Sebanyak 869,10 Persen Kasus Bunuh Diri di Indonesia Tidak Terlaporkan
Sebanyak 859,10 persen kasus bunuh diri di Indonesia tidak terlaporkan. Tingginya stigma dan diskriminasi jadi penyebab.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Tulisan berikut tidak dimaksudkan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Jika Anda merasa depresi dan mulai berpikir untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke tenaga profesional, seperti psikolog atau psikiater. Meminta pertolongan mereka bukan berarti Anda lemah.
JAKARTA, KOMPAS — Data yang akurat amat penting dalam upaya pencegahan bunuh diri. Namun, ketersediaan dan kualitas data bunuh diri di Indonesia masih menjadi kendala sehingga penanganan dan pencegahan bunuh diri di masyarakat menjadi tidak optimal,
Dalam jurnal terbaru yang diterbitkan di The Lance Regional Health-Southeast Asia pada 26 Februari 2024 disampaikan, sebanyak 859,10 persen kasus bunuh diri di Indonesia tidak terlaporkan (underreporting). Jurnal tersebut ditulis oleh Sandersan Onie, dkk. dengan judul ”Profil Statistik Bunuh Diri Pertama di Indonesia: Analisis Tingkat Bunuh Diri dan Upaya Percobaan Bunuh Diri, Pelaporan yang Tidak Memadai, Distribusi Geografis, Gender, Metode, dan Pedesaan”.
Setidaknya ada lima sumber data yang digunakan dalam penelitian tersebut, yakni data dari catatan Polri, pencatatan kematian dari Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Survei Potensi Desa, Studi Sistem Registrasi Sampel (SRS) Indonesia, serta data Global Health Observatory (GHO) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dari hasil analisis terhadap perbandingan data pada 2016-2018 ditemukan sebanyak 859,10 persen kasus bunuh diri tidak terlaporkan. Hal tersebut dapat mencerminkan kurangnya pelaporan kasus bunuh diri, baik karena adanya dorongan keluarga agar kasus bunuh diri tidak dilaporkan maupun tidak dilakukan penyelidikan lebih lanjut oleh polisi terkait bunuh diri.
Peneliti menyampaikan, kasus yang tidak dilaporkan bisa lebih besar dari hasil analisis yang ditemukan. Itu karena metode lain yang bisa digunakan untuk menilai kasus yang tidak terlaporkan belum dilakukan secara optimal, seperti menganalisis ulang kasus kematian yang penyebabnya tidak diketahui.
Studi tersebut juga memperlihatkan provinsi-provinsi dengan kasus bunuh diri terbesar. Lima provinsi dengan kasus bunuh diri terbesar, yakni Bali, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah. Kelima provinsi tersebut memiliki kondisi yang berbeda, baik dari budaya, etnis, tingkat perekonomian, maupun mayoritas agama. Itu sebabnya, investigasi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi pola mendasar dari fenomena bunuh diri di wilayah-wilayah tersebut.
Dari hasil analisis terhadap perbandingan data pada 2016-2018 ditemukan sebanyak 859,10 persen kasus bunuh diri tidak terlaporkan. Hal tersebut dapat mencerminkan kurangnya pelaporan kasus bunuh diri.
Akan tetapi, penelitian tersebut memberikan fokus tersendiri pada wilayah DI Yogyakarta. Di wilayah tersebut, Kabupaten Gunungkidul bahkan dikenal dengan tingkat bunuh diri yang tinggi. Unsur budaya yang kental di daerah tersebut dapat menjadi salah satu pemicunya. Di Gunungkidul terdapat kepercayaan lokal yang disebut pulung gantung.
Pulung gantung dipercaya sebagai fenomena adanya roh api yang melayang-layang di atas rumah warga. Ketika fenomena tersebut terjadi, itu menandakan ada salah satu dari anggota keluarga tersebut yang akan meninggal karena gantung diri.
”Statistik bunuh diri di DI Yogyakarta menunjukkan bahwa unsur-unsur budaya ini tidak dapat diabaikan. Di Bali dan Jawa Tengah juga memiliki kepercayaan mistis yang kuat sehingga keyakinan mistis tersebut perlu menjadi elemen inti dalam edukasi dan upaya pencegahan bunuh diri di Indonesia,” tulis peneliti.
Perdesaan
Dalam penelitian diungkapkan pula bahwa kasus bunuh diri di Indonesia jauh lebih besar ditemukan di perdesaan dengan perbandingan antara kota dan perdesaan 1:4,47. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan tingginya angka bunuh diri di perdesaan, yakni tingkat religiositas yang tinggi di perdesaan yang menyebabkan stigma yang lebih tinggi, rendahnya kesadaran untuk mencari pertolongan, dan akses yang lebih mudah pada sarana bunuh diri di perdesaan seperti pestisida dan tali.
Faktor lainnya bisa juga karena kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Minimnya jumlah tenaga ahli seperti psikolog dan psikiater yang di Indonesia menyebabkan akses pada layanan kesehatan jiwa yang terbatas tidak hanya terjadi di perdesaan, tetapi juga perkotaan.
Meski begitu, faktor-faktor budaya yang unik di perdesaan, seperti yang terjadi di Gunung Kidul juga turut menyebabkan kasus bunuh diri yang lebih banyak terjadi di perdesaan. Di sejumlah wilayah perdesaan pun masih ada yang memercayai bahwa gangguan kesehatan jiwa terkait dengan kehadiran jin atau hantu yang akhirnya ditangani dengan pendekatan agama. Selain itu, praktik pasung juga masih kerap ditemui di wilayah perdesaan.
”Keyakinan dan perilaku yang buruk terhadap individu dengan gangguan jiwa dapat berpengaruh dengan kejadian bunuh diri. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskannya,” tulis peneliti.
Stigma
Peneliti Kedokteran Komunitas yang juga inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa, Ray Wagiu Basrowi, menilai, tingginya kasus bunuh diri yang tidak terlaporkan paling besar disebabkan karena besarnya stigma dan diskriminasi di masyarakat. Hal tersebut menyebabkan orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa ragu untuk mencari bantuan sehingga tidak segera diatasi.
Padahal, ketika seseorang mengalami gejala gangguan kesehatan jiwa seperti cemas dan depresi, maka ia akan berisiko melakukan bunuh diri jika tidak segera diatasi. Stigma itu pula yang membuat kasus kematian akibat bunuh diri juga tidak dilaporkan oleh anggota keluarga.
”Stigma itu juga membuat orang lebih cenderung melakukan self diagnosis. Padahal, self diagnosis tidak terekam sehingga tidak bisa dilaporkan. Karena itu, inisiasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan untuk memasifkan skrining gangguan jiwa berbasis komunitas di puskesmas dan posyandu harus diimplementasikan secara luas. Bisa juga dengan telemedisin sehingga hasil penapisan tetap terekam,” kata Ray.