Kajian Sastra Horor Berpeluang Besar Dialihwahanakan
Kajian sastra horor perlu dikembangkan dalam berbagai medium, seperti audio, animasi, gim, film, dan platform digital.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kajian sastra horor yang mengulik misteri, hantu, dan hal-hal mistis lainnya perlu dikembangkan. Kajian tersebut berpeluang besar dialihwahanakan dalam berbagai medium, seperti audio, animasi, gim, film, dan platform digital lainnya.
Cerita rakyat bertema horor tersebar hampir di seluruh daerah di Tanah Air. Kisah horor digemari masyarakat Indonesia. Film-film bergenre horor kerap merajai industri film dalam negeri dari masa ke masa. Siniar atau podcast yang membahas kisah-kisah misteri juga didengarkan oleh banyak orang.
Peneliti Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tirto Suwondo, mengatakan, Indonesia memiliki cerita horor yang bejibun. Cerita itu dikisahkan lintas generasi dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, analisis atau kajian tentang sastra horor masih sangat jarang jika dibandingkan dengan jumlah cerita rakyat yang melimpah. Hal ini menjadi tantangan bagi para peneliti untuk mengkajinya dalam berbagai perspektif.
”Dalam konteks industri kreatif, peluang yang menjanjikan adalah adaptasi, alih wahana atau ekranisasi ke film layar lebar, televisi, dan platform digital,” ujarnya dalam peluncuran dan diskusi buku Sastra Horor, di Jakarta, Selasa (23/4/2024).
Buku setebal 1.010 halaman itu menyajikan 45 artikel kisah horor. Buku ini merupakan hasil riset dan kajian tentang beragam gejala horor yang hidup di tengah masyarakat di berbagai daerah.
Tirto mengatakan, hampir semua artikel dalam buku itu ditulis dengan ilmiah menggunakan struktur IMRaD (pengantar, metode, riset, dan diskusi). ”Hal ini menjadi semacam siraman yang menyejukkan di tengah ladang kering dunia kritik, telaah, dan apresiasi kita tentang sastra horor,” ucapnya.
Sastra horor tidak hanya menjadi kajian menarik bagi periset di Tanah Air. Di luar negeri, kajian kisah horor dipublikasikan di berbagai media dan jurnal, seperti majalah World Literature Today serta jurnal Horror Studies dan Journal of Dracula Studies.
Buku setebal 1.010 halaman itu menyajikan 45 artikel kisah horor. Buku ini merupakan hasil riset dan kajian tentang beragam gejala horor yang hidup di tengah masyarakat di berbagai daerah.
Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN Ade Mulyanah menuturkan, kajian sastra horor terus beradaptasi di tengah menguatnya budaya digital. Menurut dia, kajian tersebut perlu dikembangkan karena menjadi aset penting dalam industri kreatif.
”Peran film berbasis horor sebagian besar merupakan proses ekranisasi karya-karya sastra. Ini menunjukkan sebuah peran besar sastra terhadap perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia,” katanya.
Ketua Umum Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Prof Novi Anoegrajekti mengatakan, peluncuran buku Sastra Horor melengkapi tiga buku sebelumnya dengan judul Sastra Pariwisata, Sastra Rempah, dan Sastra Maritim. Buku tersebut menyajikan kisah horor yang berkaitan dengan lokasi atau tempat, roh halus, tokoh, keadaan, dan peristiwa bersejarah.
Dibutuhkan waktu hampir dua tahun untuk menyelesaikan buku itu. Setiap penulis melalui proses yang beragam dalam menyelesaikan tulisannya.
”Sampai-sampai ada yang tidak berani menulis artikelnya pada malam hari karena merasa merinding dan diselimuti rasa takut. Jadi, memilih menulis pada pagi dan siang hari,” ujarnya.
Sastra tradisi
Kisah horor juga banyak ditemui dalam sastra tradisi di Tanah Air. Bahkan, ceritanya direproduksi berulang kali sehingga tetap eksis dari masa ke masa.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Sudibyo, mengulas sejumlah cerita horor dalam sastra tradisi. Dalam Kakawin Bharatayudha yang ditulis pada abad ke-12, misalnya, terdapat kisah sadis tentang kematian Dursasana. Tubuh Dursasana dirobek-robek dan darahnya diminum oleh Bima.
”Peristiwa ini membuat takut dan ngeri. Cerita ini diadaptasi dari Mahabharata, sebuah kisah klasik India yang berasal dari masa beberapa ratus tahun sebelum masehi,” ucapnya.
Sementara dalam kisah Calon Arang, diceritakan tentang kemarahan Calon Arang karena tidak ada orang yang mau melamar putrinya yang cantik. Ia melakukan upacara kepada Dewi Durga yang kemudian mendatangkan bencana dan penyakit.
Industri film dan kreatif lainnya, baik di dalam dan luar negeri, masih menjadikan kisah horor sebagai salah satu inspirasi dalam merangkai cerita. Menurut sutradara dan penulis skenario film horor, Anggy Umbara, film merupakan salah satu bentuk turunan dari sastra.
”Skenario film juga bisa berbentuk sastra. Sastra itu mengikuti zamannya dalam beragam bentuk,” ujarnya.
Peneliti antropologi Korea, Bae Dong-sun, mengatakan, meskipun tidak sebesar di Indonesia, kisah-kisah horor juga masih digemari di Korea Selatan. Namun, bentuknya tidak lagi didominasi film layar lebar, tetapi beralih ke layanan streaming berbasis langganan, seperti Netflix.