Harga Acuan Telur dan Daging Ayam Ras Naik Rata-rata Rp 3.000 Per Kilogram
Relaksasi harga dilakukan berdasar usulan peternak terkait naiknya input produksi yang mengubah struktur biaya produksi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menaikkan harga acuan telur dan daging ayam ras baik di tingkat produsen ataupun konsumen per Kamis (25/4/2024) dari harga sebelumnya yang diatur sejak 2022. Relaksasi harga ini melegakan dari sisi produsen yang terimpit kenaikan biaya produksi. Di sisi lain, ada ancaman penurunan daya beli konsumen karena tren kenaikan harga pangan.
Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) merilis daftar relaksasi harga acuan pembelian (HAP) di tingkat produsen dan harga acuan penjualan (HAP) di tingkat konsumen untuk komoditas telur ayam ras dan daging ayam ras. Aturan ini mengubah harga acuan yang ditetapkan dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 5 Tahun 2022.
Secara rinci, di tingkat produsen, HAP telur ayam naik dari Rp 22.000-Rp 24.000 per kilogram menjadi Rp 26.000 kg, HAP ayam ras pedaging naik dari Rp 21.000-Rp 23.000 per kg menjadi Rp 25.000 per kg. Sementara itu, di tingkat konsumen, HAP telur ayam naik Rp 3.000 dari Rp 27.000 per kg menjadi Rp 30.000 per kg, kemudian HAP daging ayam ras naik Rp 3.250 dari Rp 36.750 ke Rp 40.000 per kg.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menyatakan, relaksasi harga ini dilakukan setelah menimbang usulan para pelaku usaha daging ayam dan telur ayam ras terkait kenaikan input produksi yang mengubah struktur ongkos produksi. ”Serta menindaklanjuti hasil rapat koordinasi review Harga Acuan Pembelian di Tingkat Produsen dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen Komoditas Jagung, Telur Ayam Ras, dan Daging Ayam Ras,” ujarnya dalam surat yang dikutip pada Jumat (26/4/2024).
Perubahan harga ini sementara berlaku sejak 25 April 2024 sampai 31 Mei 2024. Sejauh ini, harga daging ayam ras di semua provinsi masih di bawah harga acuan baru.
Mengutip Panel Harga Pangan Bapanas, per Jumat (26/4/2024), harga ayam ras pedaging di tingkat produsen sepekan terakhir masih tinggi Rp 23.450 per kg. Kemudian, harga telur ayam ras juga sudah melampaui batas atas harga eceran sebelumnya Rp 25.270 per kg pada hari ini.
Adapun harga daging ayam di tingkat pedagang eceran terus turun dari rata-rata Rp 38.870 per kg pada 19 April 2024 menjadi Rp 38.380 per kg pada 26 April 2024. Namun, harga hari ini membalik tren penurunan karena naik hampir 1 persen dari hari sebelumnya.
Pola hampir serupa juga terjadi pada tren harga telur ayam. Harga per kg telur pada 19 April 2024 mencapai Rp 30.520, kemudian pada 23 April 2024 sempat turun ke harga Rp 30.020. Setelah hari itu, harga kembali menanjak hingga menyentuh Rp 30.700 pada hari ini, 26 April 2024.
Untuk memastikan implementasi penyesuaian harga acuan komoditas ini, Arief mengharapkan kerja sama dari Satuan Tugas Pangan Polri untuk secara berkala melakukan pengawasan, baik di tingkat produsen maupun konsumen.
Bagi produsen, kenaikan harga acuan dinilai wajar dilakukan meskipun penyesuaiannya terlambat.
Presiden Peternak Layer Indonesia Musbar Mesdi mengatakan, sesuai undang-undang, harga acuan seharusnya dievaluasi setiap tiga sampai empat bulan sekali. Namun, Perbadan No 5/2022 yang dikeluarkan pada September 2022 lama dipakai kendati pada 2023 ada krisis ekonomi dan politik global yang berdampak pada biaya produksi peternakan, terutama biaya pakan yang berkontribusi pada 74 persen harga pokok produksi.
