Lubang korona sebesar 60 kali diameter Bumi terbentuk di Matahari. Lubang itu memicu aliran angin Matahari yang menimbulkan badai geomagnetik di Bumi. Badai itu bisa memunculkan aurora dan gangguan teknologi manusia.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Sebuah celah gelap raksasa berukuran sekitar 60 kali ukuran Bumi terbentuk di khatulistiwa Matahari awal Desember 2023. Celah sementara yang dinamai lubang korona tersebut memuntahkan angin Matahari supercepat yang mengarah ke Bumi. Dalam beberapa hari ke depan, angin Matahari itu akan memicu badai geomagnetik dengan kekuatan moderat di Bumi.
Sebuah lubang korona terbentuk di dekat khatulistiwa Matahari pada Sabtu (2/12/2023). Lebar maksimum lubang tersebut, seperti dikutip dari Livescience, Selasa (5/12/2023), diperkirakan bisa mencapai 800.000 kilometer (km) dalam 24 jam. Jika diameter di bagian khatulistiwa Bumi mencapai 12.742 km, maka celah raksasa itu setara dengan 63 kali diameter Bumi.
Kehadiran lubang korona ebesar itu belum pernah diprediksi sebelumnya. Terakhir kali, lubang korona muncul pada Maret 2023 lalu dan memicu terjadinya badai geomagnet paling kuat yang menghantam Bumi selama enam tahun terakhir.
Lubang korona terbentuk saat medan magnet yang melingkupi Matahari tiba-tiba terbuka sehingga memuntahkan materinya ke permukaan Matahari. Daerah ini memiliki medan magnet unipolar alias mempunyai banyak kutub magnet yang terbuka.
Muntahan materi dari lubang korona itu membentuk aliran partikel bermuatan yang disebut angin Matahari. Struktur garis medan magnet yang terbuka itu membuat angin Matahari mudah lepas ke luar angkasa dengan aliran yang relatif cepat.
Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) menyebut kecepatan aliran radiasi dari lubang korona itu jauh lebih cepat dibandingkan angin Matahari biasa. Jika aliran angin Matahari yang normal saja bisa memicu gangguan pada perisai geomagnet Bumi, maka lubang korona hampir bisa dipastikan akan memicu badai geomagnet di Bumi.
Lubang korona terlihat sebagai bercak gelap di permukaan Matahari karena temperaturnya lebih dingin dibandingkan suhu di sekitarnya. Wilayah ini juga memiliki kerapatan plasma yang lebih rendah daripada sekelilingnya.
Sejatinya, lubang korona dapat terbentuk di mana saja di permukaan Matahari. Namun, tempat yang paling sering memunculkan lubang korona adalah di dekat kutub utara dan kutub selatan Matahari. Lubang di sekitar kutub itu bisa meluas atau terpecah dan merambah ke wilayah lain di Matahari yang memiliki lintang lebih rendah.
Ketampakan lubang korona itu memang mirip dengan karakter bintik Matahari alias sunspot. Bedanya, lubang korona tidak akan terlihat jika tidak diamati dalam panjang gelombang ultraviolet, sedang bintik Matahari bisa diamati dalam panjang gelombang visual.
Selain itu, bintik Matahari umumnya terlihat ketika aktivitas Matahari mendekati maksimum, sedangkan lubang korona justru sering kali muncul dan bertahan lama saat aktivitas Matahari mendekati minimum.
Karena itu, peneliti Matahari masih belum tahu kenapa lubang korona raksasa itu terbentuk di sekitar khatulistiwa dan saat aktivitas Matahari akan mencapai puncaknya tahun depan.
Badai geomagnetik
Lubang korona superbesar yang terbentuk pada Sabtu (2/12/2023) itu mengarah langsung ke Bumi sejak Senin (4/12/2023). Lubang korona tersebut bisa memicu badai geomagnetik moderat atau kelas G2 di Bumi. Meski moderat, badai geomagnetik itu sudah bisa memicu gangguan sinyal radio dan terjadinya aurora di sejumlah daerah di dekat kutub hingga beberapa hari ke depan.
Namun, pantauan Space Weather menunjukkan, angin Matahari yang datang ternyata tidak sekuat perkiraan. Badai geomagnetik yang terjadi diperkirakan hanya berada pada kelas G1 atau kelas rendah. Pada kelas ini, badai geomagnetik belum akan mengganggu sistem telekomunikasi radio, tetapi sudah bisa memunculkan aurora di daerah lintang tinggi dan mengganggu migrasi burung.
