Banyak Dokter Masih Serampangan Meresepkan Antibiotik
Peresepan antibiotik yang serampangan oleh dokter terjadi di beberapa rumah sakit di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Dokter di sejumlah rumah sakit terindikasi serampangan meresepkan antibiotik kepada pasien. Tim Investigasi Harian Kompas mengungkap, beberapa dokter meresepkan antibiotik untuk mengobati penyakit noninfeksi bakteri, seperti demam berdarah, vertigo, batuk pilek, sampai sembelit. Padahal, pasien penderita sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik.
Lemahnya pengawasan manajemen rumah sakit terhadap penggunaan antibiotik menjadi salah satu penyebabnya. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik mengatur tata laksana peresepan antibiotik oleh dokter. Aturan ini dibuat dalam rangka mengatasi fenomena resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) pemicu bakteri-kebal, yang menjadi ancaman kesehatan penting di Indonesia.
Namun, temuan lapangan investigasi Kompas di sejumlah rumah sakit di Jawa dan Sumatera per Januari-Februari 2024 mengungkapkan, sejumlah oknum dokter masih serampangan meresepkan antibiotik. Prinsip patient safety (keselamatan pasien) dalam sistem layanan rumah sakit menjadi terabaikan.
Salah satu potret keserampangan itu terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Depati Hamzah di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung. Setelah mendapat lampu hijau dari manajemen rumah sakit, Kompas lalu menghubungi seorang apoteker di RSUD tersebut, Senin (26/2/2024). Ia memegang semua data yang berkaitan dengan pengendalian antibiotik. Namun, hingga tengah malam, ia tak kunjung membalas pesan.
Di gudang farmasi rumah sakit Kompas akhirnya memperoleh 16 lembar dokumen bertulisan tangan. Dokumen itu terselip di antara setumpuk berkas. Dokumen berisi catatan penggunaan antibiotik pasien yang dirawat di Ruang Flamboyan pada Januari 2024 dan Desember 2023.
Dalam lembaran dokumen tertera nama pasien, diagnosis, serta jenis antibiotik yang digunakan. Informasi dalam bentuk tabel itu kemudian menjadi salah satu bahan pengecekan apakah dokter memberikan antibiotik sesuai dengan indikasi atau tidak.
Tim Kompas lalu menemui Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono di kantor Kementerian Kesehatan untuk mengecek ketepatan penggunaan antibiotik dalam berkas dokumen tersebut.
Matanya langsung mengarah ke kolom antibiotik, lalu berucap, ”Tuh, kan, seftriakson dipakai banyak banget,” ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, Selasa (5/3/2024).
Seftriakson termasuk antibiotik golongan watch. Dalam Panduan Penatagunaan Antimikroba di Rumah Sakit Tahun 2021 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan, merujuk panduan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), antibiotik terbagi dalam tiga tingkatan kategori: access, watch, dan reserve, yang dikenal dengan istilah AWaRe.
Khusus antibiotik kategori watch dan reserve, penggunaannya di rumah sakit menurut panduan itu harus diawasi ketat melalui prosedur khusus saat diresepkan dokter. Resep dokter yang memuat antibiotik kategori tersebut harus diperiksa ketepatannya terlebih dahulu oleh tim penatagunaan antibiotik (PGA) di rumah sakit. Antibiotik yang digunakan secara berlebihan atau tidak sesuai dengan indikasi akan memicu kemunculan bakteri resisten (kebal) yang amat sulit ditaklukkan.
Pada dokumen di RSUD Depati Hamzah, Dante mendapati sejumlah diagnosis penyakit yang tidak boleh diobati dengan antibiotik, antara lain vertigo, konstipasi atau sembelit, demam berdarah (dengue haemoragic fever/DHF), infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), juga gula darah rendah atau hipoglikemia.
Antibiotik hanya bisa diberikan jika ada infeksi bakteri! (Dante Saksono Harbuwono)
Ketua Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) RSUD Depati Hamzah, Ratna Setia Asih, mengakui pengawasan penggunaan antibiotik di rumah sakit belum optimal. Sebab, sumber daya manusia rumah sakit terbatas. Peringatan atau teguran kepada dokter hanya sesekali. Dia pernah mengingatkan dokter yang terlalu sering menggunakan antibiotik, seperti seftriakson dan sejenisnya.
”Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP), kalau tidak diingatkan, kadang lupa lagi. Tapi, kan, kami yang ngingetin (terus) capek juga. Ditambah lagi saya sebagai dokter juga punya kerjaan pokok yang tak bisa ditinggalkan,” ujarnya.