”Yang sangat terasa adalah harga-harga bahan baku pakan impor, terutama yang berasal dari kedelai beserta turunannya. Ditambah lagi kenaikan harga jagung lokal kita karena produksi dalam negeri gagal panen. Semua itu menaikkan harga pakan jadi pabrikan sebesar 26 persen sejak Perbadan No 5/2022 dikeluarkan,” ujarnya ketika dihubungi Kompas.
Kenaikan biaya produksi di tingkat peternak yang merupakan industri hulu, menurut dia, tidak bisa dihindari lagi karena adanya krisis ekonomi global saat ini berpengaruh besar pada kondisi industri pangan dalam negeri. Apalagi, mata uang dollar AS kini terus menguat sehingga membuat rupiah anjlok menembus Rp 16.000 per dollar AS. Bank Indonesia pun terakhir mengeluarkan kebijakan menaikkan suku bunga yang bisa ditransmisi menjadi kenaikan utang modal usaha.
Penyesuaian di hilir pun menjadi penting karena intervensi faktor produksi di hulu sulit dikerjakan dalam waktu cepat. Faktor produksi di hulu, antara lain, peningkatan produksi jagung yang diutamakan menggunakan produksi dalam negeri. ”Produksi jagung bermasalah karena produktivitas per hektar turun disebabkan kelangkaan pupuk sehingga tongkol jagungnya tidak keluar,” ujarnya.
Kebutuhan jagung untuk industri peternakan nasional ada di kisaran 750.000-800.000 ton per bulan. Ketersedian jagung dalam negeri harus selalu terjaga dalam bentuk cadangan jagung pemerintah (CJP) karena sangat berpengaruh besar terhadap biaya pakan ternak. Sementara itu, lanjut Musbar, ketersediaan jagung berkompetisi dengan ketersediaan beras.
”Area lahan jagung dan beras sama dan biasanya musim tanam dalam setahun dua kali untuk area tanah-tanah beririgasi teknis. Makanya, Kementerian Pertanian sekarang fokus penanaman di ladang-ladang yang non-irigasi,” ungkapnya.
Daya beli masyarakat
Sebagai bahan pokok penting, kenaikan harga daging ayam dan telur dikhawatirkan semakin menurunkan daya beli masyarakat.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, yang dihubungi terpisah, menilai, masyarakat belum siap dengan kenaikan harga yang cukup tinggi. Terlebih karena ketersediaan uang yang menipis usai Idul Fitri, plus peningkatan kebutuhan jelang musim kenaikan kelas atau biaya pendidikan.
”Apalagi, sekarang suku bunga kembali naik, rupiah melemah, sehingga akan berdampak ke masyarakat kelas menengah yang tidak berhak akan bantuan sosial, sementara kebutuhan layak belum bisa diimbangi. Ini juga bisa berdampak terhadap masyarakat kurang mampu karena penyaluran bantuan sosial sudah berkurang,” ucapnya.
Kenaikan harga pangan ini, menurut Bhima, bisa membuat masyarakat mencari alternatif sumber protein lain yang lebih murah, seperti tahu dan tempe. Pilihan lainnya adalah tetap mengeluarkan uang lebih untuk membeli ayam dan telur, tetapi kemudian mengurangi belanja untuk kebutuhan lainnya.
”Konsumen bisa mengurangi belanja lainnya, kebutuhan sekunder. Dampaknya akan dirasakan ke pelaku usaha lain, yang bisa berubah menurunkan omzet penjualan,” lanjutnya.
Daripada mengorbankan masyarakat, ia berpendapat, pemerintah lebih baik mengoptimalkan penanganan di hulu, antara lain dengan memberikan subsidi pupuk jagung, berinovasi untuk menghasilkan bibit tanaman jagung yang tahan cuaca ekstrem, hingga mencegah alih fungsi lahan sentral produksi jagung.