Sidang Sengketa Pileg, PPP Minta MK Kembalikan Suara yang Diambil Partai Garuda
Dalam sidang di MK, PPP mengungkapkan, suara PPP di 35 dapil dipindahkan secara tidak sah ke Partai Garuda.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Persatuan Pembangunan meminta Mahkamah Konstitusi mengembalikan perolehan suara yang dipindahkan secara tidak sah ke Partai Garda Republik Indonesia (Garuda). Suara yang dipindahkan dari PPP ke Garuda diklaim tersebar di 35 daerah pemilihan yang berada di 19 provinsi.
Kuasa hukum PPP, Dharma Rozali Azhar, mengungkapkan, terjadi pemindahan suara secara tidak sah yang diperoleh PPP ke Partai Garuda. Pemindahan suara itu tersebar di 35 daerah pemilihan yang berada di 19 provinsi. Hal itu mengakibatkan perolehan suara sah secara nasional PPP hanya 5.878.777 suara atau 3,87 persen sehingga tidak memenuhi ambang batas parlemen 4 persen.
”Terdapat selisih kekurangan suara sebesar 193.088 suara atau setara dengan persentase 0,13 persen,” ujar Dharma saat sidang pendahuluan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) anggota legislatif di Panel I yang berlangsung di MK, Jakarta, Senin (29/4/2024).
Dharma menuturkan, terdapat perbedaan rekapitulasi suara versi PPP dengan hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Beberapa di antaranya terjadi di daerah pemilihan (dapil) Banten I, Banten II, dan Banten III. Pengurangan suara PPP yang dipindahkan ke Garuda di ketiga dapil itu berkisar 5.000-8.150 suara per dapil.
Dalil senada diungkapkan kuasa hukum PPP untuk dapil Jatim I, Jatim IV, Jatim VI, dan Jatim VIII. Kuasa hukum PPP dalam sidang di Panel II mengungkapkan, terjadi pemindahan suara PPP di keempat dapil tersebut ke Garuda. Suara PPP yang dipindahkan ke Garuda berkisar 1.000-4.000 suara.
Perpindahan suara PPP secara tidak sah ke Garuda disebut berlangsung selama proses rekapitulasi berjenjang dan berlanjut hingga rekapitulasi tingkat nasional. PPP pun telah mengajukan keberatan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi, tetapi belum mendapat tanggapan.
Oleh karena itu, PPP meminta MK untuk membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tantang Hasil Pemilu secara nasional sepanjang hasil pemilu untuk dapil masih dipersoalkan. KPU harus menetapkan perolehan suara yang benar sesuai dengan versi PPP dengan mengembalikan suara PPP yang dipindahkan secara tidak sah ke Garuda.
Terjadi pemindahan suara secara tidak sah yang diperoleh PPP ke Partai Garuda. Pemindahan suara itu tersebar di 35 daerah pemilihan yang berada di 19 provinsi.
Berdasarkan hasil pemilu yang ditetapkan KPU, PPP memperoleh 5.878.777 atau 3,87 persen suara sah sah nasional. Sementara perolehan suara Garuda sebanyak 406.883 atau setara 0,27 persen suara sah nasional.
Arsul tak memutus
Berbeda dengan sidang sengketa hasil pemilihan presiden, sidang sengketa pileg melibatkan sembilan hakim konstitusi. Anwar Usman yang pada sidang sengketa pilpres tak diikutisertakan kini turut menangani perkara sengketa hasil pileg.
Adapun hakim konstitusi Arsul Sani yang sebelumnya merupakan Wakil Ketua Umum PPP tetap ikut menangani PHPU pileg meski PPP termasuk salah satu pemohon. Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, Arsul tetap ikut menyidangkan perkara sengketa yang diajukan PPP. Namun, Arsul tidak akan menggunakan hak untuk memutus permohonan. Arsul juga tidak akan mendalami perkara yang melibatkan PPP sebagai pemohon ataupun pihak terkait.
”Jadi, posisi beliau akan mengikuti persidangan, tetapi tidak akan memutus untuk semua perkara yang pemohon dan pihak terkaitnya PPP,” kata Saldi.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, pengambilan putusan dalam rapat permusyawaratan hakim tetap melibatkan seluruh hakim konstitusi. Putusan tidak hanya diambil tiga hakim konstitusi yang menyidangkan seluruh perkara di tiga panel secara berbeda.
Selain itu, hakim konstitusi Anwar Usman juga tidak menjadi hakim dalam persidangan yang melibatkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Hal itu sesuai dengan putusan dari Majelis Kehormatan MK yang melarang paman dari Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep itu mengadili sengketa hasil pemilu yang berpotensi memiliki benturan kepentingan.