WHO Peringatkan Peningkatan Demam Berdarah Seiring Pemanasan Global
Organisasi Kesehatan Dunia memperingatkan, penyebaran demam berdarah dan penyakit lain yang ditularkan oleh nyamuk semakin meluas seiring dengan pemanasan global. Fenomena ini juga ditemukan di Indonesia.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim menyebabkan demam berdarah dan penyakit lain yang disebabkan oleh arbovirus dan ditularkan oleh nyamuk menyebar jauh lebih cepat dan lebih luas. Peringatan ini dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia terkait dengan ancaman wabah global seiring dengan terus memanasnya suhu Bumi.
”Perubahan iklim memainkan peran penting dalam memfasilitasi penyebaran vektor nyamuk,” kata Raman Velayudhan, koordinator inisiatif demam berdarah dan arbovirus WHO, dalam keterangan pers, Rabu (5/4/2023).
Para ahli badan kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa ini memperingatkan bahwa saat ini telah terjadi tren peningkatan jumlah kasus demam berdarah dan chikungunya dan memperingatkan potensi epidemi baru zika. Ketiga penyakit ini disebabkan oleh arbovirus yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti, yang telah menyebar ke sejumlah kawasan baru akibat Bumi yang menghangat.
Menurut Velayudhan, sejauh ini demam berdarah telah beredar di 129 negara, selain 100 negara yang menjadi endemik penyakit ini. Jumlah kasus juga telah tumbuh secara eksponensial dalam beberapa tahun terakhir, melonjak dari sekitar setengah juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 5,2 juta pada tahun 2019, tahun terburuk dalam catatan.
Selama pandemi Covid-19, kasus demam berdarah tidak tercatat dengan baik. Meski demikian, Velayudhan meyakini bahwa jumlahnya tetap tinggi.
Diana Rojas Alvarez, pimpinan teknis WHO untuk chikungunya dan zika, menekankan perlunya tindakan segera untuk mengendalikan penyebaran nyamuk, di tengah kekhawatiran wabah yang lebih besar di daerah baru. Untuk chikungunya, hingga saat ini telah dilaporkan di 115 negara sejak penemuan pertama tahun 1950.
Lonjakan dramatis penyebaran chikungunya terutama terjadi di Amerika. Sepanjang tahun ini, sekitar 135.000 kasus telah dilaporkan di negeri ini dibandingkan dengan 50.000 kasus yang dilaporkan selama paruh pertama tahun 2022.
Menurut para ahli WHO, penyebaran geografis penyakit demam berdarah dan chikungunya saat ini semakin jauh ke selatan di Amerika dan juga menyebar ke belahan bumi utara, termasuk sejumlah negara Eropa.
”Nyamuk dan penyakit ini telah meningkat seiring dengan perubahan iklim... berdasarkan ketinggian dan garis lintang,” kata Rojas. Ia menggambarkan situasinya sebagai ”mengkhawatirkan”. Penularan yang tinggi ini (di Amerika) bisa menjadi ancaman, terutama di musim panas mendatang di belahan bumi utara.
Penyakit demam berdarah sering kali hanya menimbulkan gejala ringan, seperti demam, nyeri tubuh, dan ruam, tetapi bisa juga berdampak fatal jika terlambat ditangani. Risiko keparahan terutama bisa dialami orang yang terinfeksi ulang oleh serotipe lain dari virus demam berdarah ini.
Penyakit demam berdarah sering kali hanya menimbulkan gejala ringan, seperti demam, nyeri tubuh, dan ruam, tetapi bisa juga berdampak fatal jika terlambat ditangani.
”Ini dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian,” kata Velayudhan. Ia menambahkan bahwa penyakit ini menjadi ancaman besar bagi dunia karena sebagian besar negara sekarang memiliki keempat serotipe yang beredar.
Sementara kebanyakan orang yang terkena chikungunya mengalami gejala selama sekitar satu minggu dan 40 persen akan merasakan efeknya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan kondisi seperti ini, dia menyerukan negara-negara untuk meningkatkan pengendalian nyamuk dan ”waspada” untuk mendeteksi kapan penyakit itu menyebar.
Kondisi di Indonesia
Penyebaran demam berdarah di daerah-daerah dataran tinggi dan beriklim sejuk juga telah dilaporkan di Indonesia.Hal ini menunjukkan meluasnya penyebaran penyakit ini ke area-area baru yang selama ini relatif aman karena meluasnya peredaran nyamuk seiring dengan peningkatan suhu.
Penelitian yang dilakukan Sukmal Fahri yang dipublikasikan di jurnal Plos Neglected Tropical Desease (2013), misalnya, menemukan keberadaan virus dengue pemicu demam berdarah di dataran Jawa Tengah dengan ketinggian 1.001 meter dari permukaan laut.