Saatnya ”Solopreneur” Bersinar
”Solopreneur” bisa menjadi alternatif bagi masyarakat yang kesulitan mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan.
Di tengah ketidakstabilan ekonomi dan disrupsi teknologi, kebutuhan akan karyawan di industri besar menjadi semakin berkurang. Sebuah laporan terbaru bertajuk ”Talent Acquisition Insights 2024” oleh Mercer Mettl menemukan, 69 persen perusahaan di Indonesia tidak menambah karyawan baru atau menerapkan pembekuan perekrutan di sepanjang tahun 2023.
Bersamaan dengan itu, 23 persen perusahaan di Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2023, dibandingkan dengan rata-rata perusahaan global yang sebesar 32 persen. Survei yang dilakukan terhadap lebih dari 750 profesional sumber daya manusia (SDM) di lebih dari 20 industri di Indonesia ini menyimpulkan, mayoritas perusahaan semakin khawatir akan potensi PHK di masa depan.
Membaca tren ini, mendirikan usaha sendiri atau menjadi solopreneur bisa menjadi jalan keluar bagi mereka yang kesulitan mendapatkan atau mempertahankan pekerjaannya. Mengutip The Economic Times dan Merriam-Webster, solopreneur adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang secara mandiri membangun usaha dari skala kecil. Termasuk pula makna mereka memulai dan menjalankan bisnis seorang diri.
Mengutip situs Kamar Dagang dan Industri Amerika Serikat, ada banyak keuntungan menjadi solopreneur yang memulai usaha seorang diri. Daya tarik terbesarnya adalah rendahnya tingkat risiko finansial karena tidak perlu merekrut karyawan yang perlu digaji. Pengeluaran juga relatif rendah. Solopreneur juga memiliki tingkat kendali yang tinggi terhadap bisnisnya sehingga dapat memutuskan jam kerja dan lingkungan kerja sefleksibel mungkin.
Studi Segara Research Institute yang bekerja sama dengan Bank Saqu menyebut solopreneur umumnya lahir dari mereka yang bekerja sebagai pekerja lepas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022 menunjukkan, di Indonesia terdapat 34,13 juta pekerja lepas.
”Di Indonesia sekarang seluruh produktivitas atau segmen usaha sangat menuju ke solopreneur, baik kerja entrepreneur atau kerja sampingan untuk mendapatkan impian mereka secara finansial ataupun untuk menyeimbangkan hidupnya,” kata Chief Business Digital Officer PT Bank Jasa Jakarta (Bank Saqu) Angela Lew Darmawan, dalam acara peluncuran Bank Saqu Solopreneur Academy bersama komunitas entrepreneur Endeavour Indonesia, di Jakarta, Rabu (24/4/2024).
Riset mereka memprediksi ada 117,24 juta orang yang akan terjun menjadi solopreneur pada 2030, baik sebagai karier utama maupun sekadar pekerjaan sampingan. Artinya, satu dari tiga populasi Indonesia berpotensi menjadi solopreneur.
Diperkirakan 52,3 persen peluang pekerjaan tercipta dari solopreneur pada 2023. Peluang tersebut akan sedikit meningkat menjadi 52,44 persen pada 2030.
Meski bekerja secara mandiri, solopreneur berkontribusi bagi perekonomian negara dan menambah peluang pekerjaan baru. Pada 2023, kontribusi solopreneur diproyeksikan sebesar 33 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sekitar setengah dari kontribusi semua UMKM terhadap PDB yang sebesar 62 persen. Kontribusi mereka terbaca akan meningkat hingga 37 persen pada 2030.
Solopreneur yang mampu mengembangkan bisnisnya akan berpeluang memberikan pekerjaan bagi masyarakat. Diperkirakan 52,3 persen peluang pekerjaan tercipta dari solopreneur pada 2023. Peluang tersebut akan sedikit meningkat menjadi 52,44 persen pada 2030.
Di sisi lain, pengembangan solopreneur sendiri diakui masih akan berfokus di Pulau Jawa. Selain karena tingkat populasi penduduknya tinggi, dukungan infrastruktur telekomunikasi dan informasi juga masih lebih baik dibandingkan wilayah di luar Jawa.
Tren usaha
Solopreneur dan growth expert, Cagri Sarigoz, di situsnya, BizStack, menulis temuannya terkait perkembangan solopreneurship. Dikutip pada Rabu (24/4/2024), ia menyebut akhir-akhir ini pelaku solopreneurship tidak lagi dikuasai anak muda yang banyak memiliki ide kreatif dan berani menantang dunia kerja di perusahaan tradisional.
”Statistik baru menunjukkan, setengah dari wirausaha mandiri saat ini berusia di atas 35 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa para profesional berpengalaman ini telah mandiri dalam bisnis mereka tanpa memandang usia,” ujarnya.
Solopreneur juga tidak terbatas pada mereka yang memiliki hambatan dalam mengenyam pendidikan tinggi sehingga sulit mendapatkan pekerjaan di perusahaan. Saat ini, solopreneur banyak yang lahir dengan latar tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
”Ini membuat mereka mampu membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membangun bisnis mandiri yang tangguh dan mampu berkembang di tengah fluktuasi dan ketidakpastian ekonomi,” kata Sarigoz.
Temuan menarik lainnya adalah hanya 10 persen solopreneur berkutat di bidang terkait teknologi. Ini menepis persepsi bahwa solopreneur lahir karena minat mengembangkan usaha di bidang teknologi. Dari studi di Amerika Serikat, mayoritas pengusaha memulai perjalanan mereka di bidang kesehatan, konstruksi, dan ritel.
Syifa Zakia, Head of Entrepreneur Experience Endeavour Indonesia, juga membaca fenomena yang sama di Indonesia. Menurut Syifa, solopreneur yang terus bertambah saat ini tidak melulu bergelut di bidang teknologi. Dengan kebutuhan pasar yang beragam di Indonesia, solopreneur banyak menjajal bidang kreatif yang menyasar pasar konsumen ritel.
”Indonesia kuat di bidang yang kaitannya sama konsumen ritel, apa pun bentukannya, dari fashion hingga F & B ( food and beverage/makanan dan minuman),” ungkapnya dalam acara bersama Bank Saqu.
Pengembangan diri
Di tengah booming jenis usaha ini, solopreneur menghadapi berbagai tantangan. Tantangan itu umumnya terkait pola pikir, kemampuan mengelola keuangan, hingga mencari rekan bisnis untuk bisa ”naik kelas”.
”Masalah pertama itu biasanya di pola pikir. Itulah sebabnya, kami mendorong entrepreneur untuk bermimpi besar, mau belajar dari orang lain, dan membangun tim dan memiliki budaya organisasi agar bisa tumbuh bersama di setiap tahapan,” lanjut Syifa.
Mengatur keuangan pribadi dan usaha, menurut Yonas, menjadi keahlian dasar yang harus dimiliki solopreneur sebelum mengatur keuangan bisnis yang lebih kompleks.
Ditemui pada kesempatan yang sama, Business Development and Marketing Communication Manager Endeavour Indonesia Yonas Christian mengatakan, kemampuan yang sering menjadi penghambat bagi solopreneur mampu menjalani usaha secara berkelanjutan adalah mengatur keuangan. Mengatur keuangan pribadi dan usaha, menurut Yonas, menjadi keahlian dasar yang harus dimiliki solopreneur sebelum mengatur keuangan bisnis yang lebih kompleks.
”Biasanya solopreneur enggak mau repot pakai satu bank atau beli modal pakai uang sendiri. Padahal, itu super duper big no. Pendiri usaha harus bisa menyejahterakan dirinya. Enggak bisa bisnis jalan, tapi keuangan personal pendirinya terseok-seok. Ini yang akhirnya membuat usahanya tidak berkelanjutan, akhirnya terus cari bisnis baru,” tutur Yonas.
Kemampuan lain yang layak dipelajari solopreneur adalah mencari rekan bisnis yang cocok jika sudah perlu mengembangkan usaha. Berbeda dengan karyawan biasa, rekan kerja bermanfaat untuk membantu berbagai pekerjaan bisnis yang strategis dan akan kian kompleks sesuai perkembangan usaha, seperti pengembangan produk, pemasaran, keuangan, dan sumber daya manusia.
”Kalau sendiri terus, manusia pasti punya keterbatasan. Enggak ada yang bisa 100 persen pintar di keuangan, pemasaran, dan lain-lain. Maka dari itu, harus ada partner bisnis yang masuk agar usaha bisa tumbuh cepat walaupun ini tricky karena mencari partner bisnis tidak seperti mencari teman,” ujarnya.
Untuk itu, solopreneur perlu membuka diri untuk menambah pengetahuan dengan mengikuti pelatihan hingga memperluas jaringan agar berdaya. Dengan terus mengembangkan diri, solopreneur dapat bersinar tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga membantu perekonomian nasional.