Menebak Si Paling Monster dalam ”Monster”
Film ”Monster” karya Hirokazu Kore-eda yang tayang pada 2 Juni 2023 kini dapat dinikmati di bioskop Tanah Air.
Si paling benar. Istilah ini kerap wara-wiri ketika menemukan warganet yang enteng menilai tindakan seseorang tanpa paham latar belakang masalah. Tak hanya di dunia maya, mereka si paling benar ini juga lihai bertahan di dunia nyata.
”Apa bisa otak manusia diganti menjadi otak babi?” tanya Minato (Soya Kurokawa), anak laki-laki berusia 11 tahun, kepada ibunya, Saori (Sakura Ando), seorang janda.
Pertanyaan yang diajukan seusai anak dan ibu menyaksikan peristiwa kebakaran di gedung yang tak jauh dari rumah mereka ini menjadi pembuka film Monster (2023). Kebakaran yang rupanya dipicu seorang anak kecil, Yori (Hinata Hiiragi), karena kesal terhadap ayahnya. Film produksi Jepang ini ditulis Yuji Sakamoto dan disutradarai Hirokazu Kore-eda dan tengah tayang di bioskop Tanah Air.
Berawal dari pertanyaan Minato yang disangka hanya gurauan oleh Saori, cerita bergulir pelan, pekat, dan mendayu dilatari musik karya terakhir Ryuichi Sakamoto. Mengadopsi efek Rashomon yang dimunculkan pada film Jepang tahun 1950 yang juga berjudul Monster, Kore-eda dan Sakamato menyuguhkan kepelikan dalam suatu peristiwa dari beberapa sudut pandang. Hasil akhirnya justru menampar siapa pun yang menonton.
Baca juga: Nyawa Dunia di Tangan Ghibli
Penjelasan mengenai Rashomon sendiri diartikan fenomena ketiadaan saksi mata yang valid sehingga ada beberapa perspektif dari satu peristiwa. Pertanyaan Minato berujung pada dugaan perundungan oleh Pak Hori, guru kelasnya (Eita Nagayama). Saori menuntut keadilan dan pertanggungjawaban pada pihak sekolah.
Bukan tanpa sebab, Saori berang karena dari hari ke hari ada hal yang janggal pada putranya. Dari tiba-tiba memangkas rambutnya serampangan, telinga yang berdarah, pulang sekolah dengan sepatu sebelah, pergi ke hutan dan terowongan gelap lepas senja, hingga melompat dari mobil ketika melaju. Minato mengungkapkan, sebagian lukanya disebabkan Pak Hori. Istilah otak babi pun didapatnya dari Pak Hori, yang menyebutnya demikian.
”Orangtua sekarang itu seperti monster,” ucap sesama guru, rekan Pak Hori, setelah mengetahui Saori menyewa pengacara untuk mengusut persoalan perundungan ini.
Tak lama, sudut pandang beralih pada Pak Hori. Ia hanya guru biasa saja yang justru menjaga agar tak ada anak muridnya yang dirundung. Bahkan, ia digambarkan ramah pada tiap murid serta rajin menyapa dan berbincang dengan tiap murid sebelum masuk kelas. Ia juga berupaya menyelamatkan Minato yang saat itu hendak melompat dari atap sekolah.
Masuk pada versi ketiga yang berfokus pada Minato dan Yori, teman sekelas yang belakangan diam-diam bersahabat dan digambarkan memiliki hubungan rumit untuk seusianya. Mereka memiliki tempat persembunyian di dekat terowongan gelap yang mereka hias dengan karya mereka.
Identifikasi monster tercetus juga dari keduanya. ”Big crunch”, begitu mereka menyebut langkah besar layaknya monster. Mereka mempertanyakan pula apa yang terjadi jika bumi meledak dan kiamat? Akankah terlahir kembali atau waktu bisa diulang kembali? Dengan demikian, mereka tak perlu menanggung beban akibat perilaku orang dewasa yang kadang layaknya monster.
