Mencetak Pelajar (Menjadi) Eksportir
Gerakan mencetak 500.000 eksportir baru tak hanya menyasar pelaku UKM, tetapi juga pelajar RI di dalam dan luar negeri.
Gerakan mencetak 500.000 eksportir baru Indonesia hingga 2030 terus bergulir. ”Mesin” penggeraknya terus bermunculan, seperti Sekolah Ekspor dan Komunitas Bisa Ekspor yang dirintis sejak 2020. Sasarannya kini tidak hanya pelaku usaha kecil dan menengah, tetapi juga pelajar Indonesia di dalam maupun luar negeri.
Upaya tersebut dalam rangka menggapai target peningkatan ekspor menuju Indonesia Emas 2045. Pada 2045, ekspor nonmigas Indonesia diharapkan bisa mencapai 900 miliar dollar AS atau tumbuh dari 1,2 persen pada 2022 menjadi 2,2 persen.
Upaya itu juga membuka peluang transisi cara ekspor pelajar diaspora Indonesia di luar negeri. Dari semula membawa sejumlah produk Nusantara untuk dijual di negara lain (hand carry export) menjadi menjualnya melalui e-dagang, mendirikan perusahaan perdagangan kecil, hingga bekerja sama dengan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).
Fitrina Sheila (22), mahasiswi Universitas Hayam Wuruk Perbanas, Surabaya, Jawa Timur, berkisah, dengan mengikuti Sekolah Ekspor, mahasiswa bisa berkolaborasi dengan pelaku UKM untuk memasarkan produk UKM itu ke luar negeri secara digital. Selain itu, mahasiswa juga diajari cara mengolah dan mengemas produk UKM agar lebih menarik dan memenuhi standar negara lain.
Bahkan, ada beberapa mahasiswa yang berhasil mendirikan perusahaan perseorangan. Beberapa di antaranya adalah PT Ekspor Teratai Utama, PT Lulaby Project IDN, dan PT Resmi Bykama Sejahtera (Kompasiana, 6/5/2024).
Baca juga: Siasat Dagang RI di Tahun Naga Kayu
Capaian serupa digapai Komunitas Bisa Ekspor yang menyasar UKM dan juga generasi Z. Hingga akhir 2023, anggota komunitas tersebut telah mencapai 1,3 juta orang dari generasi Z. Dari jumlah itu, 4.000 orang berhasil mengekspor sejumlah produk buatan Indonesia.
”Rerata kesuksesannya memang masih kecil, yakni sekitar 0,3 persen, karena masih ada 99,7 persen anggota yang belum ekspor. Tapi, dari satu orang yang bisa mengekspor, minimal bisa mendapatkan Rp 200 juta per bulan,” kata CEO Bisa Ekspor Julio ”Ekspor” Halim dalam diskusi ”Indonesia Maju”, akhir tahun lalu.
Baca juga: Siasat Dagang RI di Tahun Naga Kayu
Bagaimana gerakan-gerakan tersebut terus tumbuh dan berkembang di Indonesia? Gerakan-gerakan mencetak eksportir baru itu muncul baik diprakarsai perseorangan maupun bersama.
Komunitas Bisa Ekspor muncul berkat upaya Julio yang ingin mengembangkan usaha berjualan arang tempurung kelapa di dalam negeri ke pasar internasional. Setelah sukses mengekspor dan mendirikan perusahaan briket dari tempurung kelapa, ia membangun Komunitas Bisa Ekspor.
Sekolah Ekspor
Gerakan bersama mencetak eksportir digagas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama pemerintah pada 2020. Gerakan itu melahirkan Sekolah Ekspor yang diresmikan pada 2021. Gerakan tersebut diharapkan mampu mencetak 500.000 eksportir baru pada 2020-2030.
Gerakan yang semula menyasar pelaku UKM itu terus berkembang dengan menyasar pelajar Indonesia di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, Sekolah Ekspor bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta sejumlah perguruan tinggi yang menggelar program Kampus Merdeka.
Baca juga: Sekolah Ekspor Dorong Lahirnya Wirausaha Baru
Mahasiswa dapat mengikuti program studi independen yang dilengkapi dengan magang dan sertifikat dari Sekolah Ekspor, yang disebut Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB). Program itu bisa menjadi ganti mata kuliah selama satu semester.
