Lokomotif uap tipe Mallet awalnya lokomotif ringan, tetapi menjadi lokomotif uap terkuat Staatsspoorwegen.
Oleh
ARIEF NURRACHMAN
·4 menit baca
Hadirnya transportasi kereta api di Indonesia didorong oleh penerapan kebijakan perekonomian Hindia-Belanda pada tahun 1830, yaitu sistem tanam paksa berupa komoditas ekspor, seperti teh, kopi, dan kakao. Pesatnya perkembangan industri perkebunan tersebut memunculkan kebutuhan transportasi untuk mendistribusikan hasil perkebunan dari wilayah perkebunan di pedalaman desa ke wilayah pesisir untuk selanjutnya diangkut oleh kapal. Kereta api dipilih oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai transportasi yang paling cepat dan efisien untuk mengangkut hasil perkebunan.
Melalui perusahaan bernama Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij (NIS), jalur kereta api pertama di Indonesia mulai dibangun pada 17 Juni 1864 dan rampung pada 1867. Jalur rel kereta api ini menghubungkan Kota Semarang dengan desa kecil Tanggung sepanjang 25 kilometer. Selanjutnya, NIS fokus membangun jalur kereta api untuk mengangkut produk gula dari wilayah Solo dan Yogyakarta sebagai produk ekspor unggulan melalui pelabuhan Semarang.
Widoyoko menjabarkan tantangan yang dihadapi pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api, terutama di wilayah pegunungan di Indonesia serta cara kerja lokomotif uap. Hal itu bisa dilihat dalam publikasi yang berjudul De Bergkoningin: Lokomotif Uap Raksasa di Pegunungan Indonesia (Penerbit Buku Kompas, 2024). Widoyoko menjelaskan sejarah perkembangan lokomotif uap secara umum di Indonesia, aspek teknis tiap lokomotif, hingga seri generasi lokomotif di setiap masanya. Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, lokomotif uap pegunungan bertahan dalam tiga zaman, yaitu zaman Hindia Belanda, zaman pendudukan Jepang, zaman perang kemerdekaan, dan zaman Indonesia merdeka.
Tantangan di jalur pegunungan
Melihat keefektifan jalur kereta api Yogyakarta-Semarang, pemerintah Hindia Belanda ingin terlibat dalam bisnis perkeretaapian. Maka, pada 6 April 1875 didirikanlah Staatsspoorwegen Nederlandsch-Indië (SS). Proyek pertamanya menggarap jalur percontohan KA Surabaya-Pasuruan-Malang. Jalur yang dibangun oleh negara ini menerapkan lebar sepur 1.067 mm.
Tidak hanya tertarik berinvestasi pada jalur timur Jawa, SS juga berminat membangun jalur di wilayah barat Jawa. Jalur ini melanjutkan jalur KA Jakarta-Bogor yang sebelumnya telah dibangun oleh NIS pada 1873. Apalagi kala itu wilayah Jawa Barat terkenal sebagai sentra perkebunan teh terbesar di Indonesia. SS membangun jalur KA mulai dari Bogor-Cicurug-Sukabumi-Cianjur-Bandung-Cicalengka yang selesai pada 10 September 1884.
Tantangan membangun kereta api di wilayah Jawa Barat bukan hanya pada jalurnya yang melintasi pegunungan tinggi. Jenis lokomotif yang digunakan juga menjadi tantangan karena harus memiliki kriteria khusus agar mampu melintasi jalur pegunungan. Staatsspoorwegen memesan beberapa lokomotif uap trek pegunungan untuk ditempatkan di jalur Bogor-Cicalengka ini.
Lokomotif yang beroperasi di pegunungan Indonesia, baik Jawa maupun Sumatera, berjenis lokomotif uap artikulasi bernama Mallet. Dinamakan lokomotif Mallet karena jenis lokomotif ini diciptakan oleh seorang insinyur kelahiran Swiss, Jules Anatole Mallet (1837–1919).
Menurut Widoyoko, perbedaan mencolok antara lokomotif trek pegunungan dan lokomotif trek lurus terletak pada diameter roda penggeraknya, di mana lokomotif jalur mendatar memiliki diameter roda penggerak yang besar, sekitar 1,5 meter atau lebih. Sementara lokomotif uap pegunungan diameter rodanya lebih kecil, tetapi memiliki tenaganya yang besar untuk menanjak.
Lokomotif uap terbesar di Indonesia
Dalam buku setebal 248 halaman ini, Widoyoko menjelaskan bahwa Staatsspoorwegen memesan 8 lokomotif Mallet pada 1916 untuk keperluan rute Purwakarta-Cicalengka yang memiliki elevasi tinggi dan curam. Staatsspoorwegen memesan langsung Mallet ke pabrik American Locomotive Co. (ALCO) di Schenectady-New York. Pabrik ALCO sudah berpengalaman membuat lokomotif tipe Mallet sejak 1904. Lokomotif Mallet ini memiliki susunan roda 1D+D dan menjadi lokomotif uap terbesar dan terkuat di dunia untuk lebar sepur 1067 mm.
Memasuki tahun 1930, lokomotif 1D+D generasi pertama (SS1201–1208) dinon-aktifkan dan disimpan di Balai Yasa Bandung. Selanjutnya, dinasan lokomotif Mallet pada jalur Purwakarta–Padalarang seluruhnya mengandalkan pada lokomotif Mallet batch kedua (SS 1209–12200).
Perkembangan generasi lokomatif uap yang digunakan tidak hanya berkiblat dari pabrikan Amerika saja, tetapi juga ke Eropa. Lokomotif uap buatan Eropa ini selain digunakan di wilayah Jawa Barat, juga digunakan di Sumatera, seperti Aceh dan Sumatera Barat.
Pascaperang Dunia II berakhir, era lokomotif uap mulai memudar karena modernisasi perkeretaapian di dunia mengarah pada lokomotif diesel dan listrik. Kendati demikian, Pemerintah Indonesia tidak langsung memodernisasi semua armada kereta apinya. Hal ini terlihat dengan masih dipesannya lokomotif uap kepada perusahaan Jepang Nippon Sharyo untuk lokomotif serie D52 dan E10 khusus meremajakan perkeretaapian di Aceh.
Masa lokomotif uap pegunungan baru benar-benar berakhir pada tahun 1981, yaitu ketika Balai Yasa yang khusus merawat lokomotif uap di Madiun ditutup. Area Balai Yasa Madiun kemudian dialihkan kepada PT Industri Kereta api (PT INKA).
Uniknya, hingga 1984 eksistensi lokomotif uap pegunungan masih bisa ditemui di rute aktif lokal stasiun Cibatu-stasiun Garut. Sampai-sampai banyak pencinta lokomotif uap dari luar negeri berdatangan ke Cibatu demi menyaksikan langsung lokomotif raksasa tersebut beroperasi hingga Cibatu mendapat julukan ”Mecca of the Mallet”. (Litbang Kompas)
Data Buku:
Judul: De Bergkoningin: Lokomotif Uap Raksasa di Pegunungan Indonesia