Di Jakarta, tim mendapatkan informasi dari seorang dokter yang praktik di sebuah rumah sakit tipe A. Dari catatan medisnya, pasien anak itu mengalami demam tinggi dan tidak mau makan. Ia batuk, pilek, pusing, badan pegal-pegal, gusi bengkak dan sempat bernanah. Dari tujuh jenis obat yang diberikan kepada pasien, dua jenis obat merupakan antibiotik kategori watch.
Saat dirawat di rumah sakit, pasien mendapat sefotaksim injeksi. Antibiotik ini diberikan dengan disuntikkan ke pembuluh darah. Seakan belum cukup, pasien saat mau pulang masih dibekali antibiotik sefiksim sirop. ”Kalaupun ada nanah pada gusi, antibiotiknya enggak harus yang injeksi, enggak harus antibiotik yang kuat, sebab peresepan begini bisa berisiko menimbulkan bakteri resisten,” kata dokter itu.
Rawat jalan
Beberapa dokter juga meresepkan antibiotik kelompok watch kepada pasien rawat jalan yang belum terkonfirmasi sakitnya karena infeksi bakteri.
Contohnya, Februari lalu, seorang pasien anak berinisial UL (2) demam mencapai 40 derajat celsius. Ia lemas, tak mau makan. Ibunya memberikan obat penurun demam. Keesokan harinya, ibunya membawa UL ke Rumah Sakit Hermina Ciledug, Tangerang, Banten. Kompas ikut menemani saat UL diperiksa dokter.
Dokter menempelkan stetoskop ke tubuh UL. Dokter lalu menyigi mulutnya dengan senter. ”Kami beri antibiotik dulu, ya. Napas agak kasar. Jadi infeksi saluran napas. Tapi tolong dipantau, kami mau kasih antibiotik. Kalau misalnya tak respons selama dua atau tiga hari dan masih bandel demamnya, kita cek darah,” ujar dokter itu.
Dari salinan resep terlihat UL didiagnosis ISPA. Dokter langsung meresepkan antibiotik bermerek Ceptik dengan kandungan sefiksim, antibiotik dari golongan watch. Dokter tidak mengambil sampel untuk memastikan lewat uji di laboratorium mikrobiologi apakah infeksi tersebut karena bakteri atau bukan.
Baca juga: Obat Rasional, Kuncinya Dokter
Seperti yang termuat dalam buku panduan antibiotik WHO, Dante juga memastikan, lebih dari 80 persen dari penyakit ISPA disebabkan oleh virus, bukan bakteri. Hal itu juga ditegaskan oleh Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan periode 2014-2021 Hari Paraton. Penyakit ini bisa sembuh sendiri (self limiting disease). Pasien perlu minum vitamin dan istirahat yang cukup.
Dikonfirmasi terkait ini, Wakil Ketua PPRA Hermina Ciledug dokter spesialis anak Carolina meyakini pasti ada alasan di balik pemilihan sefiksim itu. Misalnya pasien mungkin sudah berobat dulu di rumah sakit lain dan sudah mendapat antibiotik dari kelompok yang lebih rendah (access).
Asumsi tersebut ternyata meleset saat disandingkan dengan riwayat sakit UL. Dia tidak berobat di rumah sakit lain sebelum ke Hermina Ciledug. UL juga belum mengonsumsi antibiotik apa pun sejak sakit.
Dari sisi pengawasan, Carolina mengakui manajemen belum memantau peresepan antibiotik di bagian rawat jalan. Manajemen baru mengawasi penggunaan antibiotik di rawat inap. ”Untuk rawat jalan, masih murni keputusan klinis dari dokter,” ujarnya.
Selain di Hermina Ciledug, tim Kompas juga mencoba berobat di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) di Pondok Indah, Jakarta Selatan, akhir Januari 2024. Saat itu, salah satu wartawan dari tim Kompas mengalami batuk dan sakit tenggorokan.
Di ruang praktik poli umum RSPI Pondok Indah, dokter menanyakan keluhan yang dirasakan pasien wartawan tersebut. Disebutkan, batuk tak berdahak sudah berlangsung empat hari. Dokter lalu mengecek bagian bawah mata, menempelkan stetoskop di dada, dan mengecek pangkal tenggorokan. ”Agak merah sedikit, nanti saya beri antibiotik, ya,” ujarnya.
Selanjutnya, dalam salinan diagnosis di lampiran klaim asuransi tertulis diagnosis acute upper respiratory infection, unspecified atau ISPA bagian atas. Di salinan resep, dokter menuliskan obat yang diresepkan, yakni Azomax, antibiotik dengan kandungan azitromizin dari golongan watch.
