Juma’ali, Dalang Wayang Wolak-walik, Berpulang di Malang
Dalang wayang wolak-walik, Juma’ali, meninggal dunia di Malang, Jawa Timur, karena penyakit jantung.
Oleh
DEFRI WERDIONO, DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Juma’ali (57), seniman yang dikenal sebagai dalang wayang wolak-walik, meninggal pada Minggu (5/5/2024) siang di Malang, Jawa Timur. Selama hidupnya, Juma’ali dikenal sebagai seniman yang penuh improvisasi sekaligus gigih memperjuangkan kemajuan seni dan budaya.
Menurut anak Juma’ali, Damar Rell Kalyaj, sang ayah meninggal akibat penyakit jantung. Beberapa tahun lalu, Juma’ali pernah terkena serangan jantung dan sempat dirawat di rumah sakit.
”Tahun 2019 pernah serangan jantung juga, diperiksakan di Rumah Sakit Lavalette, Malang. Sejak saat itu tidak mau periksa lagi,” kata Damar saat ditemui di rumah duka.
Salah seorang seniman Malang sekaligus teman almarhum, Rurid Rudianto, menuturkan pada Minggu sekitar pukul 10.00, Juma’ali datang ke warung miliknya di daerah Sukun, Kepanjen, Kabupaten Malang. Lelaki yang akrab disapa Lek Jum itu kemudian duduk di gazebo bagian belakang untuk ngopi.
”Seperti biasa dia langsung duduk di tempat ‘kekuasannya’. Orangnya masih segar bugar, wong biasanya malah datang lebih pagi. Hampir setiap hari dia ke sini, terkadang dia datang sebelum pramusaji tiba,” tutur Rurid.
Menurut Rurid, seperti biasa, Juma’ali saat itu memesan kopi tubruk tanpa gula dan air putih hangat. Setelah itu, Juma’ali tertidur.
”Informasinya kok dia tidur lama berbantalkan tas miliknya. Sekitar jam 13.00, katanya masih ngorok-ngorok. Denyut nadinya masih terasa. Saya lalu telepon istri suruh bawa ke rumah sakit,” tuturnya.
Akan tetapi, Juma’ali ternyata telah mengembuskan nafas terakhir. Menurut Rurid, beberapa hari sebelumnya, Juma’ali memang sempat mengeluh badan dan tangannya dingin. Dia pun telah disarankan untuk berobat.
Pada Minggu ini, Juma’ali sebenarnya berencana pergi ke Yogyakarta untuk menghadiri acara Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi).
Rurid menilai, Juma’ali merupakan guru dan teladan bagi banyak seniman lain. ”Orangnya ikhlas, tidak pernah mengeluh, dan selalu berjuang untuk kemajuan seni dan budaya,” ujarnya.
Selama ini, Juma’ali dikenal sebagai dalang wayang wolak-walik. Berbeda dengan wayang konvensional, wayang wolak-walik tak mengenal pakem, baik dari sisi alur cerita maupun penokohan.
Dari segi bentuk, wayang wolak-walik sama dengan wayang kulit pada umumnya. Namun, jika pada pertunjukan wayang kulit biasanya hanya ada seorang dalang yang memainkan wayang dari satu sisi layar, wayang wolak-walik layar bisa digunakan oleh dua dalang dari dua sisi layar.
Salah satu dalang dalam wayang wolak-walik juga bisa digantikan siapa saja yang ingin terlibat langsung dalam pertujukan. Keberadaan mereka juga bisa diganti dengan kesenian lain yang mendukung tema pentas, seperti tarian dan lainnya.
Dalam wawancara dengan Kompas, beberapa waktu lalu, Juma’ali menyebutkan, wayang wolak-walik menggambarkan kondisi saat ini di mana orang yang memiliki kekuasaan dan harta bisa membolak-balikkan keadaan.
”Secara fisolofis, wolak-walik kan sekarang siapa yang punya kuasa bisa membuat hal benar jadi salah dan sebaliknya. Sedangkan orang lurus tak mendapat tempat. Jadi, secara fisosofis, apa saja bisa dibuat baik atau buruk oleh siapa pun yang berkuasa, yang punya uang,” ucap Juma'ali.
Anak-anak tengah bermain wayang wolak walik bersama Juma'ali, beberapa waktu lalu.
Dalam sebuah tulisan di media sosial terkait meninggalnya Juma’ali, budayawan Malang, Dwi Cahyono, mengatakan, almarhum merupakan sosok yang istikamah meniti jalur kesenian. Aktivitas Juma’ali juga tak hanya di wilayah Malang Raya, tetapi hingga ke luar Jawa Timur.
”Improvisasi dan spontanitasnya mengalir, interaktif, menjadi ciri yang melekat pada penyajian seninya. Tujuannya mengedukasi publik dan memberi kesenangan atau menghibur,” ujar Dwi.
Orangnya ikhlas, tidak pernah mengeluh, dan selalu berjuang untuk kemajuan seni dan budaya.
Menurut Dwi, beberapa tahun terakhir, Juma’ali memperkenalkan sebuah bentuk seni yang disebutnya sebagai ”sastra cocot”. Dalam bahasa Jawa, cocot berarti mulut.
Dalam penampilan seni tunggalnya itu, Juma’ali yang merupakan mantan mantan Ketua Jurusan Teater di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, tampil sebagai pencerita sekaligus pengiring dengan rebana dan simbal.