Record Store Day Kaltim, Menikmati Musik dari Rilisan Fisik
Industri kreatif Kaltim berkumpul, berbagi pengalaman, dan merayakan rilisan fisik industri musik di Record Store Day.
Alih-alih duduk santai di lapaknya, Dwin asik menghampiri dan mengobrol dengan orang yang ia tak kenal sebelumnya. Lelaki 47 tahun itu antusias menjelaskan sejumlah pencapaian grup musik lokal.
Sambil menunjukkan rilisan kaset pita, cakram (CD), dan piringan hitam, ia begitu bergairah bercerita. Sudut salah satu kafe Kopi Kanam, Balikpapan, Kalimantan Timur, jadi tempatnya bicara tentang cintanya pada musik.
Malam itu, Minggu (28/4/2024), ia memandu salah satu pengunjung untuk merasakan pengalaman mendengarkan musik dari rilisan fisik. Ia mengambil album grup musik lokal asal Balikpapan, yakni Superego dan Infact.
Dwin lantas masukkan kaset pita ke walkman, menyambungkan earphone dan klik! Kaset pita berputar dan pengunjung itu mendengarkan musiknya.
”Beda, kan, dengerin musik lewat rilisan fisik?” kata pria bernama lengkap Erwind Dwi Yanto itu.
Pengunjung di hadapannya mengangguk. Dwin kemudian memandu pengunjung itu untuk mendengarkan musik dari piringan hitam dan menjelaskan berbagai hal.
Adegan mencolok itu menunjukkan rilisan fisik tak benar-benar padam. Ia masih ada dan diminati oleh sejumlah kalangan.
Ada yang penasaran, ingin bernostalgia, merasakan sensasi lain menikmati musik, dan mengoleksi rilisan fisik yang puluhan tahun lalu belum sempat mereka miliki.
Kegiatan Dwin malam itu adalah bagian dari perhelatan Record Store Day East Borneo 2024. Itu adalah pergelaran untuk merawat toko musik independen yang konsisten menjual berbagai rilisan fisik musisi di Kaltim.
Digelar pada 27-28 April 2024, sedikitnya 17 stan menjajakan berbagai rilisan musisi lokal hingga musisi dunia. Selain kaset, CD, dan piringan hitam, sejumlah stan juga menjajakan kaus musisi lokal hingga internasional dan buku.
Baca juga: Belanja Rilisan Fisik di Record Store Day Indonesia Market
Menilik sejarahnya, Record Store Day pertama kali diinisiasi oleh Eric Levin dan teman-temannya di Amerika Serikat pada 2007. Konsep utamanya, menghelat kegiatan untuk menghidupkan toko kaset independen yang menjual rilisan fisik. Itu dilakukan untuk menjaga industri tersebut bertahan di tengah perkembangan musik digital.
Semangat itu yang dibawa ke Indonesia, termasuk Kaltim. Gelaran ini dilaksanakan pada April, seperti di Amerika Serikat.
Di tingkat lokal Kaltim, Dwin merupakan salah satu eksponen musik independen lokal di Balikpapan. Ia pernah tergabung sebagai vokalis grup musik cadas In Fact yang saat ini bermetamorfosis sebagai Infact.
Kendati sudah tak aktif bermusik lagi, Dwin tetap menjalankan kegiatan di seputar industri musik lokal. Sejak tahun 2000, ia menjalankan bisnis distro sekaligus label rekaman, Bandit Records.
Saat ini, Bandit Records pun menjajakan rilisan fisik berupa kaset pita. Mereka juga tetap terhubung dengan musisi lokal Kaltim.
”Rilisan fisik punya kesan tersendiri karena bisa dikoleksi, dipegang, ada semacam nostalgianya, dan ada kesan berbeda mendengarkan musiknya,” ujar Dwin.
Kendati saat ini musik digital mudah diakses, masih ada saja yang datang ke toko milik Dwin. Selain generasi 60-90-an, anak-anak muda dari generasi Z pun ada yang mulai tertarik mengoleksi dan mendengarkan musik dari rilisan fisik di toko Dwin.
Pertama kali
Naufal Al Habsyi (37), Program Director Record Store Day East Borneo 2024, mengatakan, Dwin adalah eksponen yang bertahan di industri musik lokal. Sejak tahun 2000, Dwin sudah membidani sejumlah grup musik lokal untuk merilis kaset.