”Tak boleh (Azomax) ini. Harusnya diperiksa (tes kultur) dulu tenggorokannya,” ujar Dante, saat mengamati resep itu.
Ketua PPRA RSPI Pondok Indah Suhendro dalam keterangan tertulis menyatakan, dokter-dokter di RSPI sudah mengacu pada pengelompokan AWaRe (acces, watch, reserve) saat meresepkan antibiotik, baik di rawat inap maupun rawat jalan. Selain itu, menurut Suhendro, jika ada peresepan antibiotik termasuk kategori reserve, farmasi akan meminta persetujuan dahulu dari tim PGA (penatagunaan antibiotik).
Merespons jawaban tertulis itu, Kompas mengirimkan pertanyaan lanjutan, yakni apakah antibiotik kelompok watch (seperti Azomax) di bagian rawat jalan juga diawasi dan dikaji peresepannya. Pertanyaan ini dikirim pada 1 Maret 2024, tetapi belum dibalas hingga artikel ini akan diterbitkan.
Baca juga: Ihwal Upaya Mengubah Paradigma Antibiotik di Indonesia
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Moh Adib Khumaidi, belum semua dokter paham tentang resistensi antimikroba (AMR) yang memunculkan bakteri-kebal. Ini terjadi karena pembahasan AMR dalam materi pendidikan dokter masih sangat umum. ”AMR harus diprioritaskan dalam kurikulum karena akan berdampak saat dokter melakukan pelayanan,” kata Adib.
Kondisi di Indonesia
Dalam laporan riset berjudul ”The Effort to Rationalize Antibiotic Use in Indonesia Hospital: Practice and Its Implication”, yang dipublikasikan di Journal of Tropical Medicine yang terbit 25 Februari 2023, disebutkan kendala dalam implementasi program pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia. Beberapa yang disorot, antara lain, kurangnya anggaran, lemahnya komitmen manajemen rumah sakit, dan koordinasi internal rumah sakit yang belum optimal.
Kajian itu menyebut, upaya pengendalian AMR di rumah sakit pemerintah (vertikal/pusat) masih lebih baik daripada di rumah sakit swasta. Problem di rumah sakit swasta umumnya karena tidak efektifnya komunikasi, tiadanya pedoman panduan antibiotik, minimnya koordinasi internal, tiadanya supervisi dari pemerintah, dan kurangnya motivasi untuk menerapkan kebijakan (pemerintah).
Dalam laporan studi lainnya berjudul ”Antimicrobial Resistance Situation in Indonesia: A Challange of Multisector and Global Coordination”, yang dipublikasikan di Journal of Tropical Medicine, 7 Februari 2022, disebutkan, situasi AMR di Indonesia tidak berjalan membaik, malah faktanya memburuk. Disebutkan juga Pemerintah Indonesia harus mengatasi tantangan besar terkait masalah pengendalian AMR ini.
Memburuknya situasi itu selaras dengan keterangan Ketua KPRA Kemenkes periode 2014-2021 Hari Paraton yang menyebutkan, prevalensi bakteri (E.coli dan K. pneumoniae) yang resisten terhadap antibiotik golongan sefalosporin, angkanya tinggi dan terus naik, yakni terpantau 67 persen pada tahun 2022. Perolehan data itu berdasarkan surveilans dari 11 rumah sakit pendidikan di Indonesia.
Padahal, dalam Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN-PRA) tahun 2020-2024 disebutkan, tahun 2024 ini angka prevalensi seharusnya menurun 10 persen dari patokan kondisi prevalensi sebelumnya di 62 persen (tahun 2019).
Hari mengatakan, fenomena peresepan antibiotik yang salah memang masih marak terjadi di kalangan dokter di banyak rumah sakit di Indonesia. Temuan lapangan Kompas menjadi contoh potret fenomena tersebut. Ia menambahkan, bahkan di rumah-rumah sakit swasta yang mewah di perkotaan disinyalir peresepan antibiotik yang salah oleh dokter terjadi lebih jorjoran alias lepas kendali.
Menurut Hari, prevalensi bakteri-kebal 67 persen tersebut bisa dikatakan indikasi gambaran kondisi yang mengerikan. Hal itu berarti rumah sakit menjadi tempat yang tidak aman bagi pengunjung. Pasien atau pengunjung rumah sakit yang sehat pun bisa berpotensi terpapar bakteri-kebal yang beredar di rumah sakit.
***
Tulisan 2 dari 10