Keributan di Tangsel dan Isu SARA di Media yang Meresahkan Warga
Keributan di Setu, Tangerang Selatan, bukan dipicu persoalan SARA. Warga resah dengan narasi keliru di sejumlah media.
Gesekan warga lokal dengan sekelompok pemuda ditambah beredarnya unggahan di media sosial dan media massa daring yang memberitakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA di RT 007 RW 002, Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Setu, Kota Tangerang Selatan, meresahkan warga dan penghuni indekos. Mereka tak ingin ada perpecahan dan konflik berkepanjangan.
Minggu (5/5/2024) sekitar pukul 21.00 WIB, warga dikagetkan dengan keributan di salah satu indekos di Kampung Poncol. Deretan indekos itu dihuni oleh sejumlah mahasiswa atau muda mudi yang malam itu sedang menjalankan aktivitas Doa Rosario dalam rangka memperingati Bulan Maria.
Baca juga: Gesekan Antarwarga di Tangerang Selatan Bukan Isu SARA
Atas imbauan warga, Ketua RT 007 Diding mendatangi kamar indekos agar kegiatan jangan sampai larut malam. Namun, saran itu disikapi keras oleh satu pemuda dan warga yang sama-sama merasa tersinggung. Perdebatan pun tak terhindarkan hingga berujung pertengkaran dan perkelahian.
Farhan Rizky (22), salah satu penghuni indekos, terluka karena terkena pisau. Ia mulanya berinisiatif menengahi dan melerai perkelahian antarkelompok pemuda itu.
”Gue berusaha melerai pengeroyokan, misahin. Gue netral gak kenal kanan kiri. Karena gue kasihan saja dikeroyok tuh cowok NTT,” kata Farhan, Senin (6/5/2024).
Upayanya melerai dan mendamaikan perkelahian itu ternyata membuat Farhan dituduh sebagai bagian teman perkumpulan mahasiswa indekos. Setelah berhasil dilerai juga oleh pengurus RT dan warga lainnya, salah satu pemuda setempat yang ikut mengeroyok pulang ke rumah dan kembali ke lokasi dengan membawa pisau.
”Gue pikir masalah selesai. Ternyata ada abang (warga setempat) baju merah bawa pisau. Gue teriak kenapa bawa pisau. Gue malah ditodong di perut, tapi berhasil gue tahan, tiba-tiba dari arah lain ada seseorang bawa pisau ngarahin ke kepala dan tiba-tiba kepala sudah bocor,” ujar Farhan.
Gesekan warga lokal dengan sekelompok pemuda itu ternyata direkam oleh seseorang dan diunggah di media sosial. Video itu pun cepat menyebar dan menjadi pembicaraan panas karena dinilai telah melanggar kebebasan beragama, intoleransi, hingga mengarah ke isu SARA.
Video itu pun menjadi sumber bagi media massa daring untuk dijadikan berita. Media massa berlomba-lomba menarasikan gesekan di Tangerang Selatan itu secara cepat.
Kabar di media sosial dan media massa daring yang beredar dengan cepat itu pun mengusik warga Kampung Poncol karena narasinya tidak sesuai fakta di lapangan. Warga pun takut dengan berkembangnya kabar berbau SARA itu menjadi bola panas.
Kedatangan sejumlah awak media ke lokasi untuk mengetahui penyebab awal terjadinya peristiwa gesekan di kampung itu sempat dipertanyakan oleh warga.
”Kenapa kalian wartawan menyebarkan kabar tidak baik dan tidak benar. Media-media kenapa memberitakan isu yang berbahaya. Berita di media itu tidak benar,” ujar salah satu warga yang tak ingin disebutkan namanya.
Mawan (45), warga setempat, juga merasa cemas dengan beredarnya kabar bahwa warga Kampung Poncol telah bertindak intoleransi hingga membacok salah satu mahasiswa yang sedang menjalankan ibadah di indekos.
”Kejadian kemarin (Minggu malam) sudah buat warga takut. Ditambah di media sosial dan media memberitakan kabar pembubaran ibadah, mengarah ke isu sensitif. Itu semua buat warga jadi takut karena semuanya tidak sesuai. Itu, kan, bahaya, peristiwanya tidak seperti itu,” ujar Mawan.
Menurut Mawan, aktivitas pemuda-pemudi di sejumlah indekos di Kampung Poncol RT 007 kerap menimbulkan keramaian hingga larut malam. Warga merasa terganggu dengan aktivitas yang tidak melihat waktu dan tempat itu.
Sejumlah warga dan pengurus RT pun sudah beberapa kali menegur agar tidak berkumpul ramai-ramai dan beraktivitas hingga larut malam. Namun, teguran itu sering diabaikan.
Ketua RW 002 Marat mengatakan, warga tidak mempermasalahkan kegiatan ibadah. Hanya, dalam beberapa kegiatan, mahasiswa kerap berkumpul setidaknya 10-20 orang.
”Karena sudah ditegur sekali dua kali sebelum kejadian ini tidak diindahkan. Bukan mengusir (ibadah), tetapi memang sudah malam. (Salah satu warga dan kelompok mahasiswa) Mereka sama-sama sumbu pendek,” kata Marat.
Mawan melanjutkan, warga hanya ingin lingkungan mereka kondusif, aman, dan tenang. Mahasiswa boleh saja beraktivitas asal tidak sampai menimbulkan gangguan di masyarakat.
Hal senada disampaikan oleh Budi Prayitno (32). Peristiwa Minggu malam hingga beredarnya kabar isu SARA membuat keluarganya cemas. Ia berharap tidak ada kejadian serupa dan media massa tidak menyebarkan kabar yang bisa memperkeruh suasana.
”Kami cuma ingin lingkungan aman. Di sini memang banyak kos-kosan, pastinya ramai. Tapi tetap kita saling menjaga, rukun, dan tidak berkonflik. Tidak ada yang melarang beraktivitas, apalagi berdoa. Cuma tetap perlu memperhatikan lingkungan. Kasihan warga, di sini juga banyak anak-anak. Kalau terjadi keributan, apalagi ribut masalah hal sensitif itu, pasti sangat mengganggu. Kita tenang dan damai-damai saja,” tuturnya.
Harapan serupa juga disampaikan oleh mahasiswa penghuni indekos di Kampung Poncol. Seperti yang diutarakan Farhan, pengeroyokan jangan sampai terulang karena tidak hanya menimbulkan kegaduhan, tetapi juga bisa mengancam keselamatan. Para pemuda kampung dan mahasiswa mengedepankan dialog alih-alih adu otot.
Sementara itu, Frederikus Legianto (25), salah satu penghuni indekos, mengatakan, malam itu mereka berkumpul sebanyak 15 orang untuk berdoa Rosario rutin dalam rangka Bulan Maria. Saat doa hampir selesai, ada pengurus RT datang untuk memberi tahu agar segera bubar.
Salah satu warga juga minta agar mengakhiri kegiatan doa. Namun, ketegangan mulai terjadi karena salah satu kelompok pemuda di indekos dan pemuda setempat justru saling berdebat dan berujung pertengkaran.
”Kami juga tak ingin ada peristiwa ini. Kalau berdoa, kami memang rutin. Jangan sampai ada rusuh karena jadi enggak enak,” katanya.
Salah satu penghuni indekos lainnya yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, kejadian Minggu malam tak perlu terjadi jika kedua pihak bisa berbicara baik.
”Semoga ke depan baik-baik. Kita belajar di sini. Jadi suasana bisa baik,” ucapnya.
Keragaman kota
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, kota di Jabodetabek sebagai ruang sosial yang besar dengan keragaman agama, etnis, dan ideologi. Keragaman kota itu menjadi dinamis karena ada ketersinggungan atau interseksi etnis dan agama.
Tingginya interseksi keragaman dan dinamisnya kehidupan warga kota itu jika tidak dikelola bisa memunculkan ketegangan dan sangat rentan terjadi gesekan. Kasus di Tangerang Selatan hanya salah satu contoh. Di kota lainnya di Indonesia juga beberapa kali terjadi gesekan sosial. Buruknya komunikasi sosial di lingkungan itu justru menyerempet ke masalah agama dan etnis.
Peran RT/RW, karang taruna, dan komunitas-komunitas bisa menjadi kontrol bagi masyarakat atau pendatang.