Belum jelas berapa lama lubang korona raksasa itu akan berada di Matahari. Namun, pada masa lalu, lanjut NOAA, lubang korona bisa bertahan selama satu periode rotasi Matahari atau 27 hari. Akan tetapi, arah lubang tersebut akan segera menjauh dari Bumi seiring perputaran atau rotasi Matahari sehingga Bumi bisa sedikit aman dari embusan angin Matahari.
Lubang korona superbesar yang terbentuk pada Sabtu (2/12/2023) itu mengarah langsung ke Bumi sejak Senin (4/12/2023). Lubang korona tersebut bisa memicu badai geomagnetik moderat atau kelas G2 di Bumi.
Sepanjang 2023 ini, aktivitas Matahari memang sedang meningkat. Siklus 11 tahunan aktivitas Matahari ini diperkirakan akan mencapai maksimum atau puncak pada 2024, maju setahun dibandingkan prediksi sebelumnya. Namun, lubang korona raksasa yang baru terbentuk ini seharusnya tidak memiliki kaitan dengan peningkatan aktivitas Matahari.
Peningkatan aktivitas Matahari itu ditandai makin seringnya muncul bintik Matahari yang meningkatkan potensi badai geomagnetik di Bumi. Seperti yang terjadi pada 18 November 2023, lima sunspot secara bersamaan membentuk kepulauan bintik Matahari berukuran amat besar di sisi Matahari yang menghadap Bumi. Dari kumpulan bintik Matahari itu muncul lusinan badai Matahari ke luar angkasa yang beberapa di antaranya juga menghantam Bumi.
Tak hanya itu, pada 25 November 2023 terdeteksi ledakan dari lubang yang mirip lembah, juga di dekat ekuator Matahari. Ledakan itu melepaskan lontaran massa korona alias coronal mass ejection (CME), awan plasma yang memiliki medan magnet kuat dan bergerak cepat. Akhirnya, CME ini menghantam Bumi dan memicu terjadinya aurora oranye yang langka di sekitar kutub utara Bumi.
Sementara pada 28 November 2023 juga muncul flare alias suar Matahari yang melesat meninggalkan Matahari. Suar kelas X atau kelas tertinggi ini juga melahirkan CME yang menghantam Bumi dan memicu terjadinya badai geomagnetik. Badai ini memicu munculnya aurora pada daerah yang cukup jauh dari kutub selama akhir pekan lalu.
Berbagai fenomena yang menandakan meningkatnya aktivitas Matahari itu masih akan terus berlanjut setidaknya hingga 2024 mendatang. Bahkan, puncak peningkatan ledakan di Matahari itu sudah akan mulai terjadi sejak awal tahun.
Bagi Anda turis yang tertarik melihat aurora, saat ini merupakan kesempatan terbaik. Selain aktivitas Matahari terus meningkat, Bumi utara juga sedang mengalami musim dingin dengan malam yang panjang sehingga meningkatkan potensi terlihatnya aurora. Semakin ke utara lokasi yang Anda pilih, makin besar potensi Anda melihat aurora.
Namun, kondisi ini juga menimbulkan kewaspadaan bagi industri antariksa. Pengelola satelit harus rajin memantau kondisi cuaca antariksa dan siap memanuver satelitnya agar terhindar dari kerusakan akibat tumbukan partikel energetik tersebut.
Badai geomagnetik juga pernah membuat 40 satelit dari 49 satelit Starlink milik bos SpaceX, Elon Musk, yang diluncurkan pada Februari 2022 gagal mencapai orbit dan jatuh kembali ke Bumi. Radiasi elektromagnet yang dimiliki angin Matahari mampu mengubah kerapatan dan temperatur atmosfer hingga memengaruhi kinerja dan masa guna satelit.
Kewaspadaan tinggi juga diperlukan pengelola pembangkit dan jaringan listrik negara-negara di dekat kutub. Badai geomagnetik pernah membakar sejumlah trafo listrik hingga menyebabkan padamnya aliran listrik di seluruh Quebec, Kanada, pada 1989 dan Swedia pada 2003.
Manusia yang ada di permukaan Bumi aman dari dampak badai geomagnetik ini. Bumi dilindungi selubung medan magnet yang menjaga semua penduduk Bumi dari pancaran partikel bermuatan dari Matahari. Namun, antariksawan yang tengah bertugas di stasiun luar angkasa perlu lebih hati-hati. Saat badai geomagnetik melanda, mereka umumnya tidak akan melakukan space walk alias beraktivitas di luar wahana terlebih dahulu.
Meski demikian, lubang korona, bintik Matahari, angin Matahari, dan badai geomagnetik itu mengajarkan kepada manusia bahwa di setiap keindahan yang menawan, ada ancaman bahaya yang menyertainya. Demikian pula sebaliknya. Karena itu, penting bagi manusia untuk tidak mudah menyerah serta tetap sadar dan waspada dalam segala suasana.