Serangan Buaya Sisakan Trauma hingga Kehilangan Nyawa, Mitigasi Harus Jadi yang Utama
Serangan buaya terjadi di Sanggau, Kalbar. Korban kehilangan setengah kaki kanannya.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
Natalia (32) lolos dari mulut buaya muara (Crocodylus porosus). Namun, warga Dusun Kelapuk, Desa Kampung Baru, Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat itu harus merelakan kehilangan hampir separuh kaki kanannya. Tidak hanya luka fisik, dia juga trauma berat setelah serangan tak terduga di tepi Sungai Kelapuk, anak Sungai Kapuas itu.
Kamis (25/4/2024), Natalia terbaring lemas di ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Santo Antonius Kota Pontianak, Kalbar. Tatapannya masih kosong. Wajahnya pucat. Di hidungnya terpasang selang oksigen.
Serangan buaya yang terjadi sehari sebelumnya menyisakan trauma begitu mendalam. Bekasnya samar-samar terlihat kendati berbalut selimut. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Siang itu, Limseng (44), suami Natalia, tidak pernah beranjak dari ruang perawatan.
”Kejadian seperti ini baru terjadi pertama kali di dusun kami,” kata Limseng.
Dari cerita istrinya, Limseng mengatakan, kejadian itu terjadi pada Rabu pukul 06.00 WIB. Saat itu, Natalia tengah mencuci baju di lanting di tepian Sungai Kelapuk.
Lanting tersusun dari rangkaian kayu yang mengapung di sungai. Lanting biasanya dipergunakan untuk tempat warga mencuci dan mandi di tepi sungai. Lanting ditemui di kampung-kampung yang berada di tepi sungai.
Limseng tidak ingat berapa lama tarik-menarik itu berlangsung. Yang pasti Natalia berhasil diselamatkan. Hanya saja, Natalia harus kehilangan separuh kaki kanannya dibawa pergi buaya.
Natalia lalu dibawa ke puskesmas terdekat menggunakan perahu cepat. Waktunya sekitar 40 menit dari Dusun Kelapuk. Namun, karena kondisi lukanya, Natalia segera dirujuk ke rumah sakit pada Rabu sore.
”Bingung juga ini dengan biaya (pengobatan) segala macam,” tuturnya.
Seusai kejadian, kata Limseng, warga di kampung waspada. Warga cemas buaya sepanjang 6-7 meter itu bakal datang lagi.
Membatasi aktivitas
Nias, Kepala Desa Kampung Baru, menuturkan, pascakejadian tersebut, warga diminta membatasi diri beraktivitas di sungai. Warga diminta jangan dulu ke sungai dan berhati-hati.
Untuk kebutuhan sehari-hari, warga mengambil air dengan mesin air. Di kampung juga ada parit yang airnya bisa dipergunakan untuk mandi. Nias cemas serangan buaya bakal datang lagi.
Kekhwatiran itu bukan tanpa alasan. Meski baru di Kelapuk, kejadian buaya menyerang manusia pernah terjadi di Dusun Tanjung Beringin. Kawasan itu ada di Kabupaten Kubu Raya, tapi bertetangga dengan Kelapuk. Saat itu, korbannya meninggal.
Bahkan, beberapa minggu sebelum Natalia diterkam, beberapa buaya muncul di pesisir sungai wilayah hilir di Kubu Raya, sekitar 20 kilometer dari Dusun Kelapuk.
Warga melihat buaya berenang ke hulu. Dari laporan warga, ada ternak di daerah pesisir yang dimakan buaya.
Tidak hanya di Kalbar, buaya menyerang manusia juga pernah terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air.
Kita harus sadar di mana ada buaya. Manusia memahami dulu ada buaya. Bukan berarti manusia harus pindah, tetapi mengurangi aktivitas yang memungkinkan manusia bersentuhan dengan buaya agar tidak sampai diserang.
Pada Minggu (8/1/2023), seorang remaja ditemukan tewas di sekitar kanal area pertambakan Kampung Bumi Dipasena Agung, Kecamatan Rawajitu Timur, Tulang Bawang, Lampung, akibat diserang buaya. Serangan buaya terhadap manusia terjadi di Sulawesi Tenggara pada Minggu (17/12/2023).
Wakil Direktur Institut Dayakologi Richardus Giring menuturkan, pihaknya pernah melakukan riset tentang sejarah dan kebudayaan di sekitar Sungai Kapuas dan anak sungainya pada 2021-2022. Bentang alamnya disebut sudah banyak beralih fungsi.
Kondisi itu, kata Giring, diduga ikut mengganggu habitat buaya. ”Buaya kemungkinan kehilangan sumber makanan. Salah satu sumber makanannya biasanya dari binatang di hutan yang kebetulan mencari minum di pinggir sungai,” kata Giring.
Kalau binatang sudah tidak ada lagi karena kehilangan habitatnya, buaya pun tidak memiliki sumber makanan lagi. Dengan demikian, buaya mencari sumber makanan ke kawasan lain yang fatalnya dekat dengan aktivitas manusia.
Pagar pengaman
Ahli Ekologi Satwa Liar dan Herpetologi IPB University Mirza Kusrini menuturkan, buaya adalah salah satu komponen ekosistem. ”Kalau bicara rantai makanan, buaya salah satu predator puncak atau top predator,” ujar Mirza.
Kalau ada buaya, kita bisa mengasumsikan seharusnya di sana rantai makanannya cukup baik, jika ada ikan-ikan sebagai salah satu makanannya. Makanan buaya biasanya selain ikan, juga ular air dan biawak yang ada di alam dalam kondisi normal.
”Namun, buaya juga oportunis. Kalau ada kesempatan, ada sapi berenang juga jadi makanan. Tapi, saya tidak tahu bagaimana populasinya di lokasi tempatnya menyerang manusia. Bagaimana populasi ikan di sana, apakah mulai berkurang atau bagaimana,” ujarnya lagi.
Konflik dengan buaya mungkin bisa terjadi di habitat yang memang ada buaya. Apalagi kalau aktivitas manusia sangat bersinggungan dengan tempat buaya beraktivitas. Jika demikian, besar sekali kemungkinan manusia dianggap sebagai mangsa oleh buaya.
Mirza pernah beberapa kali melakukan penelitian melihat konflik manusia dengan buaya di Sulawesi dan Kalimantan. Titik konflik yang besar terjadi, di mana ada buaya, ada kegiatan manusia juga di lokasi yang sama.
”Kita harus sadar di mana ada buaya. Manusia memahami dulu ada buaya. Bukan berarti manusia harus pindah, tetapi mengurangi aktivitas yang memungkinkan manusia bersentuhan dengan buaya agar tidak sampai diserang,” katanya.
Selain itu, langkah teknis juga bisa dilakukan. Di India, misalnya, kampung-kampung di pinggir sungai membuat pagar di air. Pagar ditutupi dengan jaring sampai ke bawah agar buaya tidak bisa masuk.
Sulit menyalahkan insting satwa liar ketika insiden buaya menyerang manusia terjadi. Mitigasi yang dilakukan manusia di sekitar wilayah rawan mesti jadi kunci agar kejadian serupa tidak terulang lagi.