”Beberapa kasus di Indonesia sebenarnya hanya masalah sosial, tetapi justru menyerempet etnis lalu ke agama. Gesekan ini sangat rentan terjadi karena tinggi keragaman di kota. Isu yang awalnya remeh-temeh merembet ke hal etnis dan agama. Artinya, kota-kota besar dengan keragamannya menjadi paradoks. Jika itu tidak dikelola dengan baik, menjadi hal kontraproduktif dan disintegrasi,” ujar Rakhmat.
Baca juga: ”War” Takjil yang Meluruhkan Sekat SARA
Dari pengalaman-pengalaman peristiwa itu, asosiasi ketetanggaan di masyarakat perkotaan memiliki peran penting. Peran RT/RW, karang taruna, dan komunitas-komunitas bisa menjadi kontrol bagi masyarakat atau pendatang. Jika itu diaktifkan, bisa mengelola keragaman karena ada keterlibatan langsung antarkelompok masyarakat.
”Bagus seperti ada kerja bakti, lomba 17 Agustus, atau membuat kegiatan lainnya agar warga, pendatang, pekerja, mahasiswa bisa ikut terlibat sehingga gesekan-gesekan sosial bisa ditekan dan tidak merembet ke hal lainya,” ujarnya.
Tidak hanya komunikasi sosial secara langsung, kini komunikasi sosial juga dilakukan melalui media sosial.
Media sosial menjadi wadah warga untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi dengan cepat. Namun, akan sangat bahaya jika media sosial itu menjadi sumber informasi utama karena rentan disalahgunakan atau bisa memperkeruh situasi dan kondisi.
Krisis etika
Menurut Arga Pribadi Imawan, Head of Research Departement Peres Indonesia dan Adjunct Researcher Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada, dari partisipasi aktif warga, media sosial memiliki sisi gelap.
Warga digital Indonesia dinilai belum berpengalaman dalam memberikan informasi di media sosial. Di luar negeri, warganet yang ingin memberikan informasi harus melalui tahapan seperti verifikasi dan wawancara.
Media sosial dijadikan alat propaganda yang bisa mengarahkan pada isu atau narasi yang bisa memberikan bias. Warganet di media sosial menjadi kebenaran dalam menilai dan menyikapi suatu peristiwa atau fenomena. Kebenaran yang belum tentu mereka rasakan langsung atau berbasis keilmuan dan kajian.
Buruknya media sosial, kata Arga, ialah karakternya sebagai automatic generated content. Jadi, wacana tertentu yang disebarkan atau masuk ke ranah digital otomatis cepat menyebar seperti virus. Untuk menghentikan itu, akan sangat sulit.
Salah satu caranya ialah dengan konter narasi melalui kerja jurnalistik media massa yang berlandaskan etika. Kerja jurnalistik bisa menjadi cara atau melawan automatic generated content yang informasinya belum sepenuhnya benar dan baik.
Sayangnya, masalah yang dihadapi media massa saat ini adalah disrupsi media yang akhirnya menuntut mereka untuk bekerja seperti media sosial yang cepat. Maka, tak heran media sosial justru menjadi rujukan informasi bagi media massa. Dari media massa satu ke media massa lainnya akhirnya berlomba untuk memproduksi narasi serupa secara cepat.
Padahal, untuk membuat produk jurnalistik yang baik dan bagus, tentu tidak bisa asal cepat. Sayangnya itu yang dilakukan oleh media massa saat ini. Massa depan pers justru ada di tangan mereka sendiri. Narasi lebih dalam yang tidak mengutamakan kecepatan masih sangat dibutuhkan.
”Kritis etika. Semua yang upload di media sosial menjadi kebenaran baku itu di generated content secara terus-menerus,” kata Arga.
Urgensi penting menyelamatkan etika itu, lanjutnya, perlu ada regulasi tata pengaturan di media sosial. Pengaturan seperti ini belum banyak diatur seperti hashtag yang bisa mengarahkan ke hal negatif dan positif. Platform digital di media massa pun menggunakan tagar yang bisa mengarahkan ke hal negatif dan positif.
Begitu pula dengan narasi teks singkat (caption) di media sosial. Media massa yang menggunakan narasi teks singkat dari media sosial perlu berhati-hati agar pemberitaan tidak menjadi semakin keruh mengarah ke hal negatif.