Semua Punya Catatan dari Piala Thomas-Uber
Banyak catatan bagi Indonesia setelah Piala Thomas dan Uber. Itu menjadi PR untuk Olimpiade Paris 2024.
Final secara bersamaan tim bulu tangkis Indonesia pada Piala Thomas dan Uber di Chengdu, China, pada 2024 terjadi untuk pertama kalinya sejak 1998. Apa yang terjadi di Chengdu menghasilkan catatan bagi atlet, pelatih, dan tim pendukung untuk target puncak, medali emas Olimpiade Paris 2024.
Salah satu momen yang paling mendapat sorotan, termasuk oleh komunitas bulu tangkis internasional, adalah penampilan tim putri ”Merah Putih”. Lolosnya mereka ke final, bahkan sejak ke semifinal, menjadi berita utama di laman resmi Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF). Media di China, melalui akun media sosial, juga menampilkan unggahan keberhasilan Gregoria Mariska Tunjung dan kawan-kawan.
Dua komentator untuk BWF yang selalu detail dalam membahas setiap pertandingan, Steen Pedersen dan Gillian Clark, turut memuji para srikandi Indonesia. Pedersen menyebut penampilan tim putri Indonesia sebagai salah satu dari tiga momen terbaik pada Piala Thomas dan Uber 2024.
Clark membahas pemain yang menurutnya tampil luar biasa, seperti Gregoria dan Ester Nurumi Tri Wardoyo. Ester, yang berusia 19 tahun, dinilai mempunyai kemampuan teknis yang bagus. Komang Ayu Cahya Dewi juga menjadi sorotan ketika menang pada partai kelima Indonesia melawan Korea Selatan di semifinal. Kemenangan 3-2 menyingkirkan tim juara bertahan.
”Apa yang didapat tim putri Indonesia berkat kerja sama tim yang baik,” ujar Clark, semifinalis Kejuaraan Dunia 1983 pada ganda putri dan Kejuaraan Dunia 1993 (ganda campuran).
Untuk hasil kejuaraan yang berlangsung pada 27 April-5 Mei tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa China menjadi negara dengan kekuatan paling merata pada tunggal putra-putri serta ganda putra-putri yang dimainkan dalam Piala Thomas-Uber. China juga memiliki tiga ganda campuran pada peringat 10 besar dunia, dua pasangan di antaranya pada ranking teratas dan kedua.
Setelah memenangi persaingan atas Indonesia di final putra (China menang 3-1) dan putri (China menang 3-0), negara ”Tirai Bambu” itu menjuarai Piala Thomas 11 kali dan Piala Uber 16 kali. Dari gelar tersebut, sebanyak delapan kali diraih tim Piala Thomas dan Uber pada edisi yang sama.
Bagi Indonesia, ukuran utama keberhasilan pada kejuaraan dunia beregu ini adalah performa atlet saat berada di atas lapangan. Ini terutama berlaku untuk pemain putri yang sebagian besar berada beberapa lapis di bawah kekuatan pemain China, Jepang, dan Korea Selatan.
Baca juga: Indonesia Batal Sandingkan Juara Piala Thomas dan Uber
Dalam kejuaraan beregu, ketika prestasi/kemampuan berada di bawah lawan, kuncinya adalah level perjuangan mereka untuk tim. Ini telah ditunjukkan pemain-pemain putri dengan baik dan diakui mantan atlet, seperti Greysia Polii, Susy Susanti, dan Yuni Kartika.
Bahkan, Yuni menilai prestasi di Chengdu bukan hanya tentang Piala Uber. Ini menjadi titik balik tunggal putri Indonesia, nomor yang setelah era Susy dan Yuni selalu dipandang sebelah mata.
”Turnamen beregu seperti Piala Uber bisa menjadi batu loncatan. Ada pemain yang justru mendapat momentum di beregu. Hal ini menandakan kualitas tunggal putri semakin baik,” kata Yuni.
Yuni, khususnya, merujuk pada Ester dan Komang yang bermain lebih dari satu kali. Ester bermain enam kali dan Komang sebanyak empat kali. Keduanya hanya kalah satu kali.
Baca juga: Final Thomas Indonesia Vs China: Bagas/Fikri Takluk, Asa Juara Indonesia Kandas
Saya banyak belajar dari Piala Uber ini dan setelah ini ingin menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Ester bermain lebih banyak karena berposisi sebagai tunggal kedua yang tampil pada partai ketiga atau pertama saat dinaikkan. Adapun Komang (tunggal ketiga) bermain pada pertandingan kelima. Partai tersebut bisa tidak dimainkan jika salah satu tim memenangi tiga partai terlebih dulu sejak perempat final hingga final.
Bekal ke Paris
Bagi Gregoria, final Piala Uber bisa menjadi booster untuk Olimpiade Paris 2024, 26 Juli-11 Agustus. Ini menjadi kesempatan kedua tunggal putri ranking kesembilan dunia itu dalam Olimpiade setelah Tokyo 2020. Di Tokyo, dia dihentikan Ratchanok Intanon pada babak 16 besar setelah lolos dari penyisihan grup.
Sejak saat itu, Gregoria berkembang pesat, terutama dalam pola pikirnya. Dia belajar melihat tantangan menjadi motivasi agar tak sekadar menjadi teori.
Namun, seperti dikatakannya pada salah satu wawancara di mixed zone di Chengdu, terkadang performa baik tidak bisa ditampilkan setiap hari sesuai keinginan. Biasanya, faktor penyebabnya adalah faktor tak kasatmata dari dalam diri sendiri, seperti suasana hati dan kekuatan mental yang berubah.
Baca juga: Pujian untuk Tim Piala Uber Indonesia
Saat melawan Chen Yu Fei di final, misalnya, dia bercerita memiliki ekspektasi bermain baik seperti laga-laga sebelumnya. Saat bertanding, keinginan itu yang mendominasi pikirannya dan ini menjadi bumerang hingga tak bisa bermain tanpa beban seperti ketika mengalahkan Akane Yamaguchi (Jepang) dan Intanon (Thailand).
Ini menjadi catatan Gregoria untuk Paris 2024 karena bersaing di Olimpiade adalah persaingan mental. Mantan pemain ganda putra yang menjadi salah satu mentor untuk Paris 2024, Candra Wijaya, menuturkan, banyak pemain bagus, tetapi bukan berarti banyak pula yang bisa mengatasi tekanan di Olimpiade.
Susy, dari pengalamannya tampil di Barcelona 1992, menyebut bahwa hawa persaingan terasa sejak memasuki tempat menginap di perkampungan atlet. Apalagi, mereka dikelilingi atlet top cabang lain dari banyak negara.
Menjelang Tokyo 2020 dan akhirnya meraih medali emas ganda putri, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, menitikberatkan persiapan untuk menata mental dengan bantuan orang yang ahli di bidang itu, seperti motivator. Ketika tiba di Tokyo dengan hal-hal positif dalam pikiran, Greysia/Apriyani bisa mengeluarkan kemampuan terbaik dalam setiap pertandingan.
Gregoria sudah memiliki modal mengubah pola pikir negatif menjadi positif dan itu juga membuatnya bisa bermain dengan kemampuan terbaik. Di luar lapangan, perubahan sikapnya pun terlihat. Gadis berusia 24 tahun yang tadinya malu-malu saat ditanya jurnalis, kali ini bisa bicara dengan mengalir, bahkan dengan kata-kata dan makna yang ”dalam”.
Baca juga: Sejarah Piala Thomas dan Catatan Prestasi Indonesia
Jonatan Christie juga punya bekal seperti Gregoria. Dia tak terkalahkan dalam 16 pertandingan beruntun pada All England, Kejuaraan Asia, dan Piala Thomas sejak Maret. Momen itu terjadi setelah Jonatan tiga kali tersingkir pada babak pertama dan sekali di babak kedua pada empat turnamen awal 2024.
Selain faktor teknis (Jonatan membawa permainan lebih menyerang), mentalnya terlihat lebih tangguh. Di final Piala Thomas, dia menang setelah Indonesia tertinggal 0-2. Sosok yang biasanya dikenal tenang ini menjadi lebih ekspresif dan faktor tersebut tak jarang diperlukan saat bertanding.
Berdasarkan performa masing-masing di Chengdu, pemain lain yang lolos ke Paris 2024 memiliki pekerjaan rumah lebih banyak. Anthony Sinisuka Ginting dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto kesulitan melawan pemain tertentu, dalam hal ini pemain China, Shi Yu Qi dan Liang Wei Keng/Wang Chang.
Sebagai pemain yang telah memiliki banyak pengalaman dan sering bertemu pemain yang sama dalam BWF World Tour, Anthony dan Fajar/Rian harus segera menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut. Apalagi, Anthony punya pukulan-pukulan istimewa yang sering menipu lawan, tetapi dia masih memiliki kekurangan dalam faktor konsistensi. Anthony bisa bermain sangat baik, tetapi juga membuat banyak kesalahan pada momen lain.
Baca juga: Dua Tim ”Merah Putih” di Final, Berpeluang Sandingkan Gelar Thomas dan Uber
Catatan untuk Apriyani/Siti Fadia Silva Ramadhanti masih terkait dengan cedera kaki kanan Apriyani. Ini membuat mereka belum bisa tampil sebagai duet dengan penampilan sebenarnya. Di Chengdu, Apriyani dua kali disimpan saat Fadia bermain, salah satunya terjadi di final.
Jika kondisi kakinya bisa terus membaik mendekati Olimpiade, Apriyani masih harus mengatasi trauma yang menjadi kendalanya selama tahun ini. Dia tentu tak ingin melewatkan kesempatan kedua beruntun tampil di Olimpiade, bahkan kesempatan mendapat kembali medali dengan pasangan berbeda.
Apriyani/Fadia menempati ranking kesembilan dunia, bahkan pernah lebih baik dari itu dan bisa mengalahkan pemain-pemain di atas mereka. Itu artinya duet yang bermain di turnamen BWF sejak pertengahan 2022 ini memiliki potensi tinggi di Paris 2024.
Saat para senior punya catatan untuk diperbaiki demi Olimpiade, Piala Thomas Uber 2024 selayaknya menjadi momentum pemain lain untuk menaikkan level dari yang pernah mereka capai. Ini harus didukung dengan program dan target jangka panjang dari pelatih dan PP PBSI untuk mereka.
Baca juga: Menanti Berkah ”Underdog” Tim Uber Indonesia di Partai Puncak
Sektor ganda putra, misalnya, punya tugas mengembalikan nama besar Indonesia setelah era Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan. Skuad pelatnas utama yang ada saat ini, seperti Muhammad Shohibul Fikri/Bagas Maulana dan Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin, masih kesulitan konsisten saat menghadapi ganda putra elite dunia.
Perhatian tak kalah penting harus ditujukan untuk menaikkan level pemain muda berusia di bawah 20 tahun, seperti Ester, Rachel Alessya Rose/Meilysa Trias Puspitasari, dan Alwi Farhan. Apalagi, masa peralihan dari level yunior ke tingkat persaingan yang lebih tinggi mempunyai tantangan sangat besar. Banyak pemain yang bersinar pada masa yunior, lalu meredup ketika naik level persaingan.
Ester, semifinalis Kejuaraan Dunia Yunior 2022 dan SEA Games Kamboja 2023, serta juara Indonesia Masters Super 100 2023 sudah memantapkan targetnya. ”Saya banyak belajar dari Piala Uber ini dan setelah ini ingin menjadi lebih baik dan lebih baik lagi,” katanya.