Kandungan Tinggi Lemak Trans pada Jajanan, dari Roti Maryam hingga Martabak
Masyarakat perlu membatasi pangan mengandung asam lemak trans tinggi. Lemak trans bisa memicu penyakit jantung.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga diimbau agar lebih waspada dalam memilih pangan yang akan dikonsumsi. Kajian terbaru menunjukkan, sebanyak 8,5 persen dari 130 produk yang diteliti mengandung kadar asam lemak trans melebihi ambang batas sebesar 2 persen.
Demikian hasil kajian yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama dengan tim peneliti di South-East Asia Food and Agricultural Science and Technology (Seafast) Center IPB.
Kadar lemak trans cukup tinggi ditemukan pada jajanan yang sering dikonsumsi masyarakat. Pada jenis produk makanan dalam kemasan, kandungan lemak trans yang tinggi antara lain ditemukan pada produk original pie biscuit, wafer salut cokelat isi krim cokelat, dan keik rasa red velvet.
Kandungan lemak trans tinggi juga ditemukan pada makanan siap saji, baik pada makanan jenis street food seperti roti maryam cokelat dan martabak cokelat ataupun pada makanan siap saji produk pabrik seperti croissant isi cokelat.
Ditemukan pula bahwa kandungan lemak trans yang melebihi ambang batas ada pada bahan-bahan yang umum digunakan untuk produk produk roti (bakery), yakni baking fats dan shortening.
Kandungan lemak trans tinggi juga ditemukan pada makanan siap saji, baik pada makanan street food seperti roti maryam cokelat dan martabak cokelat ataupun pada makanan siap saji produk pabrik seperti croissant isi cokelat.
Peneliti dari Seafast Center IPB sekaligus Guru Besar dalam bidang Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB University Didah Nur Faridah mengutarakan hal itu dalam acara Peluncuran Kajian Sumber Asam Lemak Trans pada Pangan, Senin (6/5/2024).
Menurut Didah, kandungan asam lemak trans yang tinggi bisa berdampak buruk bagi kesehatan. Asam lemak trans industrial atau ALTi dapat memicu terjadinya peningkatan kadar kolesterol jahat (LDL) dan menurunkan kadar kolesterol baik (HDL) dalam darah.
”Makin tingginya konsumsi asam lemak tidak jenuh trans ini meningkatkan rasio LDL dan HDL kolesterol. Kadar LDL menjadi lebih tinggi. Padahal, seperti yang kita tahu, peningkatan LDL kolesterol dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner,” tuturnya.
Asupan lemak trans tinggi pun bisa memicu kenaikan kadar triasilgliserol (TAG). Pada studi yang diterbitkan di European Journal of Clinical Nutrition tahun 2011 menyebut, asam lemak trans bisa memicu resisten insulin dan diabetes. Dampak kesehatan lain berupa risiko penyakit jantung koroner dan kanker.
Berdasarkan International Dairy Federation, asam lemak trans dibagi menjadi dua jenis, yakni asam lemak trans industrial yang diproduksi secara industri (ALTi) dan asam lemak trans yang diproduksi ruminansia (ALTr).
Makin tingginya konsumsi asam lemak tidak jenuh trans ini meningkatkan rasio LDL dan HDL kolesterol.
Asam lemak trans industrial memiliki kadar asam lemak trans yang sangat tinggi mencapai 60 persen. Adapun asam lemak trans produksi ruminansia sekitar 6 persen.
Asam lemak trans industrial merupakan hasil hidrogenasi parsial dari minyak nabati (PHO). Proses hidrogenasi tersebut membuat minyak cair bisa berubah menjadi lemak semipadat atau padat.
Dari sisi industri, lemak trans menjadi sangat menarik karena lebih tahan lama, meningkatkan stabilitas oksidatif minyak, meningkatkan titik leleh minyak, serta dapat meningkatkan rasa dari makanan olahan.
Namun, setelah berbagai riset menunjukkan dampak buruk lemak trans pada kesehatan, 53 negara akhirnya mengurangi ataupun melarang penggunaan lemak trans, seperti Denmark, Inggris, Swiss, dan Kanada.
Hal itu pula yang mendorong WHO mengeluarkan panduan eliminasi lemak trans yang disebut Replace pada 2018.
Regulasi
Team Leader Noncommunicable Diseases and Healthier Population WHO Indonesia Lubna Bhatti menyampaikan, asupan lemak trans tinggi menyebabkan setengah juta kematian tiap tahun secara global.
Asupan tinggi asam lemak trans sangat berkaitan dengan peningkatan risiko serangan jantung serta kematian akibat penyakit jantung koroner.
Komitmen mengeliminasi lemak trans dinilai penting dilakukan Pemerintah Indonesia. Penyakit jantung merupakan penyakit tak menular yang menduduki peringkat nomor satu dalam tingkat kematian dan kesakitan di Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat tren peningkatan penyakit jantung, yakni 0,5 persen pada 2013 menjadi 1,5 persen pada 2018.
”Bukti menunjukkan cara paling efektif untuk mengeliminasi lemak trans adalah melalui regulasi. Tanpa kebijakan dan peraturan yang kuat, produk-produk yang mengandung tinggi lemak trans berisiko masuk di Indonesia sehingga semakin mengancam kesehatan dan pembangunan nasional,” kata Lubna.
Terkait regulasi untuk mengeliminasi lemak trans, WHO menganjurkan kadar lemak trans dibatasi maksimal 2 persen dari total kandungan lemak di semua makanan atau setara 2 gram per 100 gram dari total lemak.
Cara lain adalah melarang produksi, impor, penjualan, serta penggunaan minyak terhidrogenasi parsial (PHO) di semua makanan.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menjelaskan, regulasi untuk pembatasan lemak trans akan dibahas. Pembatasan atau larangan akan lebih mudah diberlakukan untuk produk yang dihasilkan dari sektor industri.
”Yang sulit adalah pada sektor informal, seperti tukang gorengan, tukang martabak, itu yang susah untuk diatur. Namun, kita akan berupaya agar masyarakat bisa lebih disadarkan,” ujarnya.
”Selain akan menerapkan regulasi dan penerapan mengenai lemak trans di Indonesia, kami juga melakukan edukasi kepada masyarakat untuk mengonsumsi lemak yang lebih sehat,” ucap Dante.