”Saya ingin perguruan tinggi lebih banyak berperan di sektor perdagangan internasional. Mereka bisa menghasilkan eksportir baru sekaligus riset-riset pengembangan produk ekspor Indonesia,” kata Kepala Sekolah Ekspor Handito Joewono dalam Kuliah Ekspor Internasional bertema ”Kebut Ekspor: Speeding Up Indonesian Exports with Optimizing RCEP and Campus Resources” di Jakarta, Jumat (3/5/2024).
Saya ingin perguruan tinggi lebih banyak berperan di sektor perdagangan internasional. Mereka bisa menghasilkan eksportir baru sekaligus riset-riset pengembangan produk ekspor Indonesia.
Adapun di luar negeri, Sekolah Ekspor bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia sejak 2023. Lantaran tinggal sementara di negara lain, mereka memiliki keunggulan membaca potensi pasar produk Indonesia di negara tersebut. Hal ini bisa dikembangkan lebih jauh, yakni dengan menjadikan mereka sebagai eksportir baru.
Sekolah Ekspor digelar secara daring. Perbedaan waktu tidak menjadi masalah lantaran materi pembelajaran diunggah dalam platform Sekolah Ekspor PPI Dunia di 65 negara.
Sekolah gratis yang digelar selama sebulan itu mengacu pada delapan modul pembelajaran yang dapat diakses melalui platform tersebut. Modul-modul itu adalah Export Research and Strategy, Product Development, Branding and Marketing, Business Matching, Payment and Documentation, Export Logistic, Cross Border Customs, dan Continuous Improvement.
Baca juga: Gotong Royong Mencetak Eksportir Baru
Koordinator PPI Dunia Hamzah Assuudy Lubis menuturkan, PPI Dunia berupaya menyediakan pelatihan yang dapat memfasilitasi pelajar Indonesia di luar negeri untuk belajar ekspor dengan gratis. Jadi, pelajar dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin.
”Kami berharap program tersebut dapat memunculkan Duta Ekspor PPI Dunia yang dapat berkontribusi dalam perekonomian Indonesia melalui ekspor,” ucapnya.
Pada 18-20 April 2024, misalnya, dua alumnus Sekolah Ekspor PPI Dunia, Mufliha dan Thareque Kareem, mengikuti Egypt International Exhibition Center (EIEC) Kairo, Mesir. Mereka mempromosikan kelengkeng dan rambutan Indonesia sekaligus menjadi Duta Ekspor PPI Dunia dalam pameran tersebut.
Baca juga: Kisah Tempe Nusantara di Negeri ”Kuch Kuch Hota Hai”
Sharing tantangan
Dalam Sekolah Ekspor, sejumlah praktisi ekspor dan pengambil kebijakan bakal dihadirkan menjadi guru, baik bagi peserta di dalam maupun luar negeri. Berbagai tantangan dan kebijakan perdagangan internasional dan Indonesia juga dipaparkan.
Hal itu penting mengingat dunia tengah berada di era restriksi ekspor dan Pemerintah Indonesia sedang berupaya meningkatkan perjanjian dagang dengan negara atau kawasan. Keduanya membawa implikasi munculnya sejumlah persyaratan ekspor-impor.
Terkadang, persyaratan dagang itu meringankan, terutama bagi negara-negara yang telah menjalin kerja sama bilateral maupun multilateral. Namun, kerap kali persyaratan dagang itu juga rumit dan menyulitkan karena harus melengkapi sejumlah dokumen dan memenuhi standar produk sebuah negara.
Hand carryexport pun sudah mulai sulit dilakukan karena ada pembatasan barang bawaan dan pajak atau bea masuk di setiap negara. Bahkan, seiring berkembangnya e-dagang, pengawasan dan pembatasan penjualan produk impor di sejumlah negara diperketat.
Baca juga: Tak Lagi Dibatasi, Jenis-Jumlah Barang Kiriman Pekerja Migran dan Barang Bawaan Pribadi Penumpang
Mencermati berbagai tantangan itu, para calon eksportir Indonesia tidak hanya membutuhkan inteligen pasar ekspor. Mereka juga membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebijakan perdagangan internasional dan regulasi dalam negeri terkait yang terus berkembang dan berubah menyesuaikan keadaan.
Semoga melalui gerakan-gerakan tersebut 500.000 eksportir baru benar-benar bisa dicetak secara bertahap hingga 2030. Dengan begitu, regenerasi eksportir Indonesia juga bisa terus berlanjut untuk mewujudkan target ekspor Indonesia Emas 2045.