Sejak 2012, Sri Wahyuningsih intens memberikan edukasi, berupaya mengubah persepsi tentang air hujan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Dua belas tahun sudah Sri Wahyuningsih menyebarkan pengetahuan tentang manfaat air hujan bagi kesehatan masyarakat. Langkah itu, antara lain, ia lakukan lewat sedekah air hujan dan program edukasi di Sekolah Air Hujan Banyu Bening yang ia dirikan.
Seorang bapak menunggu di rumah Sri Wahyuningsih (55) di Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (9/3/2024) pagi. Dia bilang, dirinya datang untuk berkonsultasi dengan Sri terkait manfaat air hasil elektrolisis bagi kesehatan.
”Kebetulan kerabat saya ingin mencoba dan saya ingin tahu apakah air hujan ini cocok untuk sakit yang saudara saya derita,” ujar bapak itu mengenai kerabatnya yang menderita stroke di Klaten, Jawa Tengah.
Akan tetapi, pagi itu, Sri masih sibuk mengajar di Sekolah Air Hujan Banyu Bening. Aktivitas itu kemungkinan akan berlangsung lama. Maka, bapak itu memutuskan pergi terlebih dahulu dan akan kembali lagi.
Begitulah, hampir setiap hari ada saja orang datang ke rumah Sri untuk mengambil air hujan yang telah diproses dengan elektrolisis. ”Pernah ada pengunjung dari luar Jawa yang datang dini hari mengambil lebih dari satu galon air,” cerita Siti Juwariyah (70), salah seorang tetangga Sri.
Elektrolisis adalah proses memisahkan air menjadi asam dan basa. Air asam dengan kandungan asam organik berkhasiat menyembuhkan luka, sedangkan air basa bagus untuk air minum karena membuat tubuh terhidrasi dengan baik. Bahan terbaik yang disediakan alam untuk air sehat seperti ini adalah air hujan yang masuk kategori air murni.
Sri selalu menyiapkan air hujan yang telah dielektrolisis setiap hari sebagai bagian dari gerakan sedekah air hujan. Siapa saja boleh meminumnya di situ atau membawanya pulang ke rumah. Tak perlu membayar sepeser pun. Dia juga tidak membatasi pengambilan air. Boleh mengambil seukuran gelas atau ukuran galon.
Semakin banyak yang datang, Sri semakin senang. ”Pengambilan air (oleh warga) itu menjadi metode kampanye terbaik, membuktikan bahwa konsumsi air hujan aman dan bahkan bermanfaat untuk kesehatan,” ujarnya.
Sri memang sudah lama mendorong siapa saja memanfaatkan air hujan untuk kesehatan. Ia mengedukasi publik tentang manfaat air hujan, cara mengelolanya lewat proses elektrolisis, hingga mengajarkan bagaimana masyarakat secara etis semestinya memperlakukan air curahan dari alam ini.
Sri, misalnya, mengenalkan konsep 5M, yaitu membiasakan menampung, mengelola air hujan, mengolah, meminum, dan menabung air hujan. Jika ini dilakukan setiap orang, Sri yakin ketergantungan warga pada air tanah pasti berkurang.
Ia juga mengajarkan, gerakan menabung air hujan bisa dilakukan dengan mengembalikan sisa tampungan air hujan ke sumur resapan ataupun biopori. Semangat menabung air ini sekaligus meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang di masa lampau. ”Kita harus selalu menabung air karena air dalam tanah yang kita nikmati saat ini sebenarnya juga merupakan tabungan dari para pendahulu kita di masa lampau,” ujarnya.
Prihatin
Sri sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan terkait ilmu tentang air. Lahir dan tinggal di Kabupaten Sleman, dia juga tidak pernah mengalami masalah kesulitan ataupun krisis air. Sebagai warga biasa, ia hanya sering terpapar berita tentang bencana, termasuk bencana yang disebabkan oleh curah hujan.
Saat menyimak berita, Sri kerap tersentak karena ia mendapati hujan kerap dianggap sebagai pemicu banjir dan longsor. Saat musim kemarau tiba, hujan yang tak juga kunjung datang kerap disalahkan karena memicu terjadinya krisis air bersih, kekeringan, dan gagal panen.
”Melihat ragam bencana dan masalah yang muncul tersebut, saya justru merasa ada yang salah tentang pengelolaan air hujan yang sudah terbiasa kita terima dari langit,” ujarnya.
Dari situ, Sri berupaya menggali tentang manfaat dan sistem pengelolaan air hujan melalui buku dan jurnal atau bertanya kepada para pakar, tokoh, yang sudah terlebih dahulu bereksperimen, melakukan penelitian tentang air hujan. Salah seorang di antaranya Romo V Kirjito di Kabupaten Magelang.
Sri lantas mengajak keluarganya memanen air hujan dan mencoba proses elektrolisis air hujan sendiri. Setelah itu, dia membentuk Komunitas Banyu Bening dan berupaya mengajak orang-orang lain di lingkungan sekitarnya bersama-sama belajar tentang air hujan pada 2012. Awalnya, peminat tidak banyak. Meski begitu, Sri terus bergerak.
Pada 2015, saat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) gencar berupaya menangani bencana dengan membentuk sekolah-sekolah informal, seperti sekolah sungai dan sekolah gunung, edukasi yang dilakukan Sri turut dilirik. BNPB lantas mengirim tim dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dari sejumlah daerah untuk belajar tentang air hujan ke Komunitas Banyu Bening. Setelah itu, edukasi dan kampanye gerakan pemanfaatan air hujan semakin kencang dilakukan oleh Sri.
Sri kemudian berinisiatif melabeli aktivitas edukasi air hujan yang dilakukan dia dan komunitasnya dengan nama Sekolah Air Hujan Banyu Bening. Sekolah ia gelar setiap Sabtu. Sejauh ini, banyak orang telah mengikuti program edukasi di sekolah tersebut, baik sebagai individu maupun perwakilan lembaga dari sejumlah daerah.
Sebagian murid Sri itu terinspirasi untuk melakukan gerakan yang sama di tempat tinggal masing-masing. Puluhan sukarelawan juga muncul. Dari situ akhirnya muncul sejumlah gerakan serupa di banyak tempat, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali.