Tatkala ”Bumi Sriwijaya” Terkucil dari Dunia Internasional
Status Bandara SMB II harus dipulihkan agar tradisi interaksi Palembang dengan dunia internasional tidak punah.
Penurunan status Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dari kelas internasional menjadi domestik menjadi pukulan telak bagi Palembang dan Sumatera Selatan. Untuk pertama kalinya dalam 13 abad terakhir, Palembang yang menjadi jaringan perdagangan internasional sejak era Kedatuan Sriwijaya harus terkucil dari pergaulan internasional.
”Selamat datang di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, Palembang,” ujar pramugari salah satu maskapai penerbangan swasta rute Pangkal Pinang, Bangka Belitung-Palembang saat pesawat mendarat, Sabtu (27/4/2024) siang. Pramugari tak lagi menyematkan kata internasional untuk bandara yang terletak di Talang Betutu, Kecamatan Sukarami, Palembang tersebut.
Ya, sejak terbitnya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional yang ditandatangani pada 2 April 2024, Bandara SMB II tidak masuk dalam 17 bandara yang ditetapkan sebagai bandara internasional. Itu artinya Bandara SMB II turun kasta dari bandara internasional menjadi domestik.
Baca juga: Penurunan Status Bandara Palembang Mempersulit Kebangkitan Ekonomi Sumsel
Dengan demikian, Bandara SMB II tidak akan melayani lagi rute penerbangan langsung dari Palembang ke luar negeri dan sebaliknya. Padahal, laman Angkasapura2.co.id menyatakan, Bandara SMB II telah menyandang status internasional sejak 1 Januari 1950.
Keputusan itu membuat lesu sejumlah pengemudi taksi yang biasa mangkal di Bandara SMB II. Pengemudi taksi jaringan nasional, Jumingan (50), mengatakan, penurunan status Bandara SMB II akan berdampak besar kepada penghasilan para pengemudi taksi di sana.
Sebelum pandemi Covid-19, bandara SMB II bisa melayani 60-an penerbangan per hari, termasuk rute internasional. Itu membuat pengemudi taksi paling sedikit mendapatkan tujuh hingga delapan pesanan dari bandara ke kota dalam sehari. Tarif perjalanan itu rata-rata Rp 85.000 sekali jalan. Namun, situasi berbalik akibat pandemi.
Sejak pandemi, Bandara SMB II hanya melayani sekitar 30 penerbangan sehari. Akibatnya, kami maksimal hanya melayani tiga perjalanan dari bandara ke kota dalam sehari.
”Sejak pandemi, Bandara SMB II hanya melayani sekitar 30 penerbangan sehari. Akibatnya, kami maksimal hanya melayani tiga perjalanan dari bandara ke kota dalam sehari,” kata pengemudi asal Purwokerto, Jawa Tengah tersebut.
Kini, demi menjaga pemasukan sehari-hari, Jumingan dan teman-temannya harus bekerja keras mencari penumpang dengan berkeliling kota. ”Cari penumpang di kota sangat melelahkan karena persaingan semakin ketat sejak ada ojek dan taksi online. Kadang, dalam sehari, saya paling banyak dapat lima-enam pesanan saja,” tuturnya.
Semakin berjarak
Bagi warga 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang, Kiagus Muhammad Habibillah (35), Kamis (9/5/2024), penurunan status Bandara SMB II membuatnya semakin sulit untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar di Singapura. Sejak 2014, Habibillah rutin mengunjungi keluarga dari ibu ayahnya di ”Kota Singa” tersebut.
Habibillah bisa bertandang empat-enam kali dalam setahun. Neneknya dari ayah merantau ke Palembang sekitar awal 1900-an. Habibillah ke Palembang menyusul kakak perempuannya yang lebih dahulu. ”Tapi, saudara-saudara nenek saya di Singapura masih ada sehingga silaturahmi Palembang-Singapura masih terjaga,” ucapnya.
Baca juga: Penurunan Status Bandara Palembang Berisiko Memukul Dunia Pariwisata Sumsel
Hal itu didukung oleh penerbangan rute Palembang-Singapura yang mudah dan murah. Saat itu, sedikitnya ada tiga maskapai melayani penerbangan langsung pulang-pergi untuk rute tersebut. Tarifnya terjangkau. Paling murah Rp 600.000-Rp 700.000 per orang sekali terbang.
Akan tetapi, selama 2020-2022 atau puncak masa pandemi, Habibillah tidak bisa sama sekali bersua keluarga di Singapura karena penerbangan internasional ditiadakan. Seusai pemerintah mencabut status pandemi pada 21 Januari 2023, Habibillah penuh harap Bandara SMB II bisa segera melayani penerbangan internasional seperti sediakala.
Sayangnya, asa Habibillah runtuh saat membaca sejumlah berita bahwa Bandara SMB II tidak lagi berstatus internasional sejak terbitnya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2024. Saat ini, Habibillah merasa Singapura sebagai tempat nun jauh di sana karena membutuhkan biaya, energi, dan waktu ekstra.
Dari aplikasi pembelian tiket daring Traveloka, penerbangan Palembang-Singapura hanya bisa dilakukan dengan transit lebih dahulu di Jakarta. ”Tarif penerbangannya otomatis jauh lebih mahal, yakni paling murah di kisaran Rp 1,5 juta per orang sekali terbang. Selain mahal, terbangnya juga melelahkan karena harus transit paling kurang 6-7 jam,” ujar Habibillah yang sempat ke Singapura melalui Jakarta pada pertengahan dan akhir tahun lalu.
Baca juga: Pelaku dan Pemerhati Wisata Kritik Pencabutan Status Internasional di 17 Bandara
Sekarang, kalau tidak ada keperluan mendesak, seperti ada hajatan atau menjenguk keluarga yang sakit, Habibillah enggan ke Singapura. Demikian sebaliknya, keluarga di Singapura yang biasa ke Palembang tiga hingga empat kali dalam setahun jadi pikir-pikir dahulu untuk bertandang.
Apalagi, sebagian besar keluarga di Singapura telah berusia lanjut. Enggan repot urusan transit yang berarti pindah pesawat, menenteng bawaan, dan menunggu penerbangan berjam-jam.
Dulu, keluarga besarnya di Singapura rutin datang berombongan ke Palembang. Sekali datang bisa mencapai 20 orang. Selama di Palembang, mereka pun berbelanja dan mencicipi kuliner khas. Mereka memborong songket dan membawa pulang pempek ke Singapura. ”Bahkan, mereka berencana untuk membuka paket perjalanan ke Palembang karena banyak teman mereka penasaran ke sini. Tapi, rencana itu urung dilanjutkan karena tidak ada penerbangan langsung dari Singapura ke Palembang,” tutur Habibillah.
Berdampak luas
Secara keseluruhan, penurunan status Bandara SMB II akan berdampak luas terhadap sektor-sektor potensial yang sangat dipengaruhi oleh aksesibilitas penerbangan dari dan ke Palembang. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumsel Kurmin Halim menuturkan, hal itu bisa menyebabkan kunjungan wisatawan asing ke Palembang ataupun Sumsel menurun drastis. Itu karena perjalanan ke Palembang dari luar negeri menguras biaya, energi, dan waktu lebih besar
Karena tidak ada penerbangan internasional langsung ke Palembang, penyelenggara kejuaraan olahraga internasional akan berpikir dua kali untuk mengadakan kegiatannya di sini.
Di sisi lain, kunjungan wisatawan domestik atau nusantara sulit untuk ditingkatkan karena tempat wisata di Palembang maupun Sumsel yang terbatas. Palembang misalnya, wisata alam hanya bergantung dari Sungai Musi, sedangkan wisata buatan sangat minim. Tak pelak, semua itu akan menjadi faktor yang menurunkan tingkat hunian hotel dan konsumen restoran.
”Sebelum pandemi Covid-19, para pengusaha hotel dan restoran di Sumsel sangat terbantu oleh kunjungan wisatawan asing yang didominasi asal Malaysia dan Singapura. Lagi pula, sebelum pandemi, ada 10 penerbangan Palembang-Malaysia dan tujuh penerbangan Palembang-Singapura dalam seminggu,” katanya.
Fenomena itu akan turut mengancam eksistensi program Wisata Olahraga Internasional yang selama ini menjadi andalan Palembang maupun Sumsel untuk menyedot wisatawan. Tidak menutup kemungkinan, aset Kompleks Olahraga Jakabaring yang menjadi warisan Pekan Olahraga Nasional 2004, SEA Games 2011, dan Asian Games 2018 bakal terancam terbengkalai.
”Karena tidak ada penerbangan internasional langsung ke Palembang, penyelenggara kejuaraan olahraga internasional akan berpikir lebih dua kali untuk mengadakan kegiatannya di sini,” tutur Kurmin. Itu karena urusan mendatangkan atlet ataupun tim peserta kejuaraan bersangkutan akan lebih repot akibat harus transit sebelum ke Palembang.
Selain itu, Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Muhammad Ichsan Hadjri khawatir penurunan status Bandara SMB II akan menurunkan minat investasi di Sumsel. Padahal, investasi adalah sumber penggerak perekonomian Sumsel.
Baca juga: Perampingan Status Bandara Diyakini Dorong Konektivitas Domestik
Dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah mulai dari pertanian, perkebunan, hingga pertambangan, Sumsel menjadi daya tarik tersendiri untuk investor domestik maupun mancanegara. Namun, karena tidak ada kemudahan dalam penerbangan, daya tarik itu bisa saja diabaikan oleh calon investor.
”Penurunan status Bandara SMB II bisa menimbulkan multipersepsi yang negatif di antara para pemangku kebijakan terkait, antara lain Sumsel dianggap bukan daerah prioritas atau tidak didukung optimal oleh pemerintah pusat. Itu akan berdampak buruk bagi perkembangan investasi di Sumsel,” ujar Ichsan.
Identitas memudar
Penjabat Gubernur Sumsel Agus Fatoni menyatakan, solusi dari penurunan status Bandara SMB II adalah memperbanyak rute penerbangan domestik dari dan ke Palembang, khususnya Palembang-Batam dan Palembang-Jakarta. Tujuannya, untuk mempermudah akses calon pengunjung mancanegara ke Palembang ataupun warga Palembang yang ingin ke luar negeri.
”Penurunan status Bandara SMB II bukan berarti Palembang terkucil dari dunia internasional. Kita tetap ada peluang untuk mengembangkan segala potensi yang ada di sini, termasuk untuk menjaring wisatawan dan investor dari luar negeri,” kata Agus.
Baca juga: Pemerintah Cabut Status Internasional 17 Bandara
Walakin, dari aspek sosial-budaya, solusi itu tidak mampu menghapus coreng yang memudarkan identitas Palembang maupun Sumsel sebagai bagian jaringan perdagangan internasional sejak era Sriwijaya (abad VII-XIII). ”Penurunan status Bandara SMB II membuat Palembang jadi kerdil dan berpotensi menjadi katak dalam tempurung karena pergaulannya terbatas,” kata pemerhati sejarah Palembang sekaligus pendiri komunitas Sahabat Cagar Budaya Robby Sunata.
Merujuk Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang pada 29 November 1920, Sriwijaya diyakini berdiri pada 16 Juni 682 atau 1.342 tahun silam. Sejarawan Inggris, OW Wolters, dalam disertasinya yang diterjemahkan dengan judul ”Kemaharajaan Maritim Sriwijaya di Perniagaan Dunia Abad III-VII” yang terbit pertama kali pada 1967, mengabarkan, orang-orang asing telah berdatangan ke ibu kota Sriwijaya sepanjang tahun karena kerajaan dan penguasanya begitu kesohor.
Penulis Arab, Ibn al Fakih, yang berkunjung ke ibu kota Sriwijaya pada 902, mencatat, burung beo dari Zabag (sebutan orang Arab untuk Sriwijaya saat itu) bisa bercakap dalam banyak bahasa, termasuk Arab, Persia, dan Yunani. Ini menggambarkan sifat kosmopolitan ibu kota Sriwijaya yang memiliki jejaring pergaulan dengan banyak bangsa di dunia.
JI van Sevenhoven, pejabat pemerintah kolonial, pernah membuat laporan mengenai kehidupan di Palembang saat dirinya menjadi komisaris regulasi pada 1821. Laporan itu dibukukan dengan judul ”Lukisan tentang Ibu Kota Palembang” yang terbit pertama kali pada 1971. Dari pengamatannya, kecuali penduduk asli Palembang, ada juga orang China, Arab, dan orang-orang asing lain, seperti dari Eropa, yang tinggal di ibu kota.
Semoga para pemangku kepentingan terkait bisa memulihkan status Bandara SMB II agar tradisi interaksi Palembang dan dunia internasional tidak punah.
Menurut Robby, sejak dahulu, orang Palembang terbiasa berpergian ke mana pun secara langsung, termasuk ke luar negeri. Sebaliknya, semua bangsa lain di dunia bisa berdatangan secara langsung ke Palembang. Hingga masa kolonial, tradisi itu didukung dengan adanya pelabuhan laut dan bandar udara berkelas internasional di kota berjuluk ”Bumi Sriwijaya” tersebut.
”Berpergian secara internasional dan menjamu tamu-tamu internasional adalah bagian dari tradisi orang Palembang. Semoga para pemangku kepentingan terkait bisa memulihkan status Bandara SMB II agar tradisi interaksi Palembang dan dunia internasional tidak punah,” pesan Robby.