Menanti Langkah Melki, Ansy, dan Esthon di Pilgub NTT, Siapa Berani Ambil Risiko?
Pemimpin sejati adalah orang yang berani mengambil risiko dan tidak takut kehilangan jabatan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·2 menit baca
Sejumlah figur mulai bermanuver meraih kursi gubernur NTT. Mereka menggalang dukungan dari akar rumput dan mendekati elite partai untuk mendapatkan kendaraan politik. Di sisi lain, banyak figur potensial menghadapi dilema jika harus melepas jabatan anggota DPR RI yang mereka perebutkan dengan ”berdarah-darah”.
Di Partai Golkar, nama yang paling mencuat adalah Emanuel Melkiades Laka Lena, Ketua DPD I Golkar NTT. Melki, sapaan akrabnya, adalah anggota DPR RI periode 2019-2024, dan kembali terpilih untuk periode 2024-2029. Ia mewakili daerah pemilihan NTT II yang terdiri atas Pulau Timor, Rote, Sabu, dan Sumba.
Melki meraih suara individu sebanyak 95.138 sehingga menyumbang akumulasi perolehan suara partai di dapil itu menjadi 251.031. Berdasarkan pembagian, Golkar mendapat dua kursi atau bertambah satu kursi dibandingkan pemilu sebelumnya. Jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak tujuh.
Kini publik menunggu manuver Melki, Ansy, dan Esthon, apakah mereka memilih jalan aman sebagai anggota DPR RI atau mengambil risiko untuk bertarung dalam Pilgub NTT.
Figur lain adalah Fransiskus Lema, kader PDI-P yang juga anggota DPR RI dari dapil yang sama dengan Melki. Ansy, sapaan akrabnya, kembali terpilih untuk periode 2024-2029. Berbeda dengan Golkar, suara PDI-P di dapil itu anjlok sehingga mereka kehilangan satu kursi. Hanya tersisa satu dari sebelumnya dua kursi.
Sementara Gerindra belum memunculkan nama. Ketua DPD Gerindra NTT Esthon L Foenay yang dua kali maju sebagai calon gubernur NTT pada Pilkada 2013 dan 2018 hingga kini belum menyatakan sikap ke publik. Pada Pileg 14 Februari 2024 lalu, Esthon terpilih menjadi anggota DPR RI dari Dapil NTT II. Esthon mengembalikan kursi Gerinda yang hilang pada pemilu sebelumnya.
PDI-P, Golkar, dan Gerindra adalah tiga partai dengan perolehan suara tertinggi untuk Pileg 2014 di NTT. Masing-masing partai itu menempatkan sembilan wakilnya di DPRD Provinsi NTT. Karena unggul perolehan suara, kursi Ketua DPRD NTT masih dipertahankan PDI-P. Golkar dan Gerindra masing-masing mendapatkan jatah wakil.
Kendati dengan modal sembilan kursi, mereka tidak bisa mengusung sendiri pasangan calon. Syarat minimal dukungan yang ditetapkan dalam regulasi adalah 20 persen dari total kursi di DPRD Provinsi NTT yang berjumlah 65 atau setara dengan 13 kursi. Artinya, mereka harus berkoalisi.
Hingga Sabtu (20/4/2024), belum ada satu pun figur dari tiga partai itu yang melakukan manuver secara terbuka, seperti mendaftarkan diri sebagai bakal calon gubernur. Mereka masih tampak membaca kekuatan lawan sambil menghitung langkah.
Melky, Ansy, dan Esthon pasti berpikir keras untuk maju sebab mereka harus mengundurkan diri dari jabatan sebagai anggota DPR RI. Syukur kalau menang. Jika kalah, mereka kehilangan dua posisi yang diperebutkan secara ”berdarah-darah”. Salah satunya ongkos politik yang tidak murah.
Namun, mereka tidak bisa mengelak jika diperintah oleh partai. Melky dan Ansy adalah figur muda yang banyak diinginkan publik, sedangkan Esthon sosok senior yang namanya sering disebut oleh presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto. Esthon, Wakil Gubernur NTT 2008-2013, adalah figur yang dihormati di Gerindra. Esthon punya basis pemilih loyal. Apakah ini saatnya Esthon?
Di luar tiga nama itu muncul juga nama lain, seperti mantan Kepala Polda NTT Johni Asadoma yang secara terbuka sudah mulai bermanuver. Selama pekan ini, Johni datang mendaftar ke Partai Gerinda dan Partai Solidaritas Indonesia. Johni menjadi figur pertama yang mulai menghangatkan dinamika Pilgub NTT.
Kini publik menunggu manuver Melki, Ansy, dan Esthon, apakah mereka memilih jalan aman sebagai anggota DPR RI atau mengambil risiko untuk bertarung dalam Pilgub NTT. Ini sekaligus ajang pembuktian diri bahwa pemimpin sejati adalah orang yang berani mengambil risiko dan tidak takut kehilangan jabatan.