memahami maskulinitas dalam kehidupan sehari-hari dan kebijakan negara. Itulah pentingnya jasa kajian jender untuk memahami Indonesia.
Ariel Heryanto, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia