Jeli Menyiasati KPR
Masyarakat perlu mengatur strategi untuk menyiasati potensi kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah.
Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia menuai kekhawatiran berdampak pada peningkatan suku bunga kredit pemilikan rumah. Di tengah turbulensi ekonomi, kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah tidak hanya meningkatkan beban biaya angsuran masyarakat, tetapi juga memicu pelemahan pasar properti.
Mayoritas masyarakat selama ini menggunakan skema kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit pemilikan apartemen (KPA) dalam pembiayaan perumahan. Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia, per Triwulan IV-2023, memperlihatkan skema pembiayaan utama dalam pembelian rumah primer adalah melalui KPR, yakni sebesar 75,89 persen dari total pembiayaan.
Langkah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya atau BI Rate sebesar 25 basis poin, yakni dari 6 persen menjadi 6,25 persen pada April 2024, diyakini sejumlah analis belum berdampak dalam jangka pendek 3-6 bulan mendatang. Namun, apabila langkah BI itu diikuti perbankan dengan kenaikan suku bunga kredit, hal itu diprediksi bakal menurunkan minat penyerapan rumah karena biaya pembelian dan cicilan properti bakal lebih tinggi.
Platform Properti Rumah123.com dan 99.co mencatat korelasi pergerakan BI Rate terhadap pertumbuhan KPR/KPA. Pada saat suku bunga acuan itu turun, terjadi lonjakan pertumbuhan pemberian KPR/KPA secara tahunan (YoY). Sebaliknya, sewaktu suku bunga acuan meningkat, pertumbuhan kredit melambat.
Baca juga: BI Rate Naik Jadi 6,25 Persen, Sektor Riil Perlu Antisipasi
Tren historis memperlihatkan, terdapat jeda 6-12 bulan setelah suku bunga acuan meningkat, terjadi kenaikan suku bunga KPR/KPA. Kenaikan suku bunga kredit itu diikuti pertumbuhan pinjaman yang cenderung melambat. Perubahan suku bunga KPR memengaruhi seluruh segmen pasar residensial.
”Dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap kenaikan suku bunga KPR/KPA perlu diantisipasi dalam beberapa bulan mendatang untuk memastikan geliat permintaan masyarakat terhadap properti tetap terjaga,” kata Mariska Jaya, Head of Research Rumah123, beberapa waktu lalu.
Lebih jeli
Mariska menambahkan, di tengah tantangan kondisi perekonomian yang tidak menentu, hadirnya kebijakan insentif dari pemerintah, serta program promosi pembelian hunian oleh para developer dan perbankan dinilai cukup mampu menjaga geliat permintaan properti.
Masyarakat juga diharapkan dapat lebih bijaksana dalam melakukan perencanaan keuangan untuk membeli properti, serta lebih jeli membandingkan program KPR dari sejumlah bank. Selain itu, juga jeli memanfaatkan insentif pemerintah maupun promo dari pengembang agar cicilan pembelian hunian tetap terjangkau.
Bagi masyarakat yang sedang mencicil KPR dan menghadapi kenaikan suku bunga mengambang(floating rate), program pindah KPR bisa menjadi opsi. Pemindahan KPR ke bank lain (take over)yang menawarkan promo suku bunga KPR akan meringankan beban angsuran. Meskipun, pemindahan KPR ke bank lain itu juga menimbulkan biaya-biaya seperti halnya pengajuan awal KPR.
Pihak bank mengabulkan penyesuaian kenaikan suku bunga KPR dengan win-win solution.
Ayunita (37), warga Bogor, menuturkan, ia telah mengalami tiga kali kenaikan suku bunga kredit selama 13 tahun menjadi nasabah KPR pada sebuah bank swasta. Terhadap kenaikan suku bunga KPR itu, Ayunita pun selalu mengajukan keringanan cicilan kepada pihak bank. Tiga kali pengajuan keringanan angsuran tersebut dikabulkan pihak bank.
Ia mencontohkan, ketika suku bunga KPR naik dan angsuran bulanannya meningkat dari Rp 2,2 juta menjadi Rp 2,4 juta, pihak bank menyepakati penurunan cicilan menjadi Rp 2,3 juta per bulan. Sewaktu suku bunga KPR kembali naik dan besar angsuran bertambah menjadi Rp 2,7 juta per bulan, ia meminta keringanan sehingga angsuran bulanan dikurangi menjadi Rp 2,5 juta. Demikian pula, ketika angsuran KPR naik lagi menjadi Rp 2,8 juta juta per bulan, ia berhasil negosiasi dengan pihak bank sehingga angsuran turun menjadi Rp 2,6 juta per bulan.
”Saya meminta suku bunga KPR tidak dinaikkan. Jika tetap naik, saya terpaksa pindahkan KPR ke bank lain. Akhirnya, pihak bank mengabulkan penyesuaian kenaikan suku bunga KPR dengan win-win solution,” ujar Ayunita, yang membeli rumah tinggal di Bukit Cimanggu City, Kota Bogor.
Saat ini, Ayunita masih memiliki sisa tenor KPR selama dua tahun ke depan. Ia berharap tidak ada lagi kenaikan suku bunga KPR yang membebani di sisa masa kredit.
Baca juga: Pelemahan Daya Beli Properti Perlu Diantisipasi
Lain halnya dengan Hani Kristiani. Selama tiga tahun terakhir ia mendapatkan promo suku bunga tetap (fix rate) KPR sebesar 6,5 persen di sebuah bank swasta, ia lalu terkena kenaikan suku bunga KPR menjadi 13,5 persen. Besar angsurannya pun naik hampir dua kali lipat, yakni dari Rp 4 juta per bulan menjadi Rp 7,2 juta per bulan.
Hani menuturkan, lonjakan suku bunga KPR itu sangat membebaninya sehingga ia mengajukan keringanan angsuran kepada pihak bank. Namun, pihak bank tidak memberikan respons. Akhirnya, ia memutuskan pindah KPR ke bank swasta lain yang menawarkan promosi suku bunga tetap KPR.
Penawaran suku bunga promo KPR tersebut digulirkan oleh sejumlah bank swasta dan bank BUMN. Ia kini sedang menghitung promo yang paling relevan dengan kondisi keuangan dan rencana pelunasan. Meski demikian, pemindahan KPR itu diakui memakan waktu, di samping kesiapan biaya appraisal dan sejumlah persyaratan lain yang harus dipenuhi.
”Pemindahan KPR ke bank lain menjadi jalan keluar ketimbang tetap bertahan di bank yang menaikkan suku bunga KPR yang sangat membebani, tanpa ada ruang negosiasi. Ini sempat membuat saya kapok dengan KPR,” kata Hani, yang masih memiliki sisa kredit sekitar Rp 500 juta.
Saling terkait
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengemukakan, kenaikan suku bunga acuan yang diikuti kenaikan suku bunga kredit akan menurunkan daya beli masyarakat. Dari perhitungan IPW, setiap kenaikan 1 persen suku bunga KPR, akan menurunkan permintaan pasar 4-5 persen. Pasar perumahan akan tertahan, terutama di segmen menengah ke bawah.
”Penurunan pasar lebih terasa di segmen harga menengah bawah di bawah Rp 1 miliar,” ujar Ali, beberapa waktu lalu.
Menurut Ali, ketidakpastian kondisi global dan geopolitik dunia juga perlu diantisipasi karena dapat melemahkan ekonomi dan memicu kenaikan inflasi, termasuk inflasi bahan bangunan. Kebijakan insentif diperlukan, serta upaya pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Kuota Rumah Subsidi Diprediksi Segera Habis
Mariska berpendapat, sejumlah instrumen kebijakan dan insentif diperlukan untuk mendorong keterjangkauan properti di tengah perlambatan pasar. Skema insentif berupa rasio pinjaman terhadap aset (LTV) 100 persen dan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) dinilai berperan signifikan mendorong pasar properti.
Dicontohkan, sewaktu pemerintah mengumumkan pembebasan PPN pada bulan Oktober 2023, pencarian properti lewat platform Rumah123.com mengalami lonjakan 77,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. PPN DTP yang masih berlanjut hingga saat ini merupakan kesempatan untuk memiliki rumah dengan keringanan biaya.
”Kebijakan insentif properti diharapkan bisa dipertahankan, tentunya didukung upaya bersama para stakeholder, seperti pengembang, perbankan, hingga lokapasar properti untuk menyediakan program-program yang menjaga kemudahan atau minat masyarakat membeli hunian,” ujar Mariska.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (REI) Bambang Ekajaya mengungkapkan, kenaikan suku bunga KPR membebani angsuran kredit konsumen maupun pengembang. Kenaikan itu juga kerap membuat calon konsumen tereliminasi dan mundur.
KPR bersubsidi diharapkan diperluas jangkauannya supaya membuat konsumen terbantu.
Meski demikian, pengembang tidak bisa serta-merta membebankan dampak kenaikan suku bunga KPR kepada konsumen. Pengembang merupakan pihak pertama yang memiliki tanggung jawab memberikan kemudahan bagi calon konsumen untuk bisa mengangsur rumah, misalnya memberikan subsidi bunga KPR pada tahun pertama.
”Kami kencangkan ikat pinggang agar harga jual tetap bersaing dan kalau perlu kita lakukan subsidi suku bunga kredit rumah,” kata Bambang, beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, KPR bersubsidi menjadi instrumen untuk membantu keterjangkauan rumah. Subsidi KPR melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dengan suku bunga tetap 5 persen per tahun membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk menyelesaikan kewajiban sampai tenor kredit selesai. Sebaliknya, masyarakat berpenghasilan tanggung dengan batas penghasilan sedikit di atas masyarakat berpenghasilan rendah dinilai lebih rentan terhadap kenaikan suku bunga KPR.
”KPR bersubsidi diharapkan diperluas jangkauannya supaya membuat konsumen terbantu,” katanya.