Mencuat Nada Frustrasi dari Para Elite Eropa di Tengah Persaingan AS dan China
Kelangsungan Eropa kini tergantung pada pilihan dan putusannya sendiri. Eropa harus bisa bersuara sesuai kepentingannya.
Segudang masalah mendera Uni Eropa. Pertumbuhan ekonomi melambat di tengah penuaan penduduknya. Inflasi tinggi masih mengancam dan suku bunga tinggi relatif bertahan. Daya saing produknya melemah. Uni Eropa pun terimbas secara ekonomi atas efek invasi Rusia ke Ukraina. Ironisnya, Uni Eropa tidak bisa mandiri dalam menentukan sikap dalam persaingan geopolitik Amerika Serikat-China.
Sebagian orang di Uni Eropa tahu itu. ”Kita harus bisa melihat dengan jelas bahwa Eropa kita sedang dalam kefanaan, bisa mati,” kata Presiden Perancis Emanuel Macron saat berpidato di Universitas Sorbonne, Kamis (25/4/2024),
Baca juga: Ekonomi Jerman Tumbuh Datar, Faktor Geopolitik Turut Menekan
Penyataan Macron menegaskan isi artikel yang dituliskan mantan Duta Besar Perancis untuk AS, Gérard Araud, di harian Inggris, The Telegraph edisi 25 Agustus 2023. Araud menulis, kekuatan Eropa sudah memudar.
Eropa semakin tidak relevan dalam percaturan internasional dan di dalam Eropa ada banyak masalah menghadang, kekuatan ekonomi memudar, dan muncul politisi populis. Brexit, julukan Inggris keluar dari UE, merupakan salah satu sinyal keretakan dan UE. Persoalannya, UE tidak melihat kemampuannya telah berakhir.
Macron menyatakan, dengan semua itu, UE harus kohesif, semakin bersatu, dan bisa menentukan sikapnya sendiri dan berubah dari dalam. Ia katakan, UE tidak mempersenjatai dirinya dengan kuat di tengah persaingan geopolitik AS-China. Eropa serasa mati kutu dan terkepung sendiri.
Pidato Macron bertujuan menghardik UE agar terbangun untuk mengantisipasi situasi di depan. Pernyataan Macron sangat penting dan mengena, termasuk bagi Asia. Hal ini semakin penting karena sedang terjadi adu kekuatan antara AS dan China untuk menciptakan blok AS dan blok China.
Baca juga: Federal Reserve AS Mustahil Melakukan ”Tapering” Drastis (2 - Habis)
Asia bukan kekecualian. Amati, misalnya, Bangladesh, juga kawasan Pasifik yang terdiri dari negara-negara pulau atau kepulauan, sedang dalam perebutan pengaruh antara AS dan China. Argentina, yang tadinya bersahabat dengan China, kini menjauhi China. Meksiko harus menuruti keinginan AS agar menekan kepentingan bisnis China.
Macron dengan sendirinya menyuarakan hal serupa yang dialami kawasan lain, hendak bagaimana bersikap di tengah persaingan AS dan China. Macron turut menyebutkan bahwa UE bisa terancam akibat persaingan AS, China, dan Rusia jika tidak memiliki strateginya sendiri. Maka ia menyerukan perlunya strategi pertahanan UE yang kredibel.
Alat AS
Sangat mudah memahami situasi UE sekarang ini, seperti disuarakan Macron. Sejak Perang Dunia II, AS dan UE telah membentuk relasi trans-Atlantik yang kukuh, baik secara ekonomi maupun pertahanan, lewat Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Relasi trans-Atlantik menjadi motor ekonomi dunia, mendominasi tatanan dunia, dari ekonomi, sosial, hingga politik dan pertahanan.
Ketika ekonomi trans-Atlantik masih kuat, relasi ini berada dalam situasi nyaman. UE tidak pernah mengeluh tentang keadaan apa pun secara signifikan. UE dan AS kompak di segala lini dalam percaturan internasional.
Dalam peraturan perdagangan internasional, misalnya, UE dan AS menjadi penentu dalam Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). Muncul julukan ”Green Room”, sebutan bagi ruangan berwarna hijau di kantor WTO di Geneva, Swiss, pertanda pihak paling bercokol hanyalah UE dan AS.
Baca juga: Petani di Eropa, Mitos ”La Terre”, dan Konspirasi Menjaga Proteksionisme
Dalam segala hal, UE telah menjadi alat atau mengekor AS, sebagaimana diutarakan pakar geopolitik dari Universitas Chicago, John Mearsheimer. ”UE menikmati keamanan relatif gratis, terutama militer, karena komitmen AS lewat NATO.” Tentu UE juga menikmati blok dagang trans-Atlantik dan sebaliknya.
Ironisnya, Eropa terbawa arus AS yang turut memakai Eropa sebagai kekuatan pengatur dunia, sebagaimana dikatakan akademisi AS Noam Chomsky. Bahkan tidak ada penolakan dari Eropa, ketika sistem dunia yang dikuasai AS melanggar sistem unipolar pimpinan AS. Hal serupa dilakukan Jepang.
Situasi telah berubah
Keadaan telah berubah. Macron mengingatkan aturan permainan global telah berubah. UE sedang dalam kelimbungan dan berada dalam risiko karena tidak punya strategi. Perubahan terjadi dengan relatif bangkitnya perekonomian Rusia di bawah Presiden Vladimir Putin. Rusia yang tadinya dianggap akan menjadi negara demokrasi dan satu kubu dengan trans-Atlantik tidak terwujud.
Tambahan lagi, China tidak hanya bangkit secara ekonomi, tetapi juga sudah bisa menandingi kekuatan militer AS di Asia Pasifik. Harapan bahwa China akan berkembang menjadi negara demokrasi sejak didekati Presiden Richard Nixon juga tidak terwujud. ”Harapan akan terwujudnya China sebagai negara demokrasi telah punah,” kata Niall Ferguson, sejarawan dari Stanford University, dalam berbagai kesempatan.
Kekuatan ekonomi dan militer telah bergeser drastis, tidak lagi monopoli trans-Atlantik. Dalam hal perekonomian, produk-produk Eropa tidak lagi melihat AS sebagai pasar andalan. Sebab, pasar besar ada di luar trans-Atlantik. Aliansi Rusia-China juga semakin kukuh dengan teknologi militer yang semakin mampu menandingi AS.
Baca juga: Membendung Perekonomian China Mirip Merusak Periuk Sendiri (Bagian 2-Habis)
Perubahan kekuatan trans-Atlantik yang paling mencolok adalah kala Rusia menyerbu Ukraina pada Februari 2022. Trans-Atlantik relatif tidak berdaya menghadapi situasi, hanya mencoba menekan China agar tak mendukung Rusia, sebuah seruan yang dijawab Presiden Xi Jinping dengan frasa ”relasi China-Rusia sesolid batu karang”.
Ironisnya, invasi ini paling keras memukul perekonomian UE. Sanksi ekonomi terhadap Rusia atas kolaborasi UE-AS berefek penghentian relatif perdagangan UE-Rusia. Efeknya adalah kelangkaan barang dan menjadi penyebab inflasi di Eropa, terutama harga migas.
Sisi optimistis
Namun, seperti dituliskan Arraud, UE masih terkesima dengan kekuatan AS. UE belum bisa menolak tekanan AS sehingga harus turut pada apa yang dimaui AS. Apalagi UE tetap mengusung ide demokratisasi atas Rusia dan China, seakan hanya sistem demokrasi yang bisa menggerakkan dunia lain.
Baca juga: Mengingat Sejarah, Jangan Tepis Potensi Perang China dengan Segitiga Pimpinan AS
Hal terbaru, UE turut terseret perang ekonomi AS-China. Belanda, misalnya, disarankan menghambat peralatan pembuatan semikonduktor ke China. UE juga sedang mengusut isu subdisi mobil listrik China yang dijual di pasar Eropa, dan sebaliknya China mengancam akan menghalangi produk Eropa di pasar China.
Chomsky berpendapat, Eropa akan menghadapi masalah jika terus berada di bawah pengaruh AS, yang tetap menekankan sistem unipolar meski tidak lagi sesuai zaman. Dengan kata lain, Eropa akan menjadi korban dari sikap yang terus mengekor AS. Akan terjadi pemudaran dan deindustrialisasi Eropa jika terus memegang sikap lama.
Eropa diharapkan menjadi katalisator pereda ketegangan relasi AS-China, yang akan berdampak positif pada penjinakan Rusia. Dalam dua tahun terakhir semakin bermunculan opini di Eropa bahwa pandangan AS tentang ”ancaman China” tidak serta-merta menjadi kekhawatiran UE juga. ”Saya kira pandangan AS tentang China tidak otomatis menjadi pemikiran Uni Eopa,” kata Colin Alexander, seorang pakar politik tentang China dari Nottingham Trent University.
Dari sisi AS sendiri, tetap ada benih untuk derisking walau belum menjadi pandangan umum di AS. Direktur Jenderal Angkatan Darat AS Christine Wormuth mengatakan, dirinya adalah pihak yang melihat bahwa peredaan tensi adalah hal penting dalam relasi AS-China.
Baca juga: Kunjungan Yellen Mengingatkan Tragedi Bisnis Opium di China
Marcon telah menyatakan, kelangsungan Eropa kini tergantung pada pilihan dan putusannya sendiri. Eropa harus bisa bersuara sesuai kepentingannya sendiri. ”Eropa harus memperlihatkan bahwa dirinya bukan boneka AS dan Eropa juga harus bisa berbicara atas kemauan sendiri dengan kawasan-kawasan lain,” kata Macron.
Ini adalah sisi optimisme di tengah dunia yang sedang terbawa pada arus pembentukan blok China dan blok AS. Tentu tidak mudah membuat Eropa yang mandiri dari AS. Tekanan AS akan terus berlanjut agar Eropa terus menjadi pengekor.
Namun, opini yang berkembang sekarang di Eropa adalah agar kemandirian semakin dikukuhkan. Opini ini telah memasuki ruang-ruang Brussels, markas UE, ketimbang selama ini yang baru sebatas opini segelintir pakar.
Memang ada persoalan lain, yakni Eropa sedang memudar secara ekonomi, sosial, dan politik. Apakah Eropa bisa membangkitkan lagi daya saingnya sehingga terus diperhitungkan dalam perundingan internasional. Hal inilah yang turut menjadi seruan Macron, agar Eropa berbenah dari dalam. (AP/AFP/REUTERS)
Simon Saragih, Wartawan Kompas 1989-2023