Menabuh Kulintango, Menyelamatkan Bintauna
Krisis tengah mendera Bintauna, Bolaang Mongondow Utara. Pasalnya, nyaris tak ada anak ataupun pemuda yang mampu memainkan kulintango. Identitas sebuah komunitas adat dalam beragam upacara adatnya kini di terancam punah.
Sebuah krisis tengah mendera Bintauna, sebuah wilayah bekas kerajaan yang telah menjadi kecamatan di Bolaang Mongondow Utara. Para pegiat adat dan budayanya dilingkupi kegelisahan. Pasalnya, nyaris tak ada anak ataupun pemuda yang mampu memainkan seperangkat alat musik tradisional bernama kulintango.
Ketua lembaga adat setempat, Sadli Datunsolang (58), yakin identitas etnik Bintauna yang mewujud dalam berbagai prosesi adat berada di ambang kepunahan. Satu atau dua dasawarsa lagi, beragam upacara tradisional bisa lenyap karena tak ada lagi pemain kulintango di wilayah perbatasan antara Sulawesi Utara dan Gorontalo itu.
Maka, pikir Sadli, sudah tiba waktunya generasi muda mengambil alih penabuh alat musik termaksud. ”Lebih bagus kalau anak-anak yang memainkan. Orang-orang tua seperti kami tinggal jadi instruktur saja. Kami ini sudah tidak layak (tampil maupun belajar memainkan), tangan sudah berat dan lemah, banyak pikiran juga,” katanya, Senin (15/11/2021).
Pagi itu, Sadli mengajak kami ke sebuah kompleks rumah tua berarsitektur kolonial dengan halaman luas yang penuh semak belukar. Bangunan di pusat kecamatan itu tampak renta dimakan usia. Atap sengnya keropos karena karat, sementara tembok putihnya menguning dan berkerak. Namun, tiang dan pintu kayunya yang dicat hijau masih tegak berdiri.
Gedung itu adalah sisa dari komalig atau istana kerajaan yang hingga 1950 dihuni raja kesembilan Bintauna, Mohamad Toraju Datunsolang. ”Ini bagian dapur saja. Bangunan utamanya sudah dibakar waktu pergolakan Permesta antara 1958 dan 1961 untuk menghilangkan tempat yang bisa dijadikan markas tentara Indonesia,” kata Sadli.
Di sanalah tersimpan seperangkat kulintango milik kerajaan yang diklaim telah berumur ratusan tahun. Konon, alat musik itu adalah pemberian Kesultanan Ternate kepada raja ketiga Bintauna, Patilima Datunsolang, ketika ia dilantik sebagai pemimpin Swapraja Bintauna pada 1783 di Ternate.
Baca Juga: Bolaang Mongondow Utara Buat Regulasi Dukung Kampung Literasi
Kulintango tak ubahnya seperangkat gamelan Jawa yang tak lengkap. Ia hanya terdiri dari enam buah bonang barung yang disebut kulintango, sebuah gong kecil yang dinamai bandingo, serta dua atau tiga gendang atau tambur yang disebut savua. Bambang Suwondo dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara (1978), berasumsi alat musik ini kemungkinan besar memang didatangkan dari Jawa.
Namun, nuansa yang terdengar sangat jauh dari gamelan Jawa ketika Sadli memainkannya bersama Elfart Datunsolang (64), Sabdin Tombinawa (76), Imin Tinumbia (72), dan Ahmad Datunsolang (53) yang juga pegiat budaya Bintauna. Alih-alih lembut, bunyinya justru terdengar rancak karena dimainkan seperti perkusi dalam ketukan 4/4 bertempo cepat.
Nada dalam tiap buah kulintango pun tak membentuk lagu karena ditabuh tanpa urutan tertentu. Bunyinya justru seirama dengan pukulan savua. Menurut Sadli, savua dimainkan dengan tiga jenis pukulan, yaitu monohete’o, mokongkako, dan mona’a. Semuanya membetuk irama yang sama, hanya beda urutan pukulan pada kedua permukaan selaputnya.
Kulintango pun menjadi bagian penting dalam kehidupan Kerajaan Bintauna. Ia dimainkan dalam hajatan akbar, seperti pernikahan atau peringatan tujuh hari kematian keluarga raja. Tamu kerajaan juga disambut dengan alunannya yang megah, diawali tuturan adat yang disebut Tivato, serta iring-iringan tombak, perisai, pedang, dan bendera.
Harus dibunyikan dalam berbagai pentas supaya (produk) budaya kami ini tidak hilang.
Menurut Sadli, kulintango juga mendorong kemunculan tari Joke yang diperagakan dua orang. Penari laki-laki bergerak mengitari penari perempuan secara perlahan seiring irama musik, sedangkan penari perempuan diam di tengah sambil membuat gerakan memutar perlahan. Tari ini ditampilkan pula untuk menyambut tamu kehormatan.
Kulintango masih dimainkan hari ini kala Bintauna disambangi bupati, gubernur, atau pejabat kenegaraan lain sekalipun kerajaan telah tiada. Namun, Sadli mengingatkan, bukan berarti ia bisa dimainkan di sembarang acara. Untuk acara pernikahan dan kematian, hanya keturunan trah Datunsolang yang boleh menyertakannya dalam acara.
Yanti Datunsolang (55), instruktur tari Joke yang juga masih kerabat Sadli, mengatakan, penggunaan kulintango yang tidak semestinya dipercaya akan mendatangkan azab. ”Cuaca cerah bisa berubah tiba-tiba jadi hujan badai di tempat hajatan. Boleh percaya atau tidak, tetapi memang terjadi,” katanya diikuti pembenaran dari Sadli.
Kendati begitu, Lembaga Adat Kecamatan Bintauna telah menyatakan kulintango dan tari Joke kini boleh dipentaskan dalam pergelaran adat dan budaya. ”Harus dibunyikan dalam berbagai pentas supaya (produk) budaya kami ini tidak hilang,” ujar Sadli.
Celakanya, Sadli, Elfart, Sabdin, Imin, dan Ahmad bisa jadi adalah segelintir orang-orang terakhir yang masih mahir memainkan kulintango. Mereka adalah generasi keempat dari garis keturunaan Datunsolang yang masih bisa memainkan kulintango. ”Orangtua kami juga pegiat budaya sehingga kami tahu cara memainkannya,” kata Imin.
Regenerasi
Menurut mereka, regenerasi pemain kulintango gagal karena mitos yang menyatakan ia hanya boleh dimainkan keturunan para raja. Akibatnya, alat musik itu jauh dari jangkauan masyarakat Bintauna. Namun, belakangan Sadli menyadari, tak masuk akal jika musik yang dimaksudkan untuk menyenangkan hati keluarga raja malah harus mereka mainkan sendiri.
Karena itu, Lembaga Adat Kecamatan Bintauna menyimpulkan dan mengumumkan, siapa pun boleh memainkan kulintango dan tampil dalam berbagai acara asalkan sudah mahir. Ini adalah bagian dari strategi regenerasi pemain untuk mencegah kulintango tenggelam dalam kepunahan.
Sadli pun berkeliling menemui belasan kepala sekolah SD, SMP, SMK, dan SMA di Bintauna untuk menyatakan kesiapan mereka menjadi instruktur kulintango sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Target utama mereka adalah siswa SD yang masih akan tinggal lama di Bintauna. Kesempatan memanggungkan kulintango akan lebih banyak.
Ajakan ini juga Sadli umumkan dalam berbagai pertemuan warga desa. Namun, hasilnya masih nihil. Pada saat bersamaan, Yanti yang mengumumkan kesediaannya mengajarkan seni tari Joke lewat Facebook baru berhasil merekrut dua orang penari, yaitu Rimba Datunsolang (19) dan Aliya Kinontoa (16).
Secara pribadi, Rimba dan Aliya sama-sama mengaku telah berpengalaman punya ketertarikan pada seni tari tradisional. Mereka pun sudah mengajak teman-teman sebayanya bergabung, baik menari Joke maupun memainkan kulintango. ”Tetapi masih banyak yang malu-malu,” kata Rimba.
Sulitnya regenerasi pemain kulintango juga disebabkan oleh keterbatasan dana. Sadli mengaku, lembaga adat yang ia pimpin—dengan mayoritas anggota berprofesi sebagai petani—tak memiliki pos anggaran untuk menyediakan honor sebagai insentif bagi para pelatih atau bahkan sekedar menyediakan air minum.
Pemkab pun ia nilai kurang menaruh banyak perhatian. ”Kegiatan budaya di Bolaang Mongondow Utara sulit karena tidak ada anggaran dari APBD. Tidak ada peraturan daerah untuk menyediakannya. Kami cuma dapat dana hibah kalau mengajukan proposal ke dinas. Itu, kan, terbatas dan tidak berkelanjutan kalau kita mau melestarikan budaya,” kata Sadli.
Di sisi lain, sebuah hambatan besar lain mengadang. Bintauna tidak punya seorang pun perajin kulintango. Wahyu Haq Ponongoa (23), guru musik SMA Negeri 1 Bintauna, yakin ini merupakan bukti kulintango secara etnomusikologi memang bukanlah produk budaya asli Bintauna.
Setidaknya hanya ada dua set kulintango yang keberadaannya diketahui Lembaga Adat Kecamatan Bintauna, yaitu yang tersimpan di komalig dan hibah dari dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten. ”Ini lebih tepat disebut alat musik kerajaan. Masyarakat Bintauna sendiri tidak punya tradisi khusus dalam pembuatan kulintango seperti halnya puasa sebelum membuat gamelan di Jawa,” kata Wahyu.
Harapan
Di tengah kegamangan ini, anak-anak muda Bintauna yang mencecap pendidikan perguruan tinggi di Manado, Gorontalo, dan kota lain di Indonesia menghadirkan secercah harapan. Bermula dari paguyuban bernama Inomasa Study Club yang didirikan pada 2009, kini telah berdiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Teras Inomasa di Bintauna.
Pembina TBM Teras Inomasa, Ersad Mamonto (26) yang sedang menjalani studi pascasarjana ilmu sejarah di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, para cendekiawan muda Bintauna memiliki tujuan besar membangkitkan kesadaran publik tentang identitas ke-Bintauna-an. Mereka ingin, pengetahuan soal warisan budaya Bintauna yang mulai ditinggalkan bisa tersebar luas di masyarakat.
Kami butuh sesuatu yang transformatif. TBM Teras Inomasa adalah bentuk gerakan sosialnya.
Ikhtiar itu, salah satunya, mereka nyatakan dalam wujud esai di sebuah situs web bernama Terasinomasa.online. Mereka juga telah rampung menulis buku berjudul Memotret Bintauna berisi kumpulan esai yang membahas sejarah dan kebudayaan Bintauna.
Namun, pendirian Kampung Literasi Vahuta-Bintauna yang terletak di Desa Vahuta, 1 kilometer dari pusat kecamatan, dinilai banyak pihak sebagai lompatan besar mereka. Selama 13-16 November 2021, berbagai kegiatan budaya digelar, dari pentas seni, lokakarya, hingga ziarah makam raja-raja Bintauna.
”Kami butuh sesuatu yang transformatif. TBM Teras Inomasa adalah bentuk gerakan sosialnya,” kata Ersad.
Sadli dilibatkan khusus untuk mengisi lokakarya soal kulintango dalam rangkaian acara pencanangan kampung literasi tersebut, Minggu (14/11). Peserta yang hadir, mayoritas pelajar dan mahasiswa, ia persilakan mencoba memainkannya. Kesempatan itu Sadli manfaatkan pula untuk mengajak mereka menjadi pemain kulintango.
Baca Juga: Dari Danau Tondano, Melodi Kolintang Menggemakan Kemerdekaan
Acara itu pun membuka ruang diskusi lintas generasi soal kulintango. ”Kegiatan kebudayaan dan adat yang mereka gelar ternyata bisa dikolaborasikan dengan kami (lembaga adat). Ini langkah awal yang baik dari anak-anak Bintauna, dan kami sungguh mendukung mereka,” ujar Sadli.
Di sisi lain, Ersad mengatakan para pemuda dan tetua adat di desa sudah seperti satu tubuh yang bergerak seirama. Berbekal pendidikan tinggi, Ersad dan kawan-kawannya bersedia mencari fakta-fakta ihwal kulintango dan mengkajinya agar penggunaan kulintango tetap sejalan dengan nilai-nilai yang dipercaya masyarakat Bintauna.
Kampung Literasi Vahuta-Bintauna, kampung literasi pertama di Bolaang Mongondow Utara, bahkan menjadi ruang bagi Wakil Bupati Amin Lasena untuk menyatakan komitmen dalam mendukung kegiatan literasi. Ia berjanji, awal 2022 akan terbit peraturan bupati yang berfungsi menyediakan dana APBD untuk para pegiat literasi serta TBM.
”Kita akan dorong pembuatan lebih banyak kampung literasi sehingga Bolaang Mongondow Utara bisa menjadi kabupaten literasi,” kata Amin, Sabtu (13/11). Fokus kampung literasi di tiap desa dan kecamatan, kata Amin, akan disesuaikan dengan potensi setempat.
Meski belum jelas, janji ini membawa angin segar bagi pegiat budaya Bintauna, tua maupun muda. Sadli yakin, kucuran dana untuk kegiatan kebudayaan dalam jangka panjang akan mendorong sektor lain yang mendatangkan pendapatan daerah, seperti pariwisata.
Namun, pendanaan bukanlah tujuan, melainkan sarana keberhasilan regenerasi pemain kulintango. Sadli percaya, mengajar muda-mudi Bintauna bermain kulintango berarti menambah panjang napas ke-Bintauna-an dalam ruang batin setiap orang yang berdiam di sana. ”Kalau ini gagal diteruskan kepada anak-anak kami, orang Bintauna akan kehilangan identitas,” ujarnya.