Dokter Spesialis Minim, Pemerintah Dorong Kemudahan Pendidikan Lanjutan
Pemerintah mendorong kemudahan akses pendidikan spesialis untuk para dokter.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah besar untuk membangun layanan kesehatan yang baik. Fasilitas layanan kesehatan untuk penyakit-penyakit tidak menular dan dokter spesialisnya masih tidak memadai.
Hal itu diungkapkan Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) Tahun 2024 di kawasan BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (24/4/2024). Hadir pula dalam acara ini Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Anas.
Pada kesempatan tersebut Kepala Negara menyebutkan kematian akibat penyakit stroke mencapai 333.000 per tahun. Kematian akibat penyakit jantung tercatat 296.000 per tahun dan kanker 297.000 per tahun.
Oleh karena itu, alat-alat kesehatan terkait penyakit-penyakit ini mulai dikirimkan ke puskesmas dan rumah sakit di daerah. Alat untuk USG dan EKG didistribusikan ke puskesmas, sedangkan CT scan, mammogram, dan cath lab diberikan ke rumah sakit.
Baca juga: Presiden Jokowi Resmikan Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara, Persiapan Hadapi Kondisi Darurat
Pantauan Presiden sembari kunjungan kerja ke daerah mendapati ada rumah sakit yang siap dengan berbagai peralatan kesehatan, ruangan, dan sumber daya manusia. Namun, ada pula rumah sakit yang belum siap, baik karena ruangan yang tidak mendukung maupun karena tidak memiliki dokter spesialis.
”Memang problem terbesar kita adalah dokter yang kurang, dokter spesialis yang kurang. Bahwa rasio dokter kita masih 0,47, ranking ke-147 dunia, ini yang akan kita kejar,” tutur Presiden dalam sambutannya di Rakorkesnas.
Baca juga: Tuntutan Layanan Kesehatan Kian Tinggi, Wapres: Tingkatkan Mutu Tenaga Kesehatan
Memang problem terbesar kita adalah dokter yang kurang, dokter spesialis yang kurang.
Di tengah kekurangan dokter spesialis, hasil penapisan atau screening kesehatan jiwa peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang dilakukan Kementerian Kesehatan di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 menunjukkan 22,4 persen peserta PPDS mengalami gejala depresi.
Dari jumlah itu, 0,6 persen mengalami gejala depresi berat, 1,5 persen mengalami gejala depresi sedang-berat, dan 16,3 persen mengalami gejala depresi ringan. Saat penapisan ditemukan pula bahwa 3,3 persen merasa ingin mengakhiri hidup atau melukai diri sendiri dengan cara apa pun dalam dua minggu terakhir (Kompas, 15/4/2024).
Baca juga: Kenali Gejalanya, Depresi Calon Dokter Bisa Dihindari
Depresi disebabkan, antara lain, perundungan para senior dalam PPDS. Dokter residen kerap mendapatkan caci maki serta kata-kata kasar dari senior ketika tidak mengangkat telepon atau terlambat membalas pesan singkat melalui aplikasi Whatsapp lebih dari satu menit. Ada pula senior yang memberikan hukuman fisik kepada yuniornya, berupa push up, melempar benda keras, menampar, memukul, dan menendang.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun meminta segera dilakukan penanganan, terutama kepada mereka yang mengalami gejala depresi berat. Penyebab gejala depresi pun harus diketahui secara tepat.
Presiden Jokowi sendiri tak menjawab ketika ditanyakan soal fenomena peserta PPDS yang banyak mengalami gejala depresi ini. Presiden hanya menjawab Undang-Undang Kesehatan yang sudah direvisi disiapkan untuk mempermudah dokter umum untuk melanjutkan studi menjadi dokter spesialis.
”Membuka seluas-luasnya universitas (untuk PPDS). Tentu saja tetap dengan sebuah kualifikasi, dengan screening yang baik, agar apa? Institusi pendidikan kita, baik universitas maupun rumah sakit yang ditunjuk itu betul-betul bisa menghasilkan sebanyak-banyaknya dokter dan dokter spesialis karena yang saya lihat di lapangan banyak rumah sakit yang tidak memiliki spesialis-spesialis tertentu,” kata Presiden dalam sesi wawancara cegat seusai membuka Rakorkesnas.
Baca juga: Kondisi Darurat dalam Pendidikan Dokter Spesialis
Salah satunya, saat mengunjungi RSUD Kondosapata di Kabupaten Mamasa sehari sebelumnya, Presiden mendapati dokter spesialis masih kurang. Demikian pula ruangan di RSUD masih kurang memadai apabila diberikan peralatan seperti CT scan, mammogram, dan cath lab.
Pekerjaan rumah lainnya dalam transformasi kesehatan di Indonesia, menurut Presiden, adalah menurunkan angka tengkes atau kekurangan gizi kronis yang menyebabkan kekerdilan.
Presiden Jokowi menargetkan angka tengkes bisa diturunkan menjadi 14 persen pada 2024 dari 37,6 persen pada 2014. Namun, sampai akhir 2023, angka tengkes hanya mampu bertahan di 21,5 persen. ”Saya hitung-hitung ternyata juga enggakmudah, tetapi enggak tahu kalau dalam setahun ini bisa mencapai 14 persen,” ujar Presiden.
Baca juga: Wapres Dorong Duplikasi Inovasi yang Sukses Menurunkan Tengkes
Dalam sesi wawancara, Presiden juga menyebut penurunan sampai 21 persen pun merupakan lompatan yang sangat besar dan memerlukan kerja keras. Target 14 persen diakuinya sangat ambisius kendati diperlukan untuk mendorong kerja keras.
Rencana induk kesehatan
Selain itu, kata Presiden, untuk mengatasi tengkes, diperlukan integrasi, baik akses air bersih, pengaturan pernikahan usia dini, perbaikan ekonomi masyarakat, sanitasi, maupun lingkungan. Semua harus diorkestrasi dan diintegrasikan dari berbagai kementerian/lembaga karena menurunkan angka tengkes bukan pekerjaan mudah.
”Supaya sambung semua sampai ke daerah. Jangan sampai (pemerintah) pusat ke utara, (pemerintah) daerah ke selatan. Itu yang harus saya tekankan, semua harus inline, satu garis lurus, supaya ada hasil konkret dari pembangunan kesehatan kita,” tutur Presiden.
Rencana induk kesehatan direncanakan rampung Agustus ini. Rencana induk ini akan menjadi pedoman transformasi kesehatan Indonesia.
Baca juga: Pastikan Kejelasan Indikator Capaian dalam Rencana Induk Kesehatan
Presiden pun meminta ada kerja selaras antara pemerintah pusat ataupun daerah dan rumah sakit daerah dalam transformasi kesehatan di Indonesia. Harapannya, bonus demografi yang akan dinikmati Indonesia pada tahun 2030-an bisa membawa Indonesia lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Terkait hal tersebut, Budi Gunadi dalam laporannya menyebutkan, kebijakan kesehatan Indonesia ke depan adalah membuat masyarakat sehat, bukan sekadar menyembuhkan orang sakit. Sebab, untuk mendapatkan sumber daya manusia berkualitas yang cerdas, diperlukan lebih dulu manusia sehat dan ini dimulai sejak bayi dalam kandungan.
”Teman-teman enggak pernah lihat Presiden kita masuk (dirawat di) rumah sakit, kan. Artinya, Presiden menjaga kesehatan dengan baik,” ujarnya kepada peserta Rakorkesnas yang terdiri dari kepala dinas kesehatan daerah, kepala badan perencanaan pembangunan daerah (bappeda), dan direktur-direktur rumah sakit daerah.
Selain itu, lanjut Budi, belajar dari penanggulangan pandemi Covid-19, semua harus dilakukan secara bersama. Pendekatannya pun bukan pendekatan program, melainkan pendekatan gerakan.