Mungkinkah Serangan Iran Picu Perang Dunia?
Serangan Iran ke Israel dapat memperburuk situasi konflik, tetapi kekhawatiran itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Serangan Iran ke Israel di awal minggu ini mengagetkan dunia. Meski tidak memberi dampak yang fatal bagi Israel, serangan ini bisa memperburuk situasi konflik yang masih berkecamuk. Tak ayal, kekhawatiran atas terjadinya eskalasi hingga perang dunia ketiga pun menguat di lingkungan internasional.
Dunia dikagetkan dengan diluncurkannya Operasi Janji Jujur oleh Iran pada Minggu (14/4/2024). Dalam operasi ini, Iran meluncurkan ratusan pesawat nirawak dan misil balistik serta puluhan rudal jelajah ke Israel. Aksi ini pun didukung oleh beberapa negara yang menyatakan dukungan kepada Palestina, seperti Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman.
Dampak dari serangan tersebut bisa dibilang minim. Dari ratusan ”kado” yang dikirim Iran, hampir semuanya dapat ditangkis oleh sistem pertahanan udara Israel (Iron Dome dan Arrow) yang terlalu canggih. Tak hanya itu, Israel juga ikut dilindungi oleh pasukan aliansinya yang ditempatkan di kawasan Timur Tengah.
Sebagai contohnya ialah kapal-kapal AS di Laut Mediterania bagian timur yang berhasil mengintersepsi empat hingga enam rudal balistik Iran. Tak hanya itu, pesawat tempur di sekitar kawasan ini juga berhasil menembak jatuh puluhan pesawat nirawak Iran yang terbang ke arah Israel.
Baca juga: AS Bahas Sanksi Baru bagi Iran, Israel Belum Putuskan Serangan Balasan
Kekhawatiran atas eskalasi
Meski begitu, tak sedikit yang khawatir terhadap serangan Iran ini. Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa alasan. Hingga saat ini, Iran masih menjadi salah satu kekuatan dominan di kawasan Timur Tengah dengan kapabilitas militer dan nuklir yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Namun, ketakutan ini tampaknya tidak akan terwujud, setidaknya dalam waktu dekat. Kesimpulan ini bisa dilihat dari dua hal. Kedua hal itu adalah langkah Iran tak lama setelah serangan diluncurkan dan reaksi komunitas internasional, terutama negara aliansi Israel, terhadap serangan ini.
Di satu sisi, tak lama setelah serangan berlangsung, Iran menyatakan tidak akan ada serangan lanjutan selama Israel menahan diri untuk melakukan langkah retaliasi. Namun, Iran dengan gamblang menyatakan bahwa langkah retaliasi dalam bentuk apa pun akan dibalas dengan serangan yang lebih menggigit.
Di sisi lain, komunitas internasional pun menanggapi aksi Iran dengan penuh kehati-hatian. Serangan langsung tersebut tidak membuat AS dan sekutunya melakukan serangan balik atau mengirimkan pasukannya untuk membantu Israel. Bahkan, AS justru memperingatkan Israel untuk tidak gegabah melakukan serangan balasan dan menahan diri.
Sejauh ini, ganjaran yang tengah disiapkan oleh AS dan Uni Eropa ”hanya” sebatas sanksi. Berdasarkan laporan dari BBC, kemungkinan besar sanksi yang akan diumumkan pada beberapa hari ke depan akan berfokus pada upaya untuk membatasi program nuklir Iran.
Artinya, apabila tidak ada aksi retaliasi yang dramatis dari Israel dalam waktu dekat, kemungkinan besar ketegangan akibat serangan Iran lalu akan segera mereda.
Baca juga: Iran Serang Israel, Konflik Dikhawatirkan Meluas
Diplomasi kinetik
Dalam kacamata Iran, serangan pada Minggu lalu merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Pasalnya, sebelumnya pada awal April, Israel meluluhlantakkan kedutaan besar Iran di Suriah. Serangan Israel ini menewaskan belasan orang, termasuk seorang jenderal Iran, Brigadir Jenderal Reza Zahedi.
Posisi Iran pun terjepit. Di satu sisi, serangan langsung di ”tanah” Iran ini tentu tidak mungkin bisa dibiarkan. Terlebih lagi, geopolitik di Timur Tengah sangat dipengaruhi kemampuan negara-negara untuk menciptakan efek deterens.
Artinya, aksi yang tak berbalas akan memberi pesan kepada kekuatan dominan lain bahwa Iran bisa diinjak tanpa melawan. Belum lagi risiko munculnya persepsi lemahnya respons pemerintah di mata masyarakat Iran sendiri.
Namun, di sisi lain, Iran juga paham betul kulminasi ketegangan yang tengah terjadi di Palestina. Selama konflik Israel-Palestina berlangsung, negara ini relatif bisa membatasi campur tangannya. Iran sadar, keterlibatannya secara langsung dalam perang ini berpotensi menciptakan eskalasi dan keterlibatan lebih dalam dari kekuatan-kekuatan pendukung Israel, seperti AS dan negara-negara Eropa Barat.