Bagaimana tidak? Orang dewasa yang mengaku lebih tua, lebih berpendidikan, dan lebih bijak justru sering tersandung bertingkah kekanak-kanakan dan kesulitan meregulasi emosi. Kata-kata menyakitkan, asumsi negatif, menghakimi orang, hingga nirempati tanpa mau mencermati suatu hal dari banyak sisi malah identik dengan orang dewasa.
Anak-anak diharapkan mempunyai laku baik dan diajarkan sedemikian rupa agar menjadi pribadi unggul, tapi apa mungkin jika contohnya saja justru kontradiktif?
Baca juga: Sengat Mematikan Balas Dendam The Beekeeper
Khas
Meski tak banyak terlibat dalam penulisannya, Kore-eda tetap berupaya menggapai dan menonjolkan kekhasannya. Film ini kemudian memperoleh Queer Palm dan Best Screenplay di Festival Film Cannes ke-76 tahun lalu. Sebelumnya, pada 2013, Kore-eda memperoleh Jury Prize di Cannes untuk film Like Father, Like Son (2013). Di 2018, film Shoplifters (2018) miliknya membawa pulang Palme D’Or.
Jika ditelusuri dari film ke film, Kore-eda memang doyan mengobrak-abrik pemikiran dan nurani pemirsanya. Di Shoplifters, misalnya, bukannya kesal, penonton pasti jatuh hati pada kumpulan orang yang mengaku keluarga, tapi hobi mengutil. Keadaan memaksa mereka mencuri untuk bertahan hidup.
Begitu pula dalam Like Father, Like Son yang bercerita tentang anak yang tertukar. Ada pula film Korea buatannya, Broker (2022), tentang penjaga laundry yang menjual bayi secara ilegal dengan alasan menjadi perantara kebahagiaan bagi yang membutuhkan. Pertentangan nilai ini rutin dihadirkan. Dalam Monster juga demikian.
Dari sinopsis dan sudut pandang awal, opini yang timbul pasti terbawa pada kasus perundungan. Terlebih lagi, kasus perundungan atau ijime di Jepang ini terus meningkat. Pada 2019, merujuk data Kementerian Pendidikan Jepang, hampir 610.000 kasus perundungan tersebar di sejumlah prefektur.
Sekolah dan guru juga dikenal pasif menangani hal ini. Sebab, pengakuan terjadi tindak perundungan ini mengakibatkan menurunnya reputasi guru dan sekolah. Karena itu, umumnya mereka memilih untuk diam dan pasif. Familiar dengan adegan Saori ketika berjumpa kepala sekolah Minato, Bu Fushimi (Yuko Tanaka), yang pasif.
Namun, perspektif Pak Hiro dan rekannya juga tak salah. Kondisi orangtua yang banyak menekan nyatanya menjadi beban tersendiri bagi guru yang berpenghasilan rendah dengan jam kerja padat. Bahkan, data di Jepang, sekitar 5.000 guru banyak yang cuti sakit karena berkaitan dengan kesehatan mental.
Sementara itu, Minato dan Yori adalah dua anak yang tengah mencecap hidup di masa praremaja yang rumit. Alih-alih memperoleh rangkulan dari orang terdekat, seperti orangtua, keduanya harus dihadapkan pada orangtua tunggal yang sibuk bekerja.
Saori sebenarnya cukup perhatian sebagai seorang ibu, tapi ada ikatan yang sedikit kendur karena Saori terlampau protektif karena takut kehilangan pascakematian suaminya. Ayah Yori diketahui sering berlaku kasar. Di sekolah, keduanya cukup terganggu dengan perundungan teman sebaya.
Lalu, siapa monsternya di sini, Saori, Minato, Pak Hori, Yori, ayah Yori, atau Fushimi? Atau jangan-jangan justru kita sendiri monsternya, yang cukup puas hanya percaya pada satu sisi lalu asyik menghakimi?