Istilah ghost writer akhirnya muncul di ruang publik (Kompas, 17/4/2024). Terima kasih untuk opini ”Efek Kobra Publikasi Ilmiah” oleh Iswandi Syahputra (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) dan opini ”Profesor yang Produktif dan Profesor yang Mandul” oleh Christina Eviutami Mediastika (Dosen Universitas Ciputra Surabaya, Fullbright Visiting Scholar di Purdue University).
Topik yang diangkat dalam artikel terkait seorang profesor Indonesia, muda usia, baru dikukuhkan Januari 2024 mampu menerbitkan 160 artikel di jurnal selama tahun 2024 yang baru berjalan 3,5 bulan (100 hari) ini. Isu ini ramai dibicarakan di ruang publik. Kok, bisa, ya?
Ghost writer fungsi dan bekerjanya menyerupai ganja, yang dapat membuat seorang dosen menjadi kecanduan. Bahkan, seorang guru besar pun telah mengaku dosa: ”Saya harus menyamar menjadi salah satu konsumen untuk memahami sisi bagian dalam praktik hitam seperti ini” (Kompas, 17/4/2024).
Apakah setiap dosen paham dengan istilah ini? Saya yakin jawabannya adalah iya. Jika dosen pengguna ghost writer berhasil menutupi kecanduannya dan tidak ketahuan koleganya, ghost writer akan hidup bersama-sama dengan sang dosen hingga dibawa mati dan dikubur bersama jasad sang dosen. Jika ketahuan, itu juga namanya apes saja, syukur-syukur bisa ditutupi oleh jurusannya atau departemennya atau fakultasnya agar tidak sampai keluar dan diketahui publik.
Ghost writer akan membentuk karakter sang dosen yang ”menghalalkan segala cara” untuk mencapai tujuan hidupnya. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi lingkungan hidup sivitas akademika, terutama apabila sang dosen berhasil menempati jabatan struktural yang strategis di universitas, karena dia akan melakukan abuse of power untuk mengamankan/lebih meyakinkan dalam usaha menutupi kasus-kasus yang sudah dimulainya serta menjadi omongan para kolega dan mahasiswa. Sang dosen akan mencari dan bergabung dalam komunitas yang mempunyai kesamaan karakter itu untuk secara bersama-sama membentuk sebuah oligarki kekuasaan.
Jadi, dibutuhkan kesadaran dalam diri setiap insan dosen Indonesia untuk memikirkan nasibnya sendiri (upah, jam kerja, dan kondisi kerja). Jika kaum buruh Indonesia saja memiliki serikat pekerja atau serikat buruh, kenapa tidak ada serikat untuk para ”buruh dosen” di Indonesia?
Djoko Madurianto Sunarto
Pugeran, Yogyakarta
Solar dan Sonar
Dengan ”surat pembaca”-nya yang berjudul ”Solar Bukan Sonar” (Kompas, 12/4/2024), Mohammad Sidik Nugraha (MSN) membetulkan kesalahan Abbas Langaji (AL) dalam artikelnya, ”Ramadhan dalam Nuansa Keragaman” (Kompas, 23/3/2024).
Penjelasan MSN tentang perbedaan antara adjektiva solar dan akronim sonar ke sol dan solaris yang berarti ’matahari’, MSN secara tak sengaja juga menjelaskan bahwa solar yang dimaksudkannya bukan bahan bakar cair semacam diesel.
Takrif sonar yang dikutip MSN dari KBBI, baik (1) maupun (2) mungkin memancing pembedaan antara sonar dan radar. Kedua-duanya memang serupa fungsinya. Bedanya terletak pada gelombang yang dipakai. Sonar menggunakan gelombang bunyi yang merupakan gelombang bujur (longitudinal) dan dapat merambat di dalam air/air laut yang konduktif. Sementara radar menggunakan gelombang radio yang merupakan gelombang elektromagnetik lintang (transversal) dan tidak dapat merambat melalui bahan yang konduktif seperti air/air laut.
Sonar dan radar, kedua-duanya adalah akronim. Sonar ialah sound navigation and ranging, seperti yang dikutipkan MSN untuk kita dari kamus Merriam-Webster. MSN menerjemahkan sound menjadi suara. Yang lebih tepat, sound itu bunyi, bukan suara (voice). Sonar dipakai untuk ”navigasi” dalam ”pelayaran” kapal selam di dalam air laut. Sementara radar dipakai untuk ”deteksi” dalam pelacakan lintasan benda-benda langit (celestial bodies), seperti meteor(it) dan jet tempur atau rudal, yang mengancam kita.
Baguslah bahwa MSN meralat kesalahan AL dan memberi penjelasan kepada kita, pembaca rubrik Surat kepada Redaksi.
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga