Jamie, Cinta dalam Sepotong Keju
Membuat keju artisan seperti memperlakukan bayi. Perlu cinta untuk merawatnya. Kalau tidak percaya, tanya Jamie Najmi.
Master of Cheese Jamie Najmi
Anda pernah makan keju artisan nan lezat di sejumlah hotel atau restoran mewah di Indonesia? Barangkali, keju itu buatan M Jamie Najmi (47) dan istrinya, Nieta Pricilia Puspitasari. Sebagian keju mahal itu mereka buat di pojok Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY.
Pria bertubuh tinggi itu akhirnya tiba sekitar pukul lima sore di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (1/3/2024) sore. Wajahnya ceria. Seceria hem motif naganya yang alih-alih seram justru tampak imut.
Jamie Najmi, laki-laki itu, membawa koper ukuran sedang. Dia bilang, hari itu tiba dari Yogyakarta dan langsung mengisi acara di sebuah kementerian. Barulah dia mampir ke Bentara Budaya Jakarta.
”Besok saya mau terbang ke Denmark selama beberapa minggu. Urusan keju. Sambil jalan-jalanlah,” katanya.
Dunia Jamie memang dunia perkejuan. Sehari-hari ia berbisnis keju artisan bermerek Mazaarat. Namanya cukup diperhitungkan di kalangan pembuat keju artisan di Indonesia dan di beberapa negara tetangga. Salah satunya karena ia pemegang sertifikat sebagai master (pembuat) keju dari Anglohone Program, Academie MonS, Lychee Agricole, Auvergne, Perancis. Itu adalah salah satu lembaga sertifikasi master keju paling bergengsi di dunia.
Selain itu, produk keju buatannya sudah memiliki sertifikat keju organik pertama di Asia Tenggara dari lembaga sertifikasi di Selandia Baru dan Uni Eropa, Control Union.
Tidak mengherankan jika keju artisan buatan Jamie dan istrinya dicari para chef yang bekerja di sejumlah hotel atau restoran mewah di Indonesia. Jamie menyebut beberapa nama chef yang jadi pelanggannya. Sebagian wajahnya cukup akrab di televisi.
Mereka tidak mungkin mengimpor keju artisan dari Eropa atau negara lain yang jauh sebab tekstur dan rasa keju artisan itu kemungkinan akan berubah saat pengiriman.
Saat ini, Jamie membuat sekitar 25 varian keju, antara lain, Athan (camembert du merapi), Khayya (crottin blue goat cheese), Ibra (blue cheese), Halloumi (hard cheese), dan Ghee (clarified butter). Ia juga membuat keju dengan campuran rempah asli Nusantara, seperti andaliman dan keluwek, yang ternyata menjadi favorit para penggemar keju.
”Negara kita kaya akan rempah. Itu memungkinkan kita mengembangkan varian keju dengan bermacam rasa rempah. Itu masa depan keju artisan kita,” tutur Jamie yang matanya berbinar-binar setiap ”ditanggap” untuk bercerita soal keju.
Jamie menjelaskan, keju yang dibuat di lokasi dan kondisi tertentu, mendapat perlakuan tertentu, dan lain-lain, hasilnya tidak akan bisa dibuat di tempat lain dengan hasil yang sama. Tidak perlu membuat keju artisan khas Perancis di sini. Lebih baik bikin keju artisan lokal yang enak dan khas.
Baca juga: Jalan Oscar Motuloh Memperpanjang Ingatan
Selain itu, lanjut Jamie, tidak bisa juga berambisi membuat varian baru keju yang banyak.
”Bikin keju itu butuh passion kuat dan komitmen tinggi. Kami menganggap varian baru keju sebagai ’bayi’ yang harus di-openi dengan benar. Istri saya melarang saya membuat ’bayi baru’ karena setiap kali ada bayi atau varian baru lalu dijual, sedikit banyak ada penggemarnya. Berarti, saya harus tetap membuatnya walau kebutuhannya tidak banyak,” jelas pria yang sebelumnya lama bekerja di bidang teknologi informasi itu.
Sepotong cinta
Jamie tak menyangka perjalanannya bersama sang istri dalam membuat keju bisa demikian jauh. Awalnya ia membuat keju sebagai makanan pendamping ASI (MPASI) yang dibutuhkan anak pertamanya, yang saat bayi mengalami kebocoran jantung di tiga tempat.
