Eksploitasi Dua Kapal Asing di Arafura Masif dan Sistematis
Terungkapnya kejahatan pencurian ikan, penyelundupan BBM, dan perbudakan menunjukkan eksploitasi masif dan sistematis.
JAKARTA, KOMPAS — Setiap tahun Indonesia mengalami kerugian masif akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing. Kasus terakhir mengungkap eksploitasi masif, terstruktur, dan sistematis sumber daya oleh kapal trawl asing yang mencuri ikan menggunakan bahan bakar minyak bersubsidi serta memperbudak puluhan warga negara Indonesia sebagai anak buah kapal di Laut Arafura.
Kasus pencurian ikan oleh dua kapal asing yang terungkap pada pertengahan April 2024 menyingkap adanya sindikasi asing-nasional dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Apalagi, trawl merupakan alat penangkapan ikan sejenis pukat harimau yang dilarang karena merusak ekosistem laut dan mengeruk sumber daya ikan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono, di Jakarta, Kamis (18/4/2024), mengemukakan, masuknya dua kapal asing ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP NRI) 718 Laut Arafura disinyalir sudah berlangsung beberapa bulan. Pihaknya terus mendalami sindikasi kapal asing-nasional dalam praktik kejahatan perikanan itu serta mengejar pelaku kapal asing tersebut.
Baca juga: Kapal Asing Angkut 150 Ton BBM Bersubsidi dan Perbudak 55 WNI
Pung, yang memimpin operasi penangkapan kapal pengangkut ikan ilegal, menambahkan, kapal ikan Indonesia terindikasi membantu dua kapal asing itu melakukan kejahatan perikanan, menyelundupkan BBM yang diduga jenis bersubsidi, dan memasok anak buah kapal (ABK) Indonesia ke kapal asing.
Dari hasil pemeriksaan KKP, kapal ikan Indonesia, KM Mitra Utama Semesta (MUS), yang berbobot 289 gros ton (GT), terindikasi menerima 100 ton ikan hasil alih muatan (transshipment)dari dua kapal asing ilegal, yakni Run Zeng (RZ) 03 dan RZ 05. Sebanyak 100 ton ikan itu diduga hasil pencurian ikan di perairan Indonesia selama lima hari dengan jenis ikan antara lain ikan layur, kakap merah, dan kakap putih.
KM MUS diduga memasok BBM jenis solar bersubsidi ke kapal asing RZ 03 dan RZ 05 di tengah laut. Pada KM MUS ditemukan solar yang disimpan pada palka-palka ikan. Dari hasil pemeriksaan catatan buku manual kapal di ruang kemudi, solar yang diangkut tercatat 870 drum atau sejumlah 150 ton BBM solar, sebagian sudah disuplai ke dua kapal asing itu dan beberapa kapal mitranya sehingga tersisa 9 ton di palka.
”Dua kapal asing ini diduga sudah beroperasi cukup lama serta beberapa kali loading dengan kapal Indonesia. Modusnya, kapal Indonesia memindahkan BBM solar dari palka ke kapal asing. Palka itu lalu dibersihkan untuk menampung ikan-ikan hasil curian. Bisa dibayangkan kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan ini,” papar Pung.
Sebagai ilustrasi, hasil tangkapan kapal RZ 03 dan 05 tercatat sebanyak 100 ton ikan dalam lima hari. Jika harga ikan diasumsikan Rp 15.000 per kg, maka nilai ikan yang didapat dalam setiap operasi penangkapan Rp 1,5 miliar. Setiap bulan, nilai ikan dari hasil curian di perairan Indonesia itu bisa menembus Rp 9 miliar.
KM MUS juga terindikasi mendistribusikan 55 ABK ke kapal RZ 03 dan RZ 05. ABK yang dipekerjakan ke kapal asing diduga tidak mendapatkan perlakuan layak. Enam orang dari 55 ABK itu akhirnya kabur dengan terjun ke laut. Dari enam ABK yang melarikan diri itu, satu orang ditemukan tewas karena tidak kuat berenang.
Sanusi Muhammad, salah satu ABK di kapal asing yang melarikan diri dari kapal RZ 03, mengemukakan, saat ia naik ke kapal RZ 03, sudah ada belasan ABK Indonesia yang telah bekerja di situ. Sebagian ABK lama itu dipulangkan dan digantikan olehnya dan rombongan baru ABK.
Kapal Orca 6 milik PSDKP KKP menangkap kapal KM MUS pada tanggal 14 April 2024 di Laut Arafura, Maluku, pada titik koordinat 05° 30.422" LS-133° 59.005" BT. Penangkapan itu didasarkan pada laporan masyarakat tentang indikasi alih muatan ikan dari kapal ikan asing, yaitu KM RZ 03 dan RZ 05.
