Separuh Anak Balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan Mengalami Tengkes
Rapor buruk penanganan ”stunting” dengan anggaran besar membuat publik geram. Isu ”stunting” terkesan dijadikan proyek.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Hasil Survei Kesehatan Indonesia menunjukkan prevalensi stunting atau tengkes di Nusa Tenggara Timur tahun 2023 pada angka 37,9 atau naik dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 35,3. Sebanyak 17 dari 22 kabupaten/kota di NTT mengalami kenaikan angka prevalensi. Publik mempertanyakan penggunaan anggaran penanganan stunting yang mencapai Rp 214,3 miliar pada tahun 2023.
Data yang dihimpun Kompas hingga Sabtu (4/5/2024) pagi menyebutkan, NTT berada di peringkat kedua teratas setelah Papua Tengah. Provinsi yang baru dimekarkan dari provinsi induk Papua itu mencatatkan prevalensi stunting pada angka 39,4. Sebelum ada provinsi baru itu, NTT selalu berada pada urutan teratas.
Dari 22 kabupaten/kota di NTT, Kabupaten Timor Tengah Selatan menempati urutan tertinggi angka stunting, yakni 50,1. Itu berarti, satu dari dua anak balita di daerah itu dalam kondisi stunting. Prevalensi stunting di daerah itu bahkan menjadi yang tertinggi di Indonesia.
Angka prevalensi tahun 2023 malah naik jika dibandingkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2021 sebesar 48,3 dan tahun 2022 sebesar 45,2. Kunjungan Presiden Joko Widodo untuk melihat penanganan stunting di Timor Tengah Selatan beberapa waktu lalu rupanya tidak memberi efek positif.
Tertinggi kedua adalah Kabupaten Belu dengan prevalensi 48,1. Angka ini naik dari tahun sebelumnya, yakni 36,6. Kenaikan lebih dari 10 persen terjadi di daerah yang dipimpin oleh bupati berlatar belakang dokter. Kini, 49 dari 100 anak di sana dalam keadaan stunting.
Posisi tertinggi ketiga ditempati Kabupaten Malaka dengan prevalensi 47,7 atau sebanyak 48 dari 100 anak dalam keadaan stunting. Angka ini naik dari tahun sebelumnya sebesar 32,9. Malaka mencatatkan kenaikan sangat signifikan.
Sementara daerah yang mencatatkan penurunan adalah Kabupaten Ngada, dari 31,2 menjadi 21,3. Ngada merupakan daerah di NTT dengan prevalensi stunting terendah. Kemudian, menyusul Nagekeo dengan angka 24,9 dan Ende 27,5. Dua daerah itu juga mencatatkan penurunan.
Total hanya lima dari 22 kabupaten/kota yang mengalami penurunan prevalensi. Dua daerah lain adalah Kabupaten Sumba Timur dari 32,2 menjadi 26,3 dan Manggarai Barat dari 38,9 menjadi 36,2. Satu daerah yang stagnan adalah Kabupaten Kupang pada angka 38,4.
Kenaikan prevalensi stunting ini justru terjadi ketika anggaran yang digelontorkan terus meningkat. Secara nasional, total anggaran yang dialokasikan pada tahun 2023 lebih kurang Rp 30 triliun. Kenaikan anggaran secara nasional otomatis diikuti kenaikan di daerah.
Sekadar membandingkan, anggaran penanganan stunting secara nasional pada tahun 2019 sebesar Rp 29,3 triliun, tahun 2020 sebesar Rp 27,5 triliun, tahun 2021 sebesar Rp 35,3 triliun, dan tahun 2022 menjadi Rp 34,2 triliun.
Untuk NTT, pada tahun 2023, total anggaran yang digelontorkan untuk penanganan stunting lebih kurang Rp 214,3 miliar. Rinciannya, untuk dana alokasi khusus fisik sebesar Rp 36,3 miliar, bantuan operasional keluarga berencana Rp 137,9 miliar, dan pemberian makanan tambahan Rp 40,1 miliar.