Ikhtiar itu menjadi konsekuensi yang harus dilakukan Jamie dan Nieta karena mereka memilih pengobatan alami ketimbang medis untuk memperkuat jantung sang buah hati.
Dokter menyarankan pasangan itu memberi asupan MPASI yang banyak mengandung fermentasi. Jamie memilih membuat aneka minuman fermentasi dan keju organik yang merupakan hasil fermentasi pada 2011. Khasiatnya, antara lain, menaikkan imun dan meregenerasi sel.
Pilihan itu berkaitan dengan kemampuan Jamie yang pernah belajar membuat keju di Ontario, Kanada, tahun 2005 saat mengunjungi saudaranya yang tinggal di sana. Jamie lantas menambah pengetahuannya dengan memperdalam cara pembuatan keju organik. Ia bertanya kepada banyak orang, membaca buku, dan mencarinya di layanan mesin pencari Google.
Ia mengerahkan seluruh kemampuan dan rasa cintanya ke dalam potongan keju demi si buah hati. ”Anak saya itu perempuan. Biasa, kan, dia ’anak bapaknya’. Kalau anak lelaki, dia ’anak ibunya’. Kami menikah telat, mendapat anak pun setelah tiga tahun menikah,” tutur Jamie mengenai betapa berartinya anak bagi dirinya sekeluarga.
Ia berjibaku, ibarat kaki menjadi kepala dan sebaliknya. Setiap hari Jamie harus berkendara selama dua jam pergi pulang ke kawasan Turi, Sleman, yang berada di kaki Gunung Merapi dari Kota Yogyakarta untuk mendapatkan susu organik.
Pemasoknya bernama Tuti, salah seorang peternak sapi perah yang berkomitmen menyediakan susu sapi organik. Itu bahan utama untuk membuat keju organik selain memastikan cara pembuatannya sesuai aturan.
Sebelumnya, ia mengajari peternak sapi perah di Sleman untuk memproduksi susu organik dari sapi perah mereka. Syaratnya banyak, antara lain sapi hanya mengonsumsi pakan bebas pestisida dan tidak diberi antibiotik. Selain itu, ada syarat-syarat kebersihan dan kesehatan lain yang dikontrol Jamie dengan ketat.
Oleh karena permintaannya spesial, ia membeli susu organik dari peternak dengan harga spesial juga, lima kali lebih mahal daripada harga standar. Semua demi membuat kondisi tubuh anaknya membaik.
Upaya Jamie dan Nieta memberi asupan terbaik bagi anak pertamanya berbuah menggembirakan. Dalam waktu 1,5 tahun, kebocoran jantung pada anaknya menutup sendiri. Sang anak bebas dari sakit. Namun, kedua orangtuanya tetap melanjutkan pembuatan keju organik untuk menjaga kesehatan sang anak.
Bahan bakunya sangat terbatas, karena itu kami prioritaskan untuk mereka yang berkebutuhan khusus.
Pertemuan dengan kawannya, seorang chef masakan Perancis, membawa keju artisan organik buatan Jamie dan Nieta itu menjadi salah satu produk yang dijual di Pasar Kamisan, Yogyakarta. Pasar tersebut khusus untuk menjual produk segar dan organik.
Keju organiknya mendapat sambutan baik karena terbukti membantu para penyintas kanker, penderita auto-imun, anak stunted, dan orang berkebutuhan khusus. Namun, meski produk keju organiknya saat itu banyak dicari orang, Jamie dan istri malah membatasi pembuatan dan penjualannya. Mereka hanya membuat berdasarkan kebutuhan kalangan terbatas itu saja.
”Bahan bakunya sangat terbatas, karena itu kami prioritaskan untuk mereka yang berkebutuhan khusus,” ujar Jamie yang juga konsultan pembuatan keju artisan.
Belakangan, usaha itu berkembang juga, bahkan pesat.
Kuasai Asia
Secara materi, keju artisan organik membuat Jamie dan keluarganya berkecukupan. Mereka tinggal di Cangkringan, Sleman, yang masih di kaki Merapi. Untuk sampai ke rumahnya, mobil mesti blusukan di jalan batu di antara pohon-pohon besar beberapa puluh meter. Di ujung jalan itu, berdirilah rumah yang asri, lengkap dengan sawah sempit.
