Kiprah Petarung Kehidupan, dari Balik Dinding Istana hingga Tepi Sawah
Pameran Per-EMPU-an merekam kiprah perempuan sebagai petarung kehidupan dari masa ke masa.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April telah lewat. Namun, aura ketangguhan perempuan Indonesia masih terawat. Pameran lukisan koleksi Bentara Budaya merekam kiprah perempuan sebagai petarung kehidupan dari masa ke masa, dari balik dinding istana hingga tepi sawah.
Perempuan ”mengambil alih” Bentara Budaya Art Gallery di Lantai 8 Menara Kompas, Jakarta, Rabu (24/4/2024). Sebanyak 56 karya seni rupa bertema perempuan koleksi Bentara Budaya, dari 1941 sampai 2019, ditampilkan dalam pameran Per-EMPU-an yang digelar hingga tiga hari ke depan (Sabtu).
Pameran diadakan dalam rangka memperingati semangat perjuangan Raden Ajeng Kartini. Lukisan-lukisan yang dipamerkan mengekspresikan daya juang perempuan di berbagai lini kehidupan beserta segudang problematika yang dihadapi di setiap zaman.
”Setiap era mempunyai problematika yang berbeda. Lukisan-lukisan itu mengekspresikan kiprah perempuan sebagai petarung kehidupan yang welas asih,” ujar kurator pameran Frans Sartono.
Dari tahun pembuatannya, lukisan berjudul ”Putri Mangkunegara VII” karya Soebanto menjadi yang tertua. Lukisan cat minyak di atas kanvas itu dibuat pada 1941. Lukisan ini menggambarkan sosok perempuan yang melipat kedua tangannya dan meletakkannya di perut.
Tidak ada senyum mereka di wajah putri yang hidup di istana itu. Raut wajahnya justru cenderung murung. Hal ini pun mengundang berbagai penafsiran.
”Sorot matanya tidak segar, seperti menyimpan sesuatu, padahal dia putri yang tinggal di lingkungan keraton dengan kehidupan mapan, tapi terlihat sedih,” ucapnya.
Pada dinding yang lain dipajang lukisan berukuran 102 x 70 sentimeter karya Sudarso. Lukisan berjudul ”Wanita Desa di Tepi Sawah” ini dibuat pada 1980.
Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan tanpa alas kaki sedang duduk di kursi berbahan bambu. Hamparan padi menguning menjadi latar lukisan.
Ketangguhan perempuan tergambar dari sejumlah lukisan dalam berbagai aktivitas. Lukisan ”Gerobak Yogyakarta” karya Batara Lubis, misalnya, menampilkan sosok aktivitas perempuan di pasar sedang menggendong bakul. Lukisan ini juga menggambarkan naluri saling menghidupi para ibu-ibu dalam aktivitas jual beli.
Pengakuan pada pengalaman perempuan dan dukungan pada kepemimpinan perempuan.
Adapun lukisan ”Hujan Setrika di Negeri Orang” karya Ouda Teda Ena (2004) menampilkan kisah pilu pekerja migran yang sering mengalami penyiksaan di negeri orang. Di negeri sendiri mereka dipuja sebagai pahlawan devisa. Namun, di negeri orang, mereka merana karena disiksa majikan.
Sejumlah lukisan juga memotret peran perempuan dalam dunia hiburan. Lukisan ”Suasana Tayuban” karya Treeda Mayrayanti mewakili kiprah perempuan sebagai pelaku seni tradisi. Digambarkan seorang perempuan penari dengan kain jarik ketat dan kemben. Di sekitarnya terdapat kerumunan penonton pria dan wanita.
Lukisan lainnya berupaya menangkap realitas kehidupan. Pada awal 2000-an, misalnya, kehebohan terjadi dengan kemunculan seorang perempuan penyanyi yang dikenal dengan sensasi goyangannya. Ia tampil dari desa ke desa, beranjak ke daerah-daerah, lalu ditarik industri hiburan di kota besar.
Pro dan kontra pun muncul. Ada yang mengecam, ada pula yang memuja. Lukisan ”The Queen of Pantat” karya Zipit Supomo menangkap pergulatan hidup perempuan penyanyi itu yang di satu sisi dipuja jutaan orang, tapi di sisi lain dikecam sekelompok orang.
Selain pameran seni rupa, juga terdapat pameran wastra nusantara koleksi Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) bertajuk ”Cerita Wastra Nusantara-Cerita Kainku”. Pameran yang digelar di ruang serba guna Bentara Budaya Jakarta itu menampilkan aneka kain tradisional dari berbagai penjuru negeri, seperti Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
Pameran dibuka oleh Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani. Pelaksana Tugas Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Titi Eko Rahayu juga hadir dalam pembukaan pameran itu.
Andy mengatakan, pameran tersebut merupakan perpaduan dari pemaknaan yang bersifat individual sebagaimana yang dihadirkan para perupa dan juga dalam kisah wastra yang disajikan. Namun, ada juga pemaknaan kolektif yang diwakilkan oleh narasi kurator yang menjalinkan pemaknaan individual sebagai pernyataan pengakuan pada pengalaman perempuan dan dukungan pada kepemimpinan perempuan.
”Karena itu, pemaknaan bersama dalam peringatan Hari Kartini ini adalah juga penting untuk mengingatkan kita pada sejumlah PR (pekerjaan rumah) yang perlu dikerjakan bersama. Termasuk melalui ekspresi seni dan budaya, kegiatan pameran yang memantik percakapan kolaborasi bagi pemajuan hak-hak perempuan,” ucapnya.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri menyampaikan, tema ”Per-empu-an” dipilih karena mencerminkan semangat untuk kembali memanggungkan perempuan dalam semangat emansipasi. Selain lukisan, juga terdapat karya grafis, wayang, kaca, dan keramik. Setiap material menyuguhkan keunggulan visual dengan karakter yang unik.
”Semua karya itu memiliki satu benang merah, yaitu sama-sama menggambarkan sosok perempuan. Penggambaran dengan perspektif yang luas, mulai dari perempuan sebagai ibu, perempuan sebagai gadis cantik, perempuan sebagai manusia sosial, sebagai pejuang, dan sebagainya,” ujarnya.
Ketua KCBI Sita Hanimastuty mengatakan, Indonesia mempunyai kekayaan wastra yang sangat beragam. ”Mari mengenakan kain tradisional ini. Bisa menjadi busana keseharian dan kegiatan lain. Kita bangga memakai kain buatan dalam negeri,” ucapnya.