Mengejar pertumbuhan ekonomi melalui aktivitas ekstraktif bisa berujung bencana dengan kerugian yang lebih besar.
Oleh
AGUS PRAMONO
·3 menit baca
Obsesi pada pertumbuhan ekonomi mendorong manusia mengambil posisi diametral terhadap kelestarian alam. Hal ini sangat kentara pada negara-negara berkembang yang berupaya mengubah orientasi ekonomi dari agraris menjadi industri.
Padahal, mengabaikan kelestarian alam hanya akan mendatangkan bencana yang nominal kerugiannya tak terkira. Tahun 2006 misalnya, kita mengalami bencana lingkungan dampak pengeboran oleh PT Lapindo Brantas. Lumpur menyembur dari dalam tanah merendam puluhan ribu rumah warga di beberapa kecamatan di Sidoarjo, Jawa Timur.
Baru-baru ini juga terungkap kasus dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah di Provinsi Bangka Belitung. Hasil analisis tim ahli yang ditunjuk Kejaksaan Agung menunjukkan, kerugian lingkungan imbas penambangan timah ilegal selama 2015-2022 mencapai 217,06 triliun.
Ini bisa menjadi preseden untuk menghitung kerugian akibat bencana alam seperti banjir, longsor, pencemaran, dan pemanasan global yang sebagian besar dipicu oleh aktivitas ekonomi manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut seharusnya menyadarkan untuk tidak memandang aktivitas ekstraktif semata sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian Kunny Izza Indah (dkk) dalam Coal Mining Sector Contribution to Environmental Conditions and Human Development Index in East Kalimantan Province (2019) menemukan, seiring aktivitas eksplorasi batubara ditemukan peningkatan berbagai persoalan, seperti sengketa lahan, kerusakan lahan, deforestasi, pencemaran lingkungan, dan gangguan kesehatan masyarakat.
Di sisi lain, batubara masih menjadi komoditas terbesar dalam ekspor nonmigas Indonesia. Berdasarkan rilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (15/1/2024), pada 2023 dari target 695 juta ton realisasinya mencapai 775 juta ton. Jumlah produksi ini terus meningkat dibandingkan pada 2020 yang sebesar 564 juta ton.
Dari data tersebut terlihat bahwa batubara akan menjadi salah satu komoditas yang menopang ekonomi Indonesia. Memang cadangan batubara kita diperkirakan masih sekitar 35 miliar ton. Jumlah ini kalau rata-rata produksi per tahun sebesar 700 juta ton per tahun (target 2023 sebesar 695 juta ton) masa eksplorasi yang akan dilakukan bisa sampai 50 tahun ke depan. Durasi lima dekade ini tidak bisa dilihat semata peluang sebagai ekonomi, tetapi sekaligus kerugian ekologis dan potensi permasalahan sosial dalam kurun waktu yang sama.
Peristiwa-peristiwa tersebut seharusnya menyadarkan untuk tidak memandang aktivitas ekstraktif semata sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.
Kita tidak boleh melupakan pasca-oil boom pada 1970-an, Indonesia bersama Kanada, Norwegia, dan Oman termasuk dalam resource-driven economies dengan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang mencapai 2-4 persen di atas rata-rata global (McKinsey Global Institute, 2013). Bahkan kita pernah mencatatkan persentase ekspor migas yang mencapai 82,4 persen dari total ekspor Indonesia pada 1982.
Namun, ini tidak selamanya bisa dinikmati karena setelah itu ekspor migas Indonesia memiliki tren menurun. Tidak terkecuali di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pada 2014 ekspor migas kita sebesar 17,06 persen dari total ekspor Indonesia, dan terus menurun hingga menjadi 6,15 persen di 2023.
Fakta tersebut harus menjadi pertimbangan pemerintah, untuk berhati-hati dalam pengelolaan kekayaan alam. Sebagaimana terjadi pada komoditas migas, tinggal menunggu waktu saja kita berubah dari eksportir menjadi importir.
Godaan pragmatis
Cita-cita pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang mulia. Berbagai upaya dilakukan melalui perbaikan regulasi dan penataan kelembagaan. Salah satu yang monumental adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus law dengan menggabungkan 74 regulasi setingkat undang-undang.
Sayangnya, pada UU Cipta Kerja keberpihakan terhadap kelestarian alam justru melemah. Salah satunya tentang kecukupan minimal luas kawasan hutan yang dihapus melalui undang-undang ini.
Sebelumnya, ketentuan tersebut diatur dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan, agar pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Hilangnya regulasi ini memunculkan kekhawatiran terjadi deforestasi tanpa kontrol demi investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Baru-baru ini, pemerintah juga berencana membagikan izin usaha pertambangan (IUP) ke organisasi kemasyarakatan (ormas) melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Rencana ini mendapat sorotan karena dinilai sebagai konsesi pragmatis ketimbang upaya sistematis untuk penguatan kemandirian ekonomi ormas.
Jika rencana tersebut dilaksanakan, tantangannya ada pada kapasitas teknis untuk melakukan usaha pertambangan. Tanpa ini usaha pertambangan bisa gagal bahkan menimbulkan bencana lingkungan. Selain itu, penambangan membutuhkan biaya besar, dan selayaknya usaha lain, juga berpotensi mengalami kerugian.
Dengan kondisi tersebut, alih-alih mendorong kemandirian ekonomi, rencana pembagian IUP berpotensi membuat ormas terjebak dalam ketergantungan kepada pihak lain. Lebih baik jika dukungan pada kemandirian ekonomi diwujudkan dalam bentuk usaha yang sesuai dengan kapasitas ormas. Lagi pula kalau kita mau jadi negara maju, imajinasi anak bangsa sebaiknya didorong untuk membuat inovasi, bukan mengeruk isi perut bumi.
Agus Pramono, Statistisi pada Badan Pusat Statistik