Menurut Boim, sapaan Naufal Al Habsyi, sosok seperti Dwin berjasa bagi musisi Balikpapan. Selain membantu merilis kaset, ada hal lain yang menyertainya, seperti jaringan pertemanan, pengetahuan musik, informasi mengenai grup musik di luar Kaltim, dan seterusnya.
Untuk itulah, ia dan sejumlah pegiat musik di Kaltim sepakat menggelar Record Store Day East Borneo 2024. Ini, kata Boim, adalah pergelaran pertama di provinsi ini yang melaksanakan kegiatan serupa dengan embel-embel Kaltim.
Sebelumnya, pada 2012, Record Store Day digelar pertama kali di Samarinda. Baru kemudian kegiatan itu digelar di Balikpapan pada 2016.
Kegiatan itu dilakukan beberapa kali pada tahun-tahun selanjutnya. Semula, mereka menautkan nama kota masing-masing dalam kegiatan itu, seperti Record Store Day Samarinda atau Record Store Day Balikpapan.
Di tahun 2024 ini, mereka sepakat menggunakan nama Record Store Day East Borneo. Tujuannya, lanjut Boim, agar pergelaran ini bisa membuka jalan bagi semua pegiat industri kreatif di Kaltim.
Baca juga: Hikayat Kaset yang Awet
”Tujuan utamanya itu di setiap kota di Kaltim bisa ada offline record store. Kalau sudah ada, acara seperti bazar ini tidak perlu ada lagi,” ujar Boim.
Menurut dia, gelaran Record Store Day penting dilakukan untuk mengenalkan industri kreatif ini di Kaltim. Sebab, di Kaltim sendiri sudah banyak lahir musisi atau grup musik.
Seiring dengan itu, banyak individu terlibat, seperti pembuat ilustrasi kaset atau kaus, studio musik, studio rekaman, hingga pihak yang memperbanyak kaset. Ekosistem itu, lanjut Boim, perlu terus dikenalkan agar lebih diterima publik luas, setidaknya di Kaltim sendiri.
Ia mengatakan, rilisan fisik, seperti kaset, CD, atau piringan hitam, bisa menjadi alternatif untuk menikmati musik di era digital saat ini. Di sisi lain, itu bisa menjadi peluang bagi grup musik menghampiri pendengarnya; memberi pengalaman dengan menghadirkan kaset atau sejenisnya untuk dikoleksi dan didengarkan.
Baca juga: Balada Kota di Piringan Hitam
Selain menghadirkan toko kaset independen, Record Store Day East Borneo 2024 juga mengenalkan sejumlah sosok penting di industri musik lokal. Mereka menggelar diskusi untuk melihat apa saja peluang dan tantangan para musisi lokal.
Pergelaran ini juga menghadirkan pegiat yang mendukung industri musik lokal. Misalnya, Record Store Day mengikutsertakan Kenstum, jenama lokal yang memproduksi tape deck hand made atau pemutar kaset pita buatan tangan.
”Ini kami hadirkan supaya pengunjung bisa cobain langsung. Sebab, banyak orang yang pernah beli tape deck, tapi gampang rusak. Mengenalkan juga produk karya warga lokal di sini,” lanjut Boim.
Selain itu, ada pula produsen hand made earphone lokal asal Samarinda, yakni Dimas Asrur Fauzi (31). Pria yang karib disapa Pacuel itu memproduksi in ear monitor dengan jenama Posilian.
Produk Posilian sudah digunakan banyak musisi di Indonesia, seperti Vierratale, Virgoun, Saint Loco, Oom Leo, dan sejumlah musisi lain. Dengan harga terjangkau, Rp 350.000-Rp 380.000, Pacuel mendapat sambutan hangat dari para seniman itu.
Tanpa harus merogoh kocek jutaan rupiah dari jenama mapan, para seniman merasa produk Pacuel mempunyai kualitas mumpuni dan nyaman dipakai.
”Selain itu, bisa custom logo. Jadi produknya lebih personal,” katanya.
Pergelaran Record Store Day East Borneo yang dihelat dua hari itu turut merayakan industri musik, terutama berbentuk rilisan fisik yang tetap eksis. Mereka berencana membuat pergelaran ini rutin untuk merawat ekosistemnya.
Bukan tak mau beranjak dan berubah di tengah kemudahan digital, tetapi mereka menawarkan cara merayakan musik dengan jalan lain: menilik sejarahnya, mengenal industri alternatifnya, hingga mendukung industri kreatif lokal berkembang.
Baca juga: Kebangkitan Piringan Hitam, Tetap Eksis meski Tanpa Mendominasi Pasar