Menuju Akhir Pemerintahan Jokowi, Janji Pembangunan Merata Masih Superfisial
Meski ekonomi di kawasan Indonesia timur tumbuh pesat, tingkat pengangguran dan kemiskinan tidak ikut turun signifikan.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir 10 tahun berlalu, janji Presiden Joko Widodo untuk mendorong pembangunan yang ”Indonesia-sentris” alias tidak berpusat di Jawa pelan-pelan mulai terlihat. Akan tetapi, pemerataan pembangunan yang dicita-citakan itu masih superfisial atau sekadar di permukaan. Ekonomi luar Jawa memang tumbuh tinggi, tetapi rakyatnya belum sejahtera.
Dalam satu dekade terakhir, posisi Jawa masih mendominasi struktur perekonomian nasional secara spasial, disusul Sumatera. Namun, kontribusinya perlahan mulai menurun. Di saat yang sama, ekonomi di luar Jawa, khususnya wilayah Indonesia timur, seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua, mulai bangkit dan tumbuh pesat.
Sebagai perbandingan, mengutip data Badan Pusat Statistik, pada triwulan I tahun 2014 sebelum Jokowi menjabat presiden, struktur perekonomian Indonesia sangat didominasi oleh Jawa dengan kontribusi 58,52 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan Sumatera sebesar 23,88 persen.
Wilayah lainnya, seperti Kalimantan, hanya menyumbangkan 8,45 persen, Sulawesi 4,72 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,48 persen, sementara Maluku dan Papua hanya berkontribusi 1,95 persen terhadap perekonomian nasional.
Menjelang akhir rezim Jokowi, berdasarkan data pertumbuhan ekonomi triwulan I-2024 terbaru, kendati masih mendominasi, kontribusi Jawa terhadap pembentukan PDB turun menjadi 57,70 persen, diikuti Sumatera yang turun menjadi 21,85 persen, dan Kalimantan yang turun menjadi 8,19 persen.
Di saat yang sama, kontribusi wilayah Indonesia tengah dan timur terhadap pembentukan PDB meningkat. Peran Sulawesi naik paling signifikan menjadi 6,89 persen, disusul Bali dan Nusa Tenggara menjadi 2,75 persen, dan Maluku-Papua menjadi 2,62 persen.
Pergeseran itu didukung oleh investasi yang dalam satu dekade terakhir digenjot di Indonesia tengah dan timur. Pada triwulan I-2024, sebaran realisasi investasi lebih banyak masuk ke luar Jawa dengan nilai Rp 201 triliun (50,1 persen), sementara investasi yang masuk ke Jawa Rp 200,5 triliun (49,9 persen).
Ini menunjukkan pemerataan yang terjadi masih superfisial, baru sekadar di permukaan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Faisal, Kamis (8/5/2024), menilai, pemerataan pembangunan di era Jokowi memang mulai terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat di kawasan Indonesia timur dan tengah. Namun, pergeseran itu belum terlalu signifikan dalam satu dekade terakhir.
”Ada pergeseran dari Jawa ke luar Jawa, tetapi belum terlalu signifikan karena masih di kisaran 1 persen. Pertumbuhan ekonomi di Maluku, Papua, dan Sulawesi memang tinggi-tinggi karena kontribusi dari hilirisasi dan masuknya investasi smelter di sektor pertambangan. Namun, kalau digali lebih dalam, ada beberapa catatan,” kata Faisal.
Belum sejahtera
Isu yang paling mencolok adalah minimnya dampak pengganda (multiplier effect) dari pertumbuhan yang tinggi itu terhadap kesejahteraan masyarakat. Meskipun ekonomi di Maluku, Papua, dan Sulawesi mencapai dua digit, tingkat pengangguran dan kemiskinan di daerah tersebut tidak ikut turun secara signifikan.
Idealnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu bisa diikuti dengan peningkatan indikator kesejahteraan masyarakat setempat. ”Ini menunjukkan pemerataan yang terjadi masih superfisial, baru sekadar di permukaan. Yang kita inginkan adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak sekadar tinggi, tetapi harus diikuti peningkatan kesejahteraan,” kata Faisal.
Di sisi lain, fokus pembangunan infrastruktur juga masih terpusat di Jawa. Berdasarkan data laporan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) per 2022, sebaran proyek infrastruktur masih didominasi Jawa dan Sumatera, yaitu 19 proyek untuk Sumatera dengan nilai Rp 400,55 triliun dan 18 proyek untuk Jawa senilai Rp 639,18 triliun.
Pembangunan infrastruktur di Maluku dan Papua hanya dua proyek meski nilainya cukup tinggi sebesar Rp 428,66 triliun, sementara di Sulawesi hanya tiga proyek dengan nilai Rp 51,83 triliun.
”Untuk luar Jawa, yang jadi pekerjaan rumah penting adalah memperbanyak infrastruktur yang bisa menekan biaya logistik, karena itu kendala utama mengapa investasi manufaktur sulit masuk, karena ongkos logistik yang terlalu mahal untuk mengirim bahan baku dan mengirim produk akhir ke pasar. Ekonominya masih berbiaya tinggi,” ujar Faisal.
Kualitas penyebaran
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menyoroti tentang sebaran investasi yang semakin bergeser ke luar Jawa, tetapi sekadar bertumpu pada daerah tertentu dan sektor tertentu seperti pengolahan (hilirisasi) hasil tambang.
Memang sudah banyak sebaran investasi di luar Jawa, tetapi masih di daerah yang itu-itu saja.
”Memang sudah banyak sebaran investasi di luar Jawa, tetapi masih di daerah yang itu-itu saja. Kualitas penyebaran ini perlu diperbaiki agar pertumbuhan ekonomi di luar Jawa tidak hanya bertumpu di daerah tertentu karena tambang dan nikel,” ucap Heri.
Ia mencontohkan, Papua yang sebenarnya memiliki banyak sumber daya alam (SDA) selain emas, seperti tembaga. Namun, tembaga dari Papua hanya diandalkan sebagai bahan baku. Pusat pengolahannya justru dibangun di Jawa Timur oleh PT Freeport Indonesia. ”Akhirnya, yang menikmati nilai tambah ekonominya tetap Jawa,” katanya.
Menurut dia, dibutuhkan pusat ekonomi baru ke depan yang tidak sekadar bergantung pada hasil pertambangan dan penggalian, tetapi lebih bernilai tambah dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Hilirisasi atau industrialisasi yang komprehensif dari hulu-hilir bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja ketimbang pengolahan setengah jadi yang saat ini berlaku.
”Untuk ini perlu ada perbaikan ekosistem di setiap daerah agar bisa mengoptimalkan sumber daya alam daerahnya, khususnya menyiapkan sumber daya manusia (SDM) sampai infrastruktur yang bisa menekan biaya logistik,” kata Heri.