BI sebagai otoritas moneter mengemban mandat mencapai kestabilan rupiah yang tecermin pada inflasi dan nilai tukar.
Oleh
KRISTIANUS PRAMUDITO ISYUNANDA
·4 menit baca
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia April 2024 menaikkan bunga acuanBI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen. Kenaikan ini merupakan yang pertama kalinya sejak BI Rate dipertahankan pada level 6 persen selama enam bulan berturut-turut sejak Oktober 2023.
Dinamika global mendorong keputusan BI menaikkan BI Rate dan ini masih konsisten dengan stance kebijakan moneter pro-stability.
Dinamika global
Tak dapat dimungkiri, dunia masih bertaut pada hegemoni dollar AS sebagai mata uang global (reserve currency).
Pada awal 2024, pasar memprediksi The Fed segera akan menurunkan bunga acuan di tahun ini, seiring inflasi AS yang mulai terkendali. Namun, inflasi AS pada tiga bulan pertama 2024 justru lebih tinggi dari prakiraan dengan tren peningkatan ke level 3,5 persen pada Maret 2024.
Ditambah lagi, performa ekonomi AS tetap resilien. Penurunan bunga acuan, yang semula diekspektasikan pasar, dapat tertunda karena kondisi tersebut. Alhasil, dollar AS tetap kuat akibat imbal hasil (yield) yang menarik dari suku bunga tinggi di AS.
Dampak penguatan dollar AS dirasakan banyak negara di kawasan Asia. The Financial Times (20/4/2024) mengobservasi gejolak nilai tukar dialami ekonomi besar, yaitu Jepang, Korea, dan China.
Pelemahan yen terhadap dollar AS masih menghadapi tantangan perbedaan (gap) bunga acuan Jepang yang baru-baru saja berbalik arah dari suku bunga negatif. Otoritas bank sentral China tak segan menyatakan komitmen menjaga kestabilan mata uang yuan di tengah momentum bangkitnya perekonomian domestik ”Negeri Tirai Bambu”.
Di sisi lain, tensi geopolitik di Timur Tengah yang tereskalasi akibat gesekan antara Israel dan Iran memicu meningkatnya ketidakpastian global. Kondisi ini dapat berdampak pada peningkatan premi risiko global yang tentu berpengaruh pada laju ekonomi dunia. Hal ini patut diantisipasi secara baik agar dampaknya tidak mengganggu perekonomian domestik.
Bunga acuan dan nilai tukar
BI sebagai otoritas moneter mengemban mandat mencapai kestabilan rupiah yang tecermin pada dua dimensi, inflasi dan nilai tukar. Laju inflasi Indonesia tercatat 3,05 persen (yoy) pada Maret 2024, relatif terkendali di kisaran target 2,5 (yoy) persen. Kenaikan BI Rate kali ini terbaca lebih mengantisipasi stabilitas nilai tukar di tengah risiko global yang meningkat.
Bunga acuan merupakan instrumen penting kebijakan moneter dalam meredam gejolak nilai tukar. Pasar keuangan secara natural memiliki kecenderungan mengarahkan modal menuju imbal hasil yang lebih tinggi (flight to quality). Bank sentral menaikkan bunga acuan guna menjaga daya tarik imbal hasil dan aliran masuk portofolio asing ke aset keuangan domestik.
BI sebagai otoritas moneter mengemban mandat mencapai kestabilan rupiah yang tecermin pada dua dimensi, inflasi dan nilai tukar.
Dukungan inovasi pasar
Efek bunga acuan di pasar harus didukung dengan jalur transmisi yang efektif. Jika dicermati, BI memiliki berbagai cara dalam mendukung transmisi bunga acuan terhadap tujuan kestabilan nilai tukar.
BI tetap berada di pasar melalui intervensi pasar valas dan surat berharga negara di pasar sekunder. BI juga terus mendorong pendalaman pasar uang yang makin berorientasi pada mekanisme pasar (pro-market) guna mendukung efektivitas kebijakan moneter.
Instrumen sekuritas valas BI dan sukuk valas BI memungkinkan pelaku pasar bertransaksi dengan BI untuk mengelola risiko valas. Inovasi ini juga dapat menarik arus modal masuk (inflows) yang makin besar karena instrumen valas itu bisa diperdagangkan di pasar sekunder dan boleh dimiliki oleh investor asing.
Selain itu, transaksi dengan menggunakan mata uang lokal (local currency transactions) yang diinisiasi BI saat ini makin luas terjalin dengan tujuh negara mitra. Ini bermanfaat mengurangi dependensi ekonomi domestik terhadap penggunaan dollar AS dalam transaksi antarnegara.
Aspek penting lain dalam mendukung kestabilan nilai tukar adalah pasar keuangan yang maju. Transaksi derivatif nilai tukar pada pasar valas Indonesia masih perlu terus dikembangkan. Pasar derivatif yang dalam dan efisien sangat diperlukan agar lembaga keuangan dan investor dapat mengelola risiko secara efektif melalui transaksi lindung nilai (hedging) guna mengantisipasi gejolak nilai tukar.
Pendalaman pasar valas pun dapat berdampak lebih luas, termasuk pengembangan pasar modal, seperti dikatakan Wolter Bossu dan koleganya dalam working paper bersama IMF (2020). Pengembangan pasar derivatif domestik berupa pertukaran valas (FX swap) dan juga pertukaran suku bunga (interest rate swap) harus terus digarap.
Diperlukan dobrakan inovatif pelaku pasar serta sinergi bersama otoritas guna membentuk disiplin pasar (market discipline) yang resilien dalam mendukung perkembangan pasar derivatif.
Seiring meningkatnya yield di AS dan premi risiko global, kenaikan BI Rate kali ini dapat dipandang sebagai langkah tepat dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dari tekanan global.
Indonesia telah memiliki kerangka kebijakan moneter yang kokoh dan resilien serta transparan dan jelas. Fakta ini pun memberikan dorongan positif bahwa salah satu prasyarat perkembangan pasar keuangan domestik telah terpenuhi. Tugas selanjutnya menggarap struktur pasar yang efisien dan merangsang permintaan sehingga pada akhirnya pasar keuangan bisa mendukung penguatan transmisi kebijakan moneter BI.