Di rumah itu, ada balai untuk workshop belajar membuat keju, tempat riset, dan tempat membuat keju. Namun, tempat produksi terbesarnya, kata Jamie, sekarang ada di Pasuruan, Jawa Timur. Ia juga punya tempat produksi lain, yakni di Demak, Jawa Tengah, dan Solok, Sumatera Barat.
Kini, Jamie tengah berpikir bagaimana caranya agar ekosistem industri keju artisan di Indonesia bisa berkembang. Salah satunya adalah dengan memastikan pasokan susu segar dari peternak terus berjalan dan berkembang. Itu bisa terjadi kalau peternaknya sejahtera.
Ia pelajari benar rantai pasok pada ekosistem pembuatan keju secara umum. Semakin ia masuk ke dalam, ia justru semakin banyak melihat masalah yang membelenggu peternak sapi perah.
Umumnya, peternak kecil sapi perah di Indonesia produktivitasnya rendah karena jumlah sapi yang mereka miliki sedikit. Satu keluarga peternak paling hanya sanggup memelihara lima sapi. ”Kalau ditambah pun tidak bisa. Tenaganya enggak ada dan pakannya juga terbatas. Kalau serba beli, ya, mahal,” katanya.
Sapi-sapi perah yang dipelihara juga genetikanya sudah tidak jelas karena ada percampuran dengan sapi non-unggulan. Akibatnya, produktivitas susunya rendah. Sudah produktivitasnya terbatas, ketika dilempar ke pasaran pun harganya rendah. Bahkan, kadang lebih rendah daripada ongkos produksi.
Mengapa itu terjadi? Salah satunya, kata Jamie, karena industri lebih senang mengimpor susu bubuk dari luar dengan harga murah. Sampai di Indonesia, susu itu dicairkan lagi menjadi susu cair. ”Peternak tak berdaya mengatasinya.”
Persoalan yang dialami peternak memang banyak, tetapi ia juga melihat ada kesempatan berusaha di bidang keju artisan yang amat besar, yang ujungnya mengangkat kehidupan peternak.
”Kita enggak usah melawan perusahaan-perusahaan keju global dan sudah jadi raksasa. Kita berjuang saja membuat keju artisan yang tidak mereka buat,” ucap Jamie.
Baca juga: Perjalanan Bertahap Acho yang Agak Laen
Jamie sudah membentuk komunitas yang melibatkan banyak pihak seperti peternak dan komunitas organik yang terus memperkuat jaringan. Seiring dengan langkah tersebut, ia terus mengajak peternak sapi perah meningkatkan standar mutu susu lewat pemberian pakan bebas pestisida, bebas antibiotik. Ia juga mengajari peternak memperlakukan sapi dengan selayaknya agar mereka tidak stres sehingga bisa memproduksi susu bermutu bagus dalam volume produksi tinggi.
Belakangan ini, ia tengah menyusun standardisasi pembuatan keju artisan organik lokal yang bisa dipakai sebagai acuan oleh mitra-mitranya.
Mencermati kebutuhan keju yang semakin besar, baik di Indonesia maupun mancanegara, Jamie yakin Indonesia bisa menjadi salah satu produsen keju artisan terbesar di Asia, di luar Jepang. Kejar dulu saja kebutuhan dalam negeri. Jumlahnya sudah besar sekali.
”Keunggulan kita ada di situ sebab kita tahu selera orang yang rambutnya sama hitam dengan kita. Masa depan kita ada di Asia,” ucap Jamie.
Syaratnya, sebagian PR dalam ekosistem keju artisan diselesaikan dulu. Kalau itu tercapai, ”Saya berani bilang, urusan persusuan dan perkejuan serahkan kepada kami.”
M Jamie Najmi
Lahir: Jakarta, Agustus 1976
Pendidikan:
- Alumnus Program Diploma Ilmu Pariwisata Universitas Gadjah Mada (1999)
- Natural Cheesemaking Course, David Usher-Blacksheep di Ontario, Kanada (Oktober 2004-Juli 2005)
- New Zealand Cheese School Limited, Putaruru, Selandia Baru (2018)
- Anglohone Program, Academie MonS, Lychee Agricole, Auvergne, Perancis (2019)
Profesi:
- Master of Cheese
- Pendiri dan Pemilik Mazaarat Artisan Cheese