Maka, pada dasarnya, Iran tidak tertarik untuk memulai perang dengan Israel, apalagi konflik global yang melibatkan negara lain. Dengan situasi ini, Iran harus bisa memberikan pesan peringatan yang tegas bagi Israel, sambil tetap berhati-hati untuk menghindari kemungkinan skenario melebarnya perang.
Serangan yang dilancarkan Iran ke Israel kali ini bisa dilihat sebagai sebuah bentuk diplomasi kinetik. Secara singkat, diplomasi kinetik adalah istilah ketika sebuah negara menggunakan kekuatan militer untuk mencapai sebuah tujuan diplomasi. Pilihan diplomasi kinetik diambil ketika jalur konvensional, seperti negosiasi dan dialog, tidak tersedia atau tidak lagi optimal.
Serupa dengan tujuan diplomasi konvensional, diplomasi kinetik tidak ditujukan untuk memperparah konflik, justru sebaliknya. Meskipun melibatkan unsur militer, penggunaan kekuatan ini bukan dalam konteks untuk menghancurkan. Bahkan, acap kali dilakukan dengan sangat terukur dan seolah sengaja dibuat tumpul sedari awal.
Umumnya, diplomasi kinetik digunakan untuk menimbulkan efek deterensi dan mempertahankan status quo. Poin utamanya adalah musuh gentar terhadap pesan yang dikirim melalui serangan langsung yang tidak mematikan.
Agar tujuan ini tercapai, musuh yang ditarget harus bisa melihat seberapa serius bahaya yang harus dihadapi apabila konflik tereskalasi. Ketika pesan ini sampai, dengan sendirinya musuh pun akan menahan diri.
Cara diplomasi ini bukanlah hal yang baru. Pada 2017, strategi serupa pernah diambil AS pada konflik Suriah. Sebagai balasan dari tindakan Presiden Suriah Bashar al-Assad yang menggunakan senjata kimia kepada rakyatnya sendiri, AS melancarkan serangan udara ke beberapa tempat di Suriah.
Mirip dengan serangan Iran kali ini, serangan AS saat itu terbilang tumpul. Hal ini terbukti ketika Bandara Shayrat, salah satu target serangan AS, beroperasi tak lama setelah serangan dilancarkan.
Selain itu, AS pun secara langsung memberi tahu pejabat militer Rusia tentang waktu dan lokasi serangan yang akan datang untuk memastikan tidak ada pasukan Rusia yang terkena dampak. Artinya, kemungkinan besar pihak Suriah pun sudah mendapat info jauh sebelum serangan diluncurkan.
Baca juga: AS Kirim Senjata Strategis ke Pangkalan di Indo-Pasifik
Keberhasilan diplomasi kinetik
Parameter keberhasilan serangan dalam konteks diplomasi kinetik tentu tidak bisa disamakan dengan konteks invasi. Di atas kertas, serangan yang dilakukan AS pada 2017 dan Iran pada 2024 ini mungkin terlihat remeh. Namun, serangan ini bisa dinilai sukses karena berhasil membawa pesan kepada pihak-pihak yang ditarget.
Dalam konteks AS pada 2017, serangan yang dilakukan memberi pesan kepada rezim Suriah bahwa AS tidak akan diam saat terjadi pelanggaran HAM terhadap warga sipil. Selain itu, pesan sampai ke Moskwa, bahwa AS memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan dengan daya hancur yang tidak main-main.
Bagi sekutu dan mitra geopolitik, serangan tersebut menjadi pengingat akan komitmen AS terhadap norma-norma internasional dan kekuatan militernya yang menyebar di seluruh dunia.
Dalam konteks serangan Iran Minggu lalu, pesan yang disampaikan pun cukup jelas, bahwa Iran memiliki kemampuan untuk melakukan serangan jarak jauh. Meski berhasil diintersepsi, kemampuan rudal Iran yang bisa menjangkau wilayah Israel semestinya sudah cukup menjadi ancaman.
Terlebih lagi, Iran bisa saja menempelkan hulu ledak nuklir pada rudal serupa apabila konflik tereskalasi. Tak hanya itu, Pemerintah Iran pun telah menunjukkan kepada rakyatnya bahwa mereka tidak lemah, dan siap untuk melawan apabila diperlukan.
Dilihat dari sudut pandang ini, dapat diartikan bahwa serangan Iran lalu terbilang cukup sukses. Kesuksesan ini justru bisa membawa hal yang positif, yakni Iran kemungkinan besar tidak akan terlibat lebih jauh dalam konflik Israel-Palestina dalam waktu dekat.
Iran yang membatasi diri ini akan menurunkan risiko masuknya kekuatan dominan lainnya, seperti AS dan negara Eropa Barat, secara langsung di Gaza. Artinya, eskalasi hingga ke perang dengan skala besar pun tampaknya tidak akan terjadi, setidaknya dalam beberapa waktu ke depan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Konflik Palestina-Israel Jadi Ancaman Biden di Pemilu 2024 (II)