Potensi ”stunting”
Hal yang perlu dilakukan adalah mencegah risiko stunting agar tidak terjadi lagi penambahan di masa mendatang. Dari total 638.837 keluarga di NTT, 385.068 keluarga di antaranya dinyatakan berisiko stunting.
Risiko itu dilihat dari keluarga yang tidak punya air minum layak sebanyak 128.629 keluarga dan keluarga yang tidak punya jamban layak sebanyak 231.765 keluarga. Pengadaan air bersih dan jamban untuk menciptakan sanitasi total perlu dilakukan segera. Buruknya sanitasi dapat menyuburkan stunting.
Selain itu, keluarga dari sejumlah pernikahan juga memiliki risiko stunting. Saat ini tercatat 2.569 orang di NTT menikah terlalu muda, yakni di bawah 20 tahun; 165.753 perempuan menikah terlalu tua, yakni 35-40 tahun; 7.978 pasangan memiliki anak dengan jarak terlalu dekat, yakni kurang dua tahun; dan 276.726 pasangan terlalu banyak anak, yakni lebih dari tiga anak.
Rapor buruk penanganan stunting di tengah anggaran yang tinggi membuat publik geram. Kinerja pemerintah dalam penanganan stunting pun dipertanyakan. Berbagai spekulasi liar beredar bahwa stunting dijadikan obyek proyek oleh pihak-pihak tertentu. Sampai ada kesan bahwa isu stunting sengaja dieksploitasi demi keuntungan sesaat.
Kepala Dinas Kesehatan NTT Iien Adriany belum mau memberikan tanggapan atas peningkatan prevalensi stunting di NTT. ”Pas (waktu) longgar kami kabari, ya,” ujarnya. Iien belum lama mengisi jabatan tersebut.
Kendati demikian, Penjabat Gubernur NTT Ayodhia GL Kalake dalam sejumlah kesempatan mengingatkan para pemangku kepentingan, termasuk kepala daerah di kabupaten/kota, agar bersinergi mengatasi stunting. Dalam kunjungannya ke masyarakat, ia kerap membagikan makanan bergizi secara simbolis.
Ayodhia selalu mengimbau masyarakat untuk mengonsumsi makanan bergizi yang bisa diambil di lingkungan sekitar. Ia mengajak masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal bergizi.
Ia mengakui pula bahwa stunting erat kaitannya dengan kemiskinan. Banyak orang miskin tidak mampu mengakses makanan bergizi serta sanitasi yang sehat.
’Stunting’ itu bisa dicegah sejak persiapan kehamilan.
Untuk menahan laju kenaikan angka stunting, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional NTT Dadi Ahmad Roswandi menyarankan agar intervensi kepada keluarga berisiko stunting diperkuat. Intervensi itu berupa pemberian makanan bergizi serta pembangunan akses air bersih dan jamban.
Untuk jangka panjang, masyarakat harus disadarkan agar melakukan perencanaan secara matang sebelum hidup berumah tangga. Salah satunya mempersiapkan proses kehamilan. Calon ibu harus benar-benar sehat dan memiliki kecukupan gizi.
”Stunting itu bisa dicegah sejak persiapan kehamilan,” katanya.
Vinsen Kia Beda, Direktur Yayasan Pijar Timur Indonesia, mengatakan, kenaikan angka stunting di NTT di tengah banyaknya anggaran yang digelontorkan adalah rapor buruk pemerintah. Ia mendorong pemerintah lebih serius. Penanganan stunting tidak hanya bersifat simbolis seperti yang banyak dipertontonkan saat ini.
”Jangan pula ini dijadikan proyek. Penanganan stunting ini kerja kemanusiaan,” kata Vinsen, yang sering terlibat dalam program penanganan stunting di Pulau Timor itu.
Masyarkat juga diharapkan semakin sadar dengan tidak sengaja ”memelihara stunting”. Ada orangtua yang sengaja membiarkan anaknya terus mendapat bantuan dari pemerintah.