Arah Kebijakan Transisi Energi Tak Cukup Yakinkan Investor
Selain kebijakan pemerintah yang kontradiktif, segudang persoalan menyebabkan aliran investasi hijau tersendat.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Arah kebijakan pemerintah di sektor energi terbarukan belum mampu meyakinkan lembaga pembiayaan internasional menyalurkan pembiayaan untuk mendukung program transisi energi di Indonesia. Terkikisnya kepercayaan investor mengakibatkan adanya defisit investasi hijau yang tentu akan menyulitkan negara untuk mencapai target emisi karbon netral.
Saat dihubungi, Rabu (8/5/2024), Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai arah kebijakan Pemerintah Indonesia belum bisa membuat investor dari lembaga kemitraan ataupun lembaga internasional lain meyakini komitmen transisi energi di Tanah Air.
Salah satu faktor keraguan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah Indonesia yang masih memberikan izin pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di kawasan industri melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022. Padahal, tanpa membuat PLTU baru, kelebihan listrik PLTU saat ini dinilai dapat disalurkan ke kawasan industri.
Dalam periode 2018-2023, nilai investasi rata-rata tahunan untuk sektor energi terbarukan di Indonesia mencapai 1,62 miliar dollar AS per tahun.
”Paling tidak, PLTU batubara yang sudah telanjur dibangun di kawasan industri bisa dikurangi kapasitasnya, kemudian digantikan dengan energi terbarukan. Ini membuat pihak yang ingin mendanai pensiun dini PLTU milik PLN menjadi ragu,” ujarnya.
Saat ini, Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia sedang mendata PLTU milik industri. JETP merupakan program pendanaan yang diberikan negara-negara maju untuk mendukung transisi energi negara berkembang.
Bhima mendorong pendataan itu dipercepat sebagai dasar penerbitan regulasi baru untuk menghentikan pemberian izin PLTU baru di kawasan industri. Jika tidak ada regulasi baru yang mendorong pengurangan kapasitas PLTU, Bhima menilai, Indonesia akan kesulitan mencapai target emisi karbon netral pada 2060.
Penilaian Bhima, kebijakan pemerintah yang belum mampu meyakinkan para investor ataupun lembaga internasional untuk mengalirkan dana investasi mereka ke sektor energi terbarukan dalam negeri sejalan dengan laporan yang dipublikasikan McKinsey & Company di akhir 2024 bertajuk ”Indonesia Green Powerhouse Promise: Ten Bold Moves”.
Tertulis pada laporan tersebut bahwa dalam periode 2018-2023, nilai investasi rata-rata tahunan untuk sektor energi terbarukan di Indonesia mencapai 1,62 miliar dollar AS per tahun. Nilai tersebut hanya memenuhi 20,2 persen dari pengeluaran tahunan yang diperlukan bagi Indonesia untuk memenuhi target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2025 sebesar 17 persen-19 persen.
Di samping kebijakan pemerintah yang terkesan kontradiktif dengan program percepatan transisi energi, terdapat juga sejumlah persoalan yang menyebabkan aliran dana investasi untuk sektor energi terbarukan tersendat, Persoalan itu di antaranya tarif energi terbarukan yang tinggi; persaingan dengan bahan bakar fosil yang disubsidi; persyaratan modal awal yang tinggi; serta kurangnya kejelasan dan keterlacakan aliran keuangan serta alokasi pendanaan publik untuk proyek-proyek energi terbarukan.
”Tantangan-tantangan ini juga dapat mengikis kepercayaan investor untuk berinvestasi di sektor energi terbarukan di Indonesia. Padahal, sumber-sumber pendanaan swasta sangat diperlukan untuk mengisi kesenjangan pendanaan, yang akan melengkapi alokasi pendanaan publik untuk proyek-proyek energi terbarukan,” tulis laporan yang disusun Senior Partner and Managing Partner of McKinsey Indonesia Khoon Tee Tan, Senior Partner of McKinsey Singapore Vishal Agarwal, Leader of McKinsey Sustainability in South East Asia Ashwin Balasubramanian, dan Renewable Energy Market Specialist McKinsey Fadhila El Discha.
Untuk lebih mengatasi defisit investasi di sektor pembiayaan hijau, McKinsey menyarankan pemerintah untuk mengembangkan mekanisme pembiayaan baru yang inovatif, termasuk mengeksplorasi cara baru untuk mengumpulkan modal untuk proyek-proyek hijau. Pemerintah juga dapat memperluas penggunaan instrumen keuangan dengan rasio leverage yang lebih tinggi, misalnya asuransi, jaminan, struktur pembiayaan gabungan, dan skema perlindungan nilai mata uang.
Selain itu, pemerintah juga dirasa perlu mempromosikan kemitraan publik-swasta untuk mendatangkan lebih banyak modal internasional, yang potensial dilakukan melalui platform investasi tingkat nasional. Pemerintah dan sektor swasta bisa bekerja sama untuk mengembangkan dan melaksanakan solusi-solusi pembiayaan berkelanjutan, yang potensial termasuk platform investasi tingkat nasional yang memungkinkan pengadaan dan pembiayaan proyek berskala besar.
”Ini bisa mencakup peningkatan penyaluran modal dari inisiatif dan lembaga-lembaga yang sudah ada dan peningkatan dana iklim konsesional internasional baru sebagai bagian dari COP, G20, dan proses Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti dana pembiayaan gabungan yang terkait dengan COP28 yang diusulkan, dana kerugian dan kerusakan, dan pajak atau bea iklim global baru,” tulis laporan tersebut.
Sementara itu, dalam rancangan dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang berisi rencana pelaksanaan proyek JETP di Indonesia, Sekretariat JETP memproyeksikan, selama periode 2022-2030 kapasitas PLTU batubara Indonesia masih akan bertambah hingga total mencapai 40,6 gigawatt pada 2030.
Kemudian, pada 2035 kapasitasnya diproyeksikan mulai berkurang jadi 39,4 GW, dan terus menyusut hingga mencapai 0 GW pada 2050. Adapun pemensiunan PLTU batubara menurut rencana akan dipercepat setelah 2040.
Sekretariat JETP mengestimasikan, untuk menyiapkan pensiun dini dan penghentian bertahap PLTU batubara, Indonesia membutuhkan investasi hingga 1,3 miliar dollar AS sampai 2030. Namun, seluruh rencana yang tertuang dalam CIPP ini masih berstatus rancangan dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat.