Di Bukittinggi, Restorasi Film Karya Usmar Ismail Dilanjutkan
Upaya restorasi film-film karya Bapak Film Indonesia ini bagian dari pemeliharaan sejarah perfilman Indonesia.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
Upaya merestorasi film-film karya pahlawan nasional Usmar Ismail kembali dilanjutkan tahun ini dengan dukungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Film yang akan direstorasi adalah Asmara Dara yang dirilis tahun 1958.
”Alhamdulillah harapan kami bahwa ada lagi film Pak Usmar yang akan direstorasi terwujud. Insya Allah film Asrama Dara akan direstorasi tahun ini. Jadi, masyarakat bisa menonton dengan tampilan yang lebih baik,” kata Heidy yang juga putri dari produser, sutradara, dan penulis naskah Usmar Ismail (alm) ini.
Menurut Heidy, dari puluhan film yang dibuat Usmar, baru tiga yang direstorasi. Film itu adalah Darah dan Doa (1950) yang dilaksanakan oleh Kemendikbudristek, Lewat Djam Malam (1954) oleh kolaborasi perusahaan Singapura dan Italia, dan Tiga Dara oleh salah satu perusahaan swasta.
”Ketiga film itu memang tiga teratasnya karya-karya Pak Usmar,” ujarnya. Atas film-film Usmar yang sudah direstorasi itu, keluarga punya hak untuk memutarnya dengan tujuan pendidikan.
Heidy melanjutkan, Usmar Ismail Cinema Society sudah menyampaikan permohonan ke Kemendikbudristek. Selain Asrama Dara, ada empat film lain yang diusulkan untuk direstorasi, yaitu Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962), Tamu Agung (1955), Lagi-lagi Krisis (1955), dan Pedjuang (1960).
Untuk pemilihan film yang menjadi prioritas restorasi, Heidy menyerahkannya kepada Kemendikbudristek sebab restorasi memakan biaya besar. ”Kami berharap, sedikit demi sedikit film-film Pak Usmar bisa diselamatkan. Alhamdulillah memang film-film Pak Usmar sebagian besar kami simpan, ada sama pihak keluarga sampai sekarang,” ujarnya.
Kepala Koordinator Kelompok Kerja Apresiasi dan Literasi Film Nujul Kristanto mengatakan, proses restorasi film Asrama Dara akan dilakukan tahun ini. Pihaknya sedang berdiskusi dengan ahli waris karena filmnya disimpan di Yayasan Sinematek.
”Setelah itu, kami akan lakukan upaya restorasi. Salah satu tahapannya, pembersihan film, kemudian proses administrasi dan proses lelang,” katanya. Ditambahkan, biaya merestorasi satu film mencapai miliaran rupiah. Sebagai contoh, film Dr Samsi (1952) karya Ratna Asmara, yang direstorasi Kemendikbudristek tahun lalu, menghabiskan dana Rp 2 miliar lebih.
Nujul menjelaskan, upaya restorasi terhadap film-film karya Bapak Film Indonesia itu penting karena menyangkut sejarah. Selain itu, Usmar juga berstatus pahlawan nasional sejak ditetapkan pada 10 November 2021 lalu atas perannya sebagai pelopor film Indonesia.
Usmar lahir di Bukittinggi pada 20 Maret 1921. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Batusangkar dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang. Selepas itu, Usmar merantau untuk melanjutkan pendidikan dan meniti karier di bidang perfilman.
Film pertama yang disutradarai Usmar, Darah dan Doa, merupakan film nasional pertama. Hari pertama pengambilan gambar film ini pada 30 Maret 1950 dijadikan insan film sebagai Hari Film Nasional. Usmar juga diangkat sebagai Bapak Perfilman Nasional.
Selama hidupnya yang tak genap 50 tahun, Usmar yang juga dikenal sebagai sastrawan, tokoh teater, wartawan, dan pejuang kemerdekaan itu telah memproduksi 33 film.
Pemutaran film
Direktur Sako Academy sekaligus sutradara Arief Malinmudo menjelaskan, program Putar Film Usmar di Kota Kelahiran didukung penuh oleh Kemendikbudristek. Kegiatan dalam rangka Hari Film Nasional yang diperingati setiap 30 Maret ini juga berkolaborasi dengan Usmar Ismail Cinema Society.
Selain kuliah umum bersama Heidy, sutradara Riri Riza, serta sejarawan dan penulis Hasril Chaniago, kegiatan dalam program ini, antara lain, juga meliputi tur singkat ke tempar-tempat yang terkait dengan sejarah Usmar dan pemutaran film Djenderal Kantjil (1958) yang diproduseri Usmar.
”Pak Usmar sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Jadi, kami merasa penting untuk memperkenalkan gagasan-gagasan Pak Usmar melalui film-filmnya, baik yang beliau tulis, sutradarai, maupun produseri, kepada masyarakat di kota kelahirannya,” katanya.
Target kegiatan ini, bagaimana masyarakat Sumbar bisa memetik pemikiran Usmar Ismail lewat film.
Menurut Arief, kalangan pembuat film mungkin relatif akrab dengan gagasan dan karya Usmar Ismail. Namun, masyarakat umum, terutama di kota kelahirannya, Bukittinggi, barangkali belum begitu familiar.
”Menurut kami, mereka perlu tahu siapa Usmar Ismail. Film menjadi jembatan untuk mentransformasikan pemikiran itu,” ujarnya.
Kegiatan yang digelar di Rocky Hotel, Bukittinggi, itu diikuti sekitar 150 orang dari berbagai kalangan, mulai dari siswa, mahasiswa, anggota komunitas film, hingga anggota kelompok literasi.
”Target kegiatan ini, bagaimana masyarakat Sumbar bisa memetik pemikiran Usmar Ismail lewat film,” katanya.
Film Djenderal Kantjil, yang skenarionya ditulis Alwi Dahlan sekaligus keponakan Usmar dan disutradarai oleh Nya’ Abbas Akup, dipilih karena berdekatan dengan momen wafatnya Alwi pada 20 Maret lalu. Pemutaran film ini sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap Bapak Ilmu Komunikasi itu.
Rangkaian kegiatan ditutup dengan pembukaan Pameran Usmar Ismail di Kafe Kopigo x Panties Pizza, Bukittinggi, Kamis malam.
Pameran yang digelar selama 28 Maret-8 April 2024 ini menampilkan berbagai karya Usmar, antara lain cuplikan gambar-gambar film, kutipan dialog film, puisi-puisi, dan lini masa kehidupan Usmar.