Shiva dan Shakti, Dua Kelompok Aliran Bintang Kuno Pembentuk Galaksi Bimasakti
Galaksi Bimasakti terbentuk dari 2 aliran bintang kuno, Shiva dan Shakti, yang jadi bintang generasi pertama Bimasakti.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Seiring berakhirnya musim hujan dan datangnya musim pancaroba di sejumlah wilayah, galaksi Bimasakti pun bisa lebih mudah diamati di langit malam. Kumpulan bintang yang tampak laksana kabut dan menjulang dari horizon ke langit itu dulunya berasal dari dua kelompok aliran bintang berbeda, yaitu Shiva dan Shakti.
Struktur kuno galaksi Bimasakti yang dibentuk oleh aliran bintang Shiva dan Shakti itu diketahui dari pelacakan pergerakan miliaran bintang di Bimasakti menggunakan teleskop luar angkasa Gaia. Kedua aliran bintang kuno itu, Shiva dan Shakti, diperkirakan sudah ada sejak 12 miliar tahun lalu atau kurang dari 2 miliar tahun setelah dentuman besar alias big bang.
Bahkan, jalinan aliran bintang kuno itu diperkirakan sudah terbentuk jauh sebelum piringan dan lengan spiral galaksi Bimasakti terbentuk. ”Struktur Bimasakti telah berubah drastis sejak munculnya bintang-bintang yang baru lahir,” kata ketua tim peneliti dari Institut untuk Astronomi Max Planck (MPIA) Jerman, Khyati Malhan, seperti dikutip Space, Jumat (22/3/2024).
Nama Shiva dan Shakti diambil dari mitologi Hindu yang merujuk pada nama dua dewa yang bersatu untuk membentuk alam semesta. Penamaan ini dianggap sesuai karena aliran kedua bintang kuno itu jadi membentuk struktur dasar galaksi Bimasakti hingga membuat galaksi berisikan sekitar 100 miliar bintang itu terlihat seperti sekarang.
Di Indonesia, Shiva disebut sebagai Siwa. Dalam kitab sastra Jawa kuno Brahmandapurana, sosok Siwa juga disebut sebagai Bima. Di masa Hindu-Buddha, Bima sebagai tokoh pewayangan itu dikultuskan dan dijadikan simbol kesuburan dan maskulinitas.
Meski demikian, penamaan galaksi Bimasakti di Indonesia bukan berasal dari nama kedua dewa tersebut. Struktur galaksi Bimasakti terlihat seperti kabut putih melintasi langit dan diselingi alur hitam di tengahnya. Kabut putih yang sejatinya berupa bintang-bintang itu terentang di langit selatan dari ufuk hingga meridian atau langit bagian atas.
Di masa lalu, menurut peneliti etnoastronomi yang juga pembina Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, Widya Sawitar (2016), masyarakat Jawa mengesani kabut putih itu sebagai Bima dan alur hitam itu sebagai ular naga yang melilit Bima dalam kisah pewayangan Bima Suci. Pertarungan keduanya dimenangi oleh Bima sehingga ia dikenal sebagai sosok yang sakti.
Evolusi bintang
Penemuan struktur dasar galaksi Bimasakti itu merupakan kelanjutan dari proyek arkeologi galaksi dengan menggunakan teleskop luar angkasa milik Badan Antariksa Eropa (ESA) Gaia. Pada 2022, Gaia mempelajari bagian dalam Bimasakti dan menemukan banyak bintang paling tua di Bimasakti.
Bintang-bintang kuno itu terdistribusi merata di dalam bagian atau fragmen bintang yang berbeda. Meski demikian, kedua kelompok bintang kuno itu menyatu dengan ”bayi” galaksi Bimasakti, fase awal evolusi Bimasakti yang berlangsung jauh sebelum Bimasakti memiliki lengan spiral seperti saat ini.
Kedua fragmen protogalaksi itu, Shiva dan Shakti, terletak di dekat ”jantung” Bimasakti. Kedua kelompok bintang itu, seperti yang dipublikasikan di Astrophysical Journal, 21 Maret 2024, juga memiliki lintasan orbit yang sama di dekat inti galaksi Bimasakti. Setiap kelompok aliran bintang itu memiliki massa sekitar 10 juta kali massa Matahari dan bintang-bintangnya berumur 12 miliar-13 miliar tahun.
Bintang-bintang di jantung galaksi Bimasakti itu miskin logam.
Bintang-bintang pertama yang terbentuk di Bimasakti itu lahir saat alam semesta masih dipenuhi oleh hidrogen dan helium. Unsur logam yang ada saat itu masih sangat terbatas. Namun, proses pembakaran materi di dalam bintang melalui reaksi fusi nuklir telah mengubah hidrogen tersebut menjadi helium dan menggabungkan helium dengan unsur-unsur yang lebih berat sehingga membentuk unsur logam.
Namun, saat bintang-bintang generasi pertama itu mati dan meledak menjadi supernova, berbagai unsur itu tersebar ke berbagai penjuru antariksa. Debu-debu sisa supernova yang kaya logam itu akhirnya membentuk bintang-bintang generasi kedua di Bimasakti yang lebih kaya logam dibandingkan bintang generasi pertama.
Proses evolusi bintang ini, dari lahir, berkembang, mati, lahir kembali, hingga terus mengulang siklus kehidupan bintang itu, membuat astronom bisa menentukan usia bintang berdasarkan kandungan logam yang teramati.
”Bintang-bintang di jantung galaksi Bimasakti itu miskin logam sehingga kami menyebut wilayah di dekat inti Bimasakti itu sebagai ’poor old heart’ (inti galaksi yang berisi bintang tua dan miskin logam),” kata peneliti MPIA lainnya yang juga dikenal sebagai arkeolog galaksi, Hans-Walter Rix.
Meski antara Shiva dan Shakti memiliki banyak kesamaan, kedua aliran bintang kuno itu memiliki perbedaan mendasar. Dibandingkan bintang-bintang yang ada di kelompok Shiva, bintang-bintang yang membentuk Shakti terletak lebih jauh dari jantung Bimasakti dan memiliki orbit yang lebih melingkar.
Meski demikian, temuan tentang aliran bintang kuno ini belum menjawab semua pertanyaan ilmuwan tentang ”bayi” galaksi Bimasakti. Karena itu, dari data yang dikumpulkan Gaia, peneliti terus berusaha membangun pohon keluarga Bimasakti agar bisa memberi gambaran lebih mendalam tentang cikal bakal Bimasakti.
”Salah satu tujuan utama Gaia adalah mengungkap lebih banyak tentang pertumbuhan galaksi Bimasakti,” kata peneliti proyek Gaia ESA, Timo Prusti. Peneliti perlu lebih banyak mengungkap perbedaan halus dan penting antara bintang-bintang di Bimasakti untuk lebih memahami bagaimana galaksi kita ini terbentuk dan berevolusi.
Pengetahuan tentang asal-usul Bimasakti ini tidak hanya membuat manusia lebih memahami rumah besarnya setelah Bumi dan Tata Surya, tetapi juga membantu manusia memahami bagaimana alam semestanya berevolusi.
Upaya memahami sejarah kosmik itu telah menjadi ikhtiar manusia sejak manusia mulai berpikir dan membangun peradabannya. Dengan memahami lingkungan sekitarnya, termasuk langit yang menaunginya, manusia bisa lebih memahami eksistensi dan jati dirinya di semesta.