Kecurigaan di Balik Keinginan AS Bangun Pelabuhan Terapung di Gaza
Mulai muncul keraguan terhadap niat AS sesungguhnya saat ingin membangun jalur laut untuk penyaluran bantuan ke Gaza.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN
·5 menit baca
Amerika Serikat belum lama ini mengumumkan tekad untuk membangun jalur laut dan pelabuhan terapung di pantai Jalur Gaza sebagai jalur dan pintu masuk bantuan kemanusiaan menuju Jalur Gaza. Jalur laut itu akan menghubungkan Siprus dan pelabuhan terapung di Jalur Gaza.
Dalam perencanaan AS, semua bantuan kemanusiaan dari mancanegara yang akan disalurkan ke Jalur Gaza lewat jalur laut bisa transit melalui Siprus, kemudian dibawa ke Jalur Gaza. Siprus dipilih sebagai gudang penimbunan dan sekaligus tempat transit menuju Jalur Gaza. Ini karena letak geografis Siprus yang terdekat dengan Jalur Gaza. Jarak antara Siprus dan Jalur Gaza 387 kilometer.
Seperti diketahui, Presiden AS Joe Biden pada 8 Maret 2024 mengeluarkan instruksi kepada angkatan bersenjata AS untuk membangun pelabuhan terapung di Jalur Gaza. Pelabuhan terapung ini akan dijadikan tempat penyaluran bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza tanpa harus mengirim pasukan AS menginjakkan kaki di Jalur Gaza.
Pada hari yang sama, Presiden Siprus Nikos Christodoulides dalam jumpa pers menyampaikan bahwa semakin dekat pembukaan jalur laut antara Siprus dan Jalur Gaza.
Pada 13 Maret 2024, Departemen Pertahanan AS (Pentagon) mengumumkan, sejumlah kapal perang AS dan kapal pendukung menuju perairan Laut Tengah bagian timur untuk membangun pelabuhan terapung di Jalur Gaza. Menurut Pentagon, pembangunan pelabuhan terapung di Jalur Gaza butuh waktu 60 hari dengan biaya perdana sekitar 35 juta dollar AS dan akan melibatkan lebih dari 1.000 tentara AS.
AS memutuskan membangun jalur laut untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza karena semakin sulit menyalurkan bantuan itu ke Jalur Gaza lewat darat dari pintu gerbang Rafah. Kaum ekstremis Yahudi semakin sering membuat perintang jalan antara Jalur Gaza dan Mesir untuk menghambat atau menutup jalan bagi truk-truk pengangkut bantuan kemanusiaan dari Mesir menuju Jalur Gaza.
Israel juga memberi persyaratan yang semakin ketat pada truk-truk pengangkut bantuan kemanusiaan untuk melintas pintu gerbang Rafah dari Mesir ke Jalur Gaza.
Padahal, ancaman kelaparan warga Jalur Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa semakin nyata dari hari ke hari. PBB sering memberi peringatan akan bahaya tragedi kemanusiaan di Jalur Gaza jika pembatasan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza terus dibatasi.
Ini yang memaksa sebagian negara menyalurkan bantuan kemanusiaan lewat udara dengan menerjunkan paket bantuan kemanusiaan dari udara. Sejumlah negara yang telah menerjunkan paket bantuan kemanusiaan lewat udara itu, seperti Jordania, Mesir, AS, dan Perancis.
Kemudian AS mengumumkan ide pembangunan jalur laut untuk penyaluran bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza karena penyaluran bantuan kemanusiaan lewat udara kurang memadai dan sangat terbatas.
Namun, mulai muncul keraguan terhadap niat sesungguhnya AS yang ingin membangun jalur laut untuk penyaluran bantuan ke Jalur Gaza itu. Ada sejumlah pengamat mencurigai, keinginan AS membangun jalur laut dari Siprus ke Jalur Gaza itu adalah untuk menguasai gas di lepas pantai Jalur Gaza yang menjadi aset kekayaan Palestina.
