Mitigasi Bencana Indonesia Butuh Teknologi dan Inovasi Peringatan Dini
Sekitar 5.400 bencana terjadi di tahun 2023. Pengembangan inovasi dan teknologi dibutuhkan untuk beradaptasi.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Indonesia sebagai negara yang rawan bencana perlu menerapkan teknologi dan inovasi dalam mengembangkan sistem peringatan dini. Kapasitas dalam mitigasi dan peringatan dini melalui kemajuan ini diharapkan dapat meminimalisasi risiko bencana.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana di Bandung, Jawa Barat, Rabu (24/4/2024), menekankan, penanggulangan bencana harus dieksekusi secara sinergis, cepat, aman, dan akurat. Tindakan preventif ini dilakukan dengan kolaborasi lintas sektor dan harus dilakukan dengan konsisten.
Menurut Wapres, penerapan teknologi dalam penanggulangan bencana harus menjadi perhatian. Gempa dengan magnitudo 7,2 yang terjadi di Taiwan 3 April 2024 menjadi contoh penanganan dini karena mampu meminimalisasi korban jiwa karena memiliki pengetahuan sumber gempa yang baik.
Gempa besar yang mengguncang wilayah Hualien itu menewaskan setidaknya 17 orang. Gempa susulan pun terjadi hingga lebih dari 1.000 kejadian dan menggoyang gedung-gedung di wilayah utara, timur, dan barat Taiwan. Bahkan, sepanjang Senin malam hingga Selasa (22-23/4/2024) dini hari, terjadi lebih dari 200 gempa susulan tetapi tidak berdampak korban jiwa (Kompas.id, 23/4/2024).
”Pengalaman dari negara maju hendaknya jadi pembelajaran. Berkaca dari ini (gempa Taiwan), saya meminta pengembangan teknologi dan inovasi dalam penanggulangan bencana dalam negeri sebagai kunci terwujudnya efektivitas dan efisiensi aksi dini siap siaga bencana,” ujarnya di hadapan ribuan peserta yang terdiri dari berbagai pihak yang terkait kebencanaan dari pusat dan daerah.
Pemetaan risiko bencana secara tepat, kata Wapres, perlu diintegrasikan dalam perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup. Dorongan inovasi ini juga harus diikuti partisipasi semua elemen sektor, seperti swasta, akademisi, hingga masyarakat.
”Hal ini menjadi penting untuk mengendalikan risiko bencana yang ada, mengurangi timbulnya risiko bencana baru, perkuat layanan kebencanaan, hingga penguatan kelembagaan. Kebijakan pemulihan pascabencana perlu dipastikan dengan pembagian pusat dan daerah secara proporsional dalam membangun kemandirian masyarakat,” ujarnya.
Kesiapsiagaan ini menjadi bekal dalam menghadapi potensi bencana yang tinggi di Indonesia. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto memaparkan, pihaknya telah mencatat 5.400 kejadian bencana di tahun 2023. Angka ini naik 52 persen dari tahun sebelumnya.
”Kenaikan ini karena perubahan iklim, urbanisasi, dan perubahan tata guna lahan. Namun, dari sisi dampak bencana, seperti korban jiwa yang meninggal, hilang, dan luka-luka, kerusakan infrastruktur hingga fasilitas yang ada, menunjukkan tren penurunan signifikan,” ujarnya.
Berdasarkan data yang dihimpun BNPB, korban jiwa yang meninggal hilang dan luka-luka di tengah bencana tahun 2023 mencapai 6.061 jiwa. Angka ini turun 36 persen, dari 9.628 jiwa pada tahun 2022. Kerusakan infrastruktur juga menunjukkan penurunan, dari 97.891 unit di tahun 2022 menjadi 35.933 unit di tahun 2023 atau menurun sebesar 63 persen.
Suharyanto juga menyinggung tantangan bencana ke depan yang semakin kompleks dan signifikan. Inovasi dan teknologi untuk mendukung respons cepat dalam menunjang ekosistem aksi dini di tingkat masyarakat di tengah perubahan ini. Salah satu hal yang disoroti oleh Suharyanto adalah potensi bencana di tengah perubahan iklim seperti El Nino yang berkaitan dengan kemarau panjang.
Berdasarkan data yang dihimpun BNPB, korban jiwa yang meninggal hilang dan luka-luka di tengah bencana tahun 2023 mencapai 6.061 jiwa.
Pada El Nino moderat di tahun 2023, lahan terbakar mencapai 1,16 juta hektar. Menurut Suharyanto, angka ini berkurang 27 persen dibandingkan El Nino periode lemah di tahun 2019 yang mencapai 1,6 juta hektar. Pendampingan dan upaya pencegahan sejak awal mampu menekan eskalasi kebakaran hutan serta optimalisasi teknologi modifikasi cuaca mampu menekan potensi bencana.
”Optimalisasi teknologi modifikasi mampu menekan eskalasi kebakaran hutan dan sehingga tidak ada asap yang melintasi batas negara di tahun 2023. Keselarasan antara strategi dan kebijakan yang mampu menjawab tantangan ini harus didukung inovasi dan teknologi dalam menunjang aksi ini di tingkat masyarakat,” ujarnya.