Dugaan korupsi
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, kapal RZ 03 dan RZ 05 pernah sandar di beberapa pelabuhan, seperti di Teluk Palabuhanratu, Sukabumi, dan Ambon. Paguyuban nelayan Mitra Nelayan Sejahtera yang beroperasi di WPP 718 dalam surat yang dilayangkan ke Menteri Kelautan dan Perikanan, pertengahan April 2024, menyampaikan dugaan RZ 05 singgah di Pelabuhan Ambon. Akhir Februari 2024, kapal yang identik dengan RZ 05 juga terlihat di perairan timur Pulau Penambulai, salah satu pulau terluar di Kepulauan Maluku.
Dikutip dari vesselfinder.com, kapal RZ 05 dan RZ 03 tercatat memiliki bobot 870 GT. Mengutip marinetraffic.com, kapal RZ 05 tercatat pernah berada di Laut Banda pada Februari 2024.
Manajer Human Right Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Miftahul Choir mengemukakan, pada kedua kapal asing tersebut ditengarai masih terdapat puluhan ABK Indonesia. Pihaknya mendesak KKP dan TNI AL melakukan sinergi dan pengejaran kepada kapal asing RZ 03 dan RZ 05.
Kami menduga adanya pihak tertentu yang melindungi dan memberikan akses kepada kapal asing sehingga mereka berani beroperasi dan bekerjasama dengan perikanan dalam negeri
DFW juga meminta KKP untuk melakukan inspeksi kepada kapal ikan MUS yang mungkin terindikasi memuat BBM bersubsidi, kemudian memperdagangkan, termasuk melakukan pemeriksaan secara reguler kepada kondisi kerja dan kelengkapan kerja awak kapal perikanan.
”Aparat penegak hukum perlu melakukan upaya penegakan hukum yang serius dengan mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana perikanan, seperti alih muatan ikan, perdagangan BBM subsidi secara ilegal dan perbudakan, yang memakan korban warga negara Indonesia,” ujar Miftahul.
Miftah menambahkan, pihaknya meyakini rangkaian kejahatan perikanan ini tidak terlepas dari praktik korupsi yang lebih sistematis. Kapal RZ 03 dan Rz 05 sudah dilacak dan dikejar oleh PSDKP sejak awal Maret 2023. Tahun 2023, juga ada kasus serupa oleh RZ di Sukabumi.
Kapal RZ 03 dan RZ 05 ditenggarai sempat menghindari aparat dan lari ke perairan Papua Niuguni. Awal Maret 2024, dua kapal asing ilegal itu mendekat dan masuk lagi ke Arafura, serta berinteraksi dngan kapal Indonesia untuk menjual ikan, membeli BBM, dan mencari anak buah kapal.
"Kami menduga adanya pihak tertentu yang melindungi dan memberikan akses kepada kapal asing sehingga mereka berani beroperasi dan bekerjasama dengan perikanan dalam negeri," katanya.
Ancaman pangan
Penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing), yang juga dikategorikan sebagai kejahatan transnasional terorganisasi, telah menjadi pemicu utama dari terkurasnya sumber daya laut yang mengancam ketahanan pangan dunia. Praktik itu juga memukul rasa keadilan bagi pelaku usaha perikanan yang selama ini patuh regulasi.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) mencatat, produksi ikan dari hasil penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing) mencapai 26 juta ton setiap tahun. Nilai ikan yang ditangkap dengan metode IUU Fishing diperkirakan 10 miliar dollar AS-23 miliar dollar AS. Praktik IUU Fishing terjadi di laut lepas ataupun laut teritorial negara, yang berdampak buruk pada masyarakat pesisir.
Beberapa bentuk IUU Fishing antara lain penangkapan ikan tanpa izin, pelanggaran batas wilayah tangkapan, penangkapan ikan berlebih, dan penggunaan alat tangkap ikan yang terlarang dan merusak ekosistem. Kejahatan perikanan itu juga kerap bersinggungan dengan praktik perbudakan modern (kerja paksa) dan pelanggaran hak asasi manusia.
Baca juga: Perbudakan di Kapal Ikan Asing
Pada Desember 2023 organisasi independen Global Initiative Against Transnational Organized Crime (ATOC) dan Lembaga Riset Perikanan dan Lingkungan Kelautan Poseidon menerbitkan laporan Indeks Risiko IUU Fishing. Dalam laporan itu, Indonesia menempati urutan ke-6 negara berkinerja terburuk dari 152 negara dengan kerentanan IUU Fishing. Kinerja terburuk itu di bawah China, Rusia, Yaman, India, dan Iran.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, dalam Ministerial Lecture di Universitas Gadjah Mada pada 6 Maret 2024, mengungkapkan, praktik IUU Fishing dan penangkapan ikan berlebih (overfishing) masih menjadi tantangan di sektor kelautan dan perikanan. Trenggono menyinyalir estimasi kerugian akibat praktik perikanan ilegal di Indonesia mencapai nilai 4 miliar dollar AS per tahun.