Selain itu, AS dicurigai ingin pula menjadikan jalur laut antara Siprus dan Jalur Gaza sebagai jalur laut permanen yang menghubungkan Asia dan Eropa untuk menyaingi proyek Sabuk dan Jalan milik China, yang juga menghubungkan Asia dan Eropa.
Jadi, tujuan AS akan membangun jalur laut antara Siprus dan Jalur Gaza untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan hanyalah tujuan antara guna mencapai tujuan yang lebih strategis. Seperti diketahui, sejak tahun 2012 ditemukan sumber gas yang sangat besar di kawasan Laut Tengah bagian timur.
Mulai muncul keraguan terhadap niat sesungguhnya AS yang ingin membangun jalur laut untuk penyaluran bantuan ke Jalur Gaza.
Di wilayah bagian Israel di Laut Tengah bagian timur, ditemukan lima ladang gas. Di wilayah bagian Mesir, juga ditemukan beberapa ladang gas. Ladang gas terbesar di wilayah Mesir adalah ladang gas Zohr. Ladang gas ini mampu memproduksi 2,4 miliar kubik gas per hari.
Di lepas pantai Gaza, ditemukan pula ladang gas Marine yang menjadi aset kekayaan Palestina. Ladang gas Marine memiliki cadangan gas sebanyak 1,1 triliun kubik. Pada Juni 2023, PM Israel Benjamin Netanyahu mengimbau dibangun kerja sama Israel, Mesir, dan Otoritas Palestina untuk mengoperasikan ladang gas Marine guna membantu membangkitkan perekonomian Palestina.
Sesudah meletusnya perang Gaza sejak 7 Oktober2023 dan menyusul sulitnya menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza lewat darat, AS melihat ada peluang untuk bisa hadir permanen di kawasan Laut Tengah bagian timur yang sangat kaya dengan ladang gas.
AS akan hadir permanen melalui pembangunan jalur laut antara Siprus dan Jalur Gaza dengan kedok untuk pintu penyaluran bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Sebab, hanya AS yang mampu membangun jalur laut tersebut serta sekaligus mengelola dan mengamankannya.
AS selama ini bersaing dengan Qatar dan Australia sebagai pengekspor terbesar gas alam di muka bumi ini. AS telah mengekspor 88,9 juta ton gas alam pada tahun 2023. Jika AS mengontrol kawasan Laut Tengah bagian timur yang sangat kaya dengan ladang gas, AS dengan mudah mengungguli Qatar dan Australia di sektor gas alam.
Adapun konteks persaingan dengan proyek Sabuk dan Jalan milik China adalah AS ingin membangun proyek serupa. Pada September 2023, AS, India, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Perancis, Jerman, Italia, dan Uni Eropa menandatangani kesepahaman membangun jalur ekonomi baru yang menghubungkan India, Timur Tengah, dan Eropa. Kesepahaman tersebut untuk menyaingi megaproyek China, Sabuk dan Jalan.
Bisa jadi AS menginginkan jalur laut antara Siprus dan Jalur Gaza yang akan menghubungkan Asia dan Eropa menjadi bagian dari pelaksanaan kesepahaman yang dicapai pada September 2023 tersebut.
Selain itu, suatu hal yang paling dicemaskan Palestina, Mesir, dan Jordania adalah dijadikannya jalur laut sebagai jalur migrasi warga Gaza ke Eropa atau negara lain. Israel sangat menginginkan Jalur Gaza dikosongkan dari warga Palestina agar tidak mengancam keamanan Israel.
Adapun Mesir, Jordania, dan Otoritas Palestina menolak keras wacana migrasi warga Jalur Gaza ke negara lain karena hal itu akan semakin melemahkan terwujudnya cita-cita rakyat Palestina memiliki negara merdeka dengan ibu kota Jerusalem Timur.