Dibui dan Dirantai di Malaysia, Potret Buram Nelayan Natuna yang Tersingkir di Laut Sendiri
Mencari ikan di utara, nelayan Natuna bertemu kapal asing. Menyingkir ke timur, mereka ditangkap aparat Malaysia.
Sebuah perahu yang panjangnya tak lebih dari 7 meter melaju di Laut Natuna Utara, Selasa (16/4/2024). Haluan kapal kayu yang dikemudikan Yuni (26) itu mengarah ke laut yang berbatasan dengan perairan Serawak, Malaysia.
Beberapa jam sebelumnya, nelayan lain, Deki (40), meminta Yuni menuju koordinat sekitar 4 derajat Lintang Utara dan 110 derajat Bujur Timur. Deki kehabisan oli mesin. Perahu mereka terpaut jarak sekitar 30 kilometer.
Yuni dan Deki berasal dari Pulau Subi, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Pulau kecil itu letaknya lebih dekat dengan Kalimantan daripada dengan pusat Provinsi Kepri di Pulau Bintan.
Mendengar kawannya butuh bantuan, Yuni segera tancap gas. Ia memperkirakan akan sampai di lokasi Deki 2-3 jam lagi. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba terdengar suara Deki dari radio komunikasi.
”Jangan ke sini! Aku kena tarik,” kata Deki tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Melihat lokasi terakhir Deki, Yuni merasa sesuatu yang buruk telah terjadi pada kawannya itu. Dua tahun belakangan, banyak nelayan Natuna ditangkap aparat Malaysia di perairan itu.
Kabar tentang Deki baru sampai ke Serasan dua hari kemudian. Sebuah rekaman video memperlihatkan Deki dan tujuh nelayan lain ditahan penjaga pantai atau Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM).
”Miris sekali lihat tangan mereka sampai dirantai gitu. Apa salah mereka? Kami tahunya tempat mereka tangkap ikan itu masih wilayah Indonesia,” ujar Yuni.
Konsul Jenderal RI di Kuching, Malaysia, Raden Sigit Witjaksono mengatakan, APMM menangkap tiga perahu dan delapan nelayan asal Natuna. Mereka masuk ke perairan Malaysia sejauh 13 batu atau 20,9 kilometer.
”Kami prihatin karena (penangkapan nelayan Natuna) ini sudah kesekian kalinya dalam waktu yang berdekatan,” kata Sigit saat konferensi pers daring pada 24 April.
Sepanjang 2024 ada 14 nelayan Natuna yang ditangkap APMM di perairan Serawak. Selain kasus Deki dan kawan-kawan, APMM juga menangkap dua nelayan pada 9 Februari dan empat orang pada 9 Maret.
Baca juga: Ditangkap Aparat Malaysia, Nelayan Natuna Terancam Denda Miliaran Rupiah
Empat orang yang ditangkap pada Februari 2024 telah dijatuhi hukuman penjara 4-5 bulan. Selain itu, nakhoda dikenai denda Rp 3,3 miliar dan anak buah Rp 1 miliar. Karena mereka tidak mampu membayar denda, maka pengadilan menjatuhkan kurungan tambahan selama dua bulan.
”Siapa yang sanggup (membayar)? Pemprov Kepri, Kementerian Luar Negeri, atau KJRI Kuching tidak bisa. Habis membayar itu mungkin besok kami tak ada layanan lagi. Itu kami sampaikan saja terus terang,” ucap Sigit.
Perairan sengketa
Dari data yang dihimpun Kompas, tiga perahu nelayan Natuna itu ditangkap Kapal Tun Fatimah milik APMM di koordinat sekitar 4 derajat Lintang Utara dan 110 derajat Bujur Tmur. Lokasi itu adalah wilayah abu-abu karena ada tumpang tindih klaim zona ekonomi eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Malaysia.
Analis senior Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Imam Prakoso, mengatakan, Indonesia dan Malaysia belum menyepakati batas ZEE di perairan Natuna dan Serawak. Dokumen Konsep Penetapan Batas ZEE Indonesia-Malaysia di Laut China Selatan yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan menyebut kedua negara baru menyepakati batas landas kontinen (Kompas, 25/4/2024).
Menanggapi hal itu, Sigit mengatakan, tidak ada tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Malaysia di perairan Serawak. APMM menyatakan kepada Sigit, wilayah abu-abu hanya ada di Selat Malaka.
KJRI belum mengantongi informasi koordinat lokasi penangkapan delapan nelayan Natuna dari APMM. Lembaga penjaga pantai Malaysia itu berjanji bakal memberikan data itu dalam dua hari ke depan.
Miris sekali lihat tangan mereka sampai dirantai gitu. Apa salah mereka? Kami tahunya tempat mereka tangkap ikan itu masih wilayah Indonesia.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim menilai, penegakan hukum di perairan sengketa seharusnya juga mengacu pada nota kesepahaman (MoU) tentang pedoman umum perlakuan terhadap nelayan oleh Badan Hukum Maritim yang telah disepakati Indonesia dan Malaysia di Bali pada 27 Januari 2011.
Berdasarkan MoU tersebut, APMM dan Badan Keamanan Laut RI hanya boleh melakukan pengusiran terhadap nelayan yang dianggap melanggar tapal batas. Penangkapan baru boleh dilakukan jika ditemukan ada pelanggaran pidana lain, misalnya penyelundupan narkoba atau perdagangan manusia.
Baca juga: Armada “Kapal Hantu” di Laut Natuna Utara
Kian tersisih
Penggunaan alat tangkap yang merusak oleh kapal dari luar dan dalam negeri mengakibatkan merosotnya sumber daya perikanan di Natuna. Nelayan lokal kini harus melaut sampai perairan perbatasan dan menanggung risiko ditangkap aparat asing.
Dedi (39), nelayan yang tinggal di Pulau Bunguran, mengaku berkali-kali disergap APMM di lokasi Deki dan kawan-kawan tertangkap. Beruntung ia tidak ditahan, APMM hanya menyita seluruh ikan tangkapan.
”Di utara ikan dihabisi kapal Vietnam, di timur nelayan ditakut-takuti aparat Malaysia. Sekarang kami harus cari makan di mana lagi,” ujarnya.
Adapun nelayan yang tinggal di Pulau Subi, Darmazi (52), mengeluhkan maraknya kapal cantrang asal pantai utara Jawa. Kapal-kapal berukuran lebih dari 10 kali lipat perahun nelayan lokal itu sering kedapatan menangkap ikan sampai ke perairan yang berjarak kurang dari 7 kilometer dari garis pantai.
”Di laut yang dekat sudah payah cari ikan. Makanya, kadang nelayan harus cari sampai dekat perbatasan. Kalau enggak gitu, anak istri enggak makan,” ucapnya.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin menilai, komitmen negara untuk menjamin wilayah tangkap yang aman bagi nelayan harus ditagih. Maraknya penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal asing membuat visi Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia semakin jauh panggang dari api.
Selain itu, persoalan konflik nelayan tradisional Natuna dengan nelayan skala besar dari daerah lain juga mendesak diatasi. Masyarakat setempat yang hidup dan tinggal di sana seharusnya menjadi prioritas dalam upaya negara memaksimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan di Natuna.
”Kalau dua masalah itu tidak segera diatasi, nelayan di Natuna selamanya akan menjadi tamu di rumah sendiri